KENDARI, MENARA62.COM – Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (KBST) mendapat penghargaan dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Polda Sultra) dalam hal fasilitasi bantuan teknis untuk penegak hukum di wilayah Sulawesi Tenggara. Penghargaan secara langsung diserahkan oleh Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Kapolda Sultra), Inspektur Jenderal Polisi (Irjenpol) Teguh Pristiwanto kepada Kepala Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara, Herawati.
“Menurut data Ditreskrimsus, pada tahun 2021—2022, ada 389 kasus siber yang terjadi di Sulawesi Tenggara dan 226 kasus atau sekitar 58 persen yang memerlukan ahli bahasa,” ujar Kapolda Teguh Pristiwanto mengutarakan apresiasinya atas kontribusi KBST dalam penegakan hukum di Sultra.
Serah terima penghargaan berlangsung dalam acara Peningkatan Profesionalisme Layanan Bahasa dan Hukum bagi Penyidik Polda Sulawesi Tenggara yang digelar di Aula Dhacara, Polda Sultra, Kendari (28/3). Turut hadir, para pejabat utama (PJU) Polda Sulawesi Tenggara, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim), dan 50 orang penyidik di lingkup Polda Sulawesi Tenggara.
Sinergisitas yang sudah terjalin menurut dia, merupakan hasil dari nota kesepakatan antara Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta perjanjian kerja sama antara Polda Sulawesi Tenggara dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa).
“Kami berharap agar sinergisitas ini tetap terjalin dengan baik, khususnya bantuan di bidang informasi dan transaksi elektronik,” tambahnya.
Selanjutnya, Kepala KBST ketika membuka acara mengatakan bahwa bahasa dan hukum bertalian dengan linguistik forensik untuk penanganan konflik kebahasaan. “Linguistik forensik merupakan cabang linguistik yang menganalisis dan mengkaji aspek kebahasaan sebagai alat bantu pembuktian di peradilan dan hukum,” ujar Herawati dalam sambutannya.
Kegiatan “Peningkatan Profesionalisme Layanan Bahasa dan Hukum bagi Penyidik Polda Sulawesi Tenggara” menghadirkan narasumber yang terdiri dari Kepala Badan Bahasa, E. Aminudin Aziz; Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Sultra, Komisaris Besar Polisi (Kombespol) Heri Tri Maryadi; dan ahli bahasa KBST, Jamaluddin M. Ketiga narasumber menyampaikan beberapa materi yaitu Linguistik Forensik untuk Penanganan Konflik Kebahasaan, Penegakan Hukum pada Kasus-Kasus Kebahasaan di Sulawesi Tenggara, dan Selayang Pandang Kasus-Kasus Kebahasaan di Sulawesi Tenggara.
Pada kesempatan pertama, Kepala Badan Bahasa menyampaikan bahwa linguistik forensik adalah ilmu yang sebenarnya sudah lama muncul dan diperkenalkan oleh Jan Svartvik pada tahun 1967. Akan tetapi, di Indonesia, baru akhir-akhir ini populer, terutama setelah banyak kasus terkait dengan UU ITE.
“Saya ingin bekerja sama dengan para penyidik dan kemarin, bulan Desember, ada pembicaraan dengan Komisaris Jenderal (Komjen) Rycko Amelza Dahniel selaku Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia (Kalemdiklat Polri) agar linguistik forensik masuk dalam kurikulum resmi di kepolisian,” kata Kepala Badan Bahasa ketika menyampaikan materinya tentang linguistik forensik.
Ia juga menerangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dan bagaimana proses penyidikan dilakukan jika menggunakan linguistik forensik, salah satunya adalah berkoordinasi dengan ahli bahasa. Menurutnya, apabila ahli bahasa memberikan keterangan terkait dengan kasus-kasus kebahasaan secara lisan, ahli bahasa diharapkan juga memberikan analisisnya secara tertulis sehingga dapat dijadikan bukti kajian dalam proses selanjutnya.
“Ahli bahasa, khususnya yang berada di bawah Badan Bahasa, seharusnya juga memberikan analisisnya secara tertulis sehingga bisa dijadikan alat bukti di kejaksaan. Jadi, penyidik tidak perlu bolak-balik,” imbuh Kepala Badan Bahasa.
Berikutnya, Dirreskrimsus Polda Sultra, Kombespol Heri Tri Maryadi menyampaikan bahwa ada beberapa kasus yang memerlukan ahli bahasa, seperti pencemaran nama baik; pemerasan dan pengancaman; berita bohong (hoaks) dan menyesatkan; ujaran yang menimbulkan kebencian dan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA); serta ancaman kekerasan. Selain itu, ada juga kasus siber yang perlu penanganan khusus seperti yang terjadi pada jurnalis.
“Ada tiga kesalahan yang paling sering dilakukan oleh jurnalis sehingga dilaporkan ke kepolisian, yaitu pemberitaan yang tidak berimbang, tidak akurat, menghakimi atau menyimpulkan tanpa disertai data. Dalam kasus tersebut, selain diperlukan koordinasi dengan ahli bahasa, diperlukan pula koordinasi dengan Dewan Pers sehingga yang bersangkutan dapat diverifikasi keabsahannya sebagai jurnalis,” jelas Tri Maryadi.
Pembicara terakhir yakni Ahli Bahasa KBST, Jamaluddin M., menyampaikan kasus-kasus yang pernah ditangani oleh ahli bahasa di KBST. Ia menuturkan dari hasil analisis berbagai contoh-contoh kasus tersebut, para penyidik yang hadir dapat mengambil banyak pelajaran.