Salah satu penyakit akut yang diderita oleh masyarakat modern adalah hilangnya makna hidup (the meaning of life). Lebih konkret lagi adalah hilangnya kebahagiaan (happiness).
Mereka berjibaku sekuat tenaga di tengah pusaran arus modernisasi dan globalisasi ini untuk dapat meraih kesuksesan; kekayaan, jabatan, popularitas, dan sebagainya. Tetapi, setelah kesuksesan yang mereka perjuangkan mati-matian itu mereka dapatkan, mereka merasakan kegamangan hidup. Harta mereka berlimpah, tapi jiwa mereka selalu resah. Jabatan prestisius dapat mereka gapai, tapi batin mereka tak pernah bisa damai. Popularitas menjulang berhasil mereka raih, tetapi hati mereka selalu merasa sedih.
Sungguh ironis, di saat kesuksesan hidup telah mereka dapatkan, di saat yang sama pula jiwa mereka terasa hampa. Kondisi seperti inilah yang kemudian memunculkan istilah ‘The Hollow Man”, alias manusia-manusia kosong. Mereka tidak tahu lagi arah dan tujuan hidup ini. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan berlimpah, tetapi sisi ruhani mereka gersang, kering kerontang. Fisik mereka sehat, namun jiwa mereka kosong dan rapuh.
Apa yang selama ini mereka anggap sebagai kebahagiaan, pada hakekatnya hanyalah kesenangan semu (pseudo pleasure) yang bersifat sementara, bukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kondisi masyarakat yang demikian memprihatinkan ini, pada gilirannya akan melahirkan distorsi-distorsi nilai kemanusiaan, terjadi dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk mengarungi samudera peradaban modern.
Di saat seperti inilah, manusia membutuhkan petunjuk yang mengarahkannya menuju ketenteraman batin. Jiwa mereka yang telah lama gersang, mendambakan siraman spiritual sehingga kembali bangkit penuh optimisme menyambut hari esok yang lebih baik.
Berkenaan dengan kehidupan modern dewasa ini, di mana sebagian besar manusia terlelap dalam pelukan nafsu duniawi yang mengedepankan pemenuhan materi dan mengabaikan nilai-nilai spiritual, Al-Qur’an, sebagai Kitab Suci umat Islam, berpagi-pagi mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. “…Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa. Dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.” (Q.S. An-Nisa: 77).
Dalam ayat lain disebutkan, “…Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Q.S. Al-Hadid: 20). Selain dua ayat tersebut, Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya menyatakan, “Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.”
Dari sejumlah keterangan ayat dan hadis yang telah penulis uraikan di atas, dapat dipahami bahwa kesenangan duniawi adalah kesenangan yang menipu yang hanya sesaat saja kita rasakan. Sementara kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi yang bersifat abadi.
Dengan demikian, maka alangkah naifnya jika kehidupan dunia yang sementara ini menjadi tujuan utama kita, hingga melupakan kehidupan kita sesungguhnya di akhirat kelak.
Kebahagiaan di dunia ini tidak akan berarti apalagi bermakna, ketika jalan kehidupan yang kita tempuh jauh dari nilai-nilai Ilahi. Apa yang kita sebut dengan kebahagiaan, bisa jadi hanyalah kesenangan sesaat yang semu dan nisbi. Kita senang karena mendapat apa yang kita inginkan, meskipun cara yang kita tempuh untuk mendapatkan keinginan itu tidak sesuai bahkan menyimpang dari ajaran agama.
Kebahagiaan sejati adalah ketika kita meraih apa yang kita inginkan, mendapatkan apa yang kita citakan, dengan tetap mengindahkan aturan-aturan Allah yang termaktub di dalam kitab suci, atau yang telah diteladankan oleh Nabi SAW.
Inilah kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang bertahan lama, tidak hanya bersifat sementara. Inilah kebahagiaan yang penuh makna. Kebahagiaan yang dinikmati, tidak hanya oleh diri sendiri, tetapi juga oleh sesama.
Al-Qur’an melalui sejumlah ayatnya menunjukkan kepada kita bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan kita dapati di akhirat nanti, ketika kita hidup di dunia ini menempuh jalan yang diridlai Allah SWT.
Ruang Inspirasi, Ahad (15/3/2020).