JAKARTA, MENARA62.com-“Kebijakan yang tidak humanis dan berpotensi menimbulkan konflik antar agama. Bagi negara demokratris yang dikenal toleran, apa yang dilakukan Donald Trump memulai langkah kontraproduktif yakni melakukan langkah pembusukan demokrasi dan toleransi.”
Demikian tanggapan Dr H Robby Habiba Abror MHum, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DI Yogyakarta terhadap pelarangan visa dari tujuh negara yang mayoritas berpenduduk Islam yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Perintah eksekutif (executive order) itu berlaku hanya beberapa hari sejak Donald Trump resmi dilantik sebagai Presiden AS. Salah satu perintah tersebut adalah melarang masuknya warga negara dari Irak, Iran, Suriah, Libya, Yaman, Sudan, dan Somalia.
“Sebagai seorang presiden, Trump punya hak untuk melakukan proteksi ideologis terhadap rakyat Amerika,” kata Robby kepada Menara62.com, Rabu (1/2/2017), “tetapi pilihannya bersifat tebang pilih dan sangat berlebihan karena hanya negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, kalau tidak boleh disebut negara Islam yang rawan konflik dan pertumpahan darah yang dianggap sebagai ancaman bagi negerinya.”
Bagi Dosen UIN Yogyakarta ini Trump seperti menebar kebencian dengan kebijakannya yang kelewat berani. Terobosan yang hanya akan mengundang reaksi kaum ultrapuritan dan kecaman dari negara-negara lain yang merasa dirugikan dengan keputusannya tersebut.
Trump, tegasnya, seperti menampar wajah harmoni antar umat beragama yang selama ini sudah berusaha dibangun dengan baik oleh pendahulunya, Barack Obama. Meskipun tentu saja penilaian plus minus juga dapat diterapkan kepada pendahulunya tersebut.
“Bisa dibilang arogan, seolah sudah memahami segala risikonya, alih-alih hanya akan menguatkan kritik tajam dan gejolak bernuansa rasisme dari sebagian rakyatnya sendiri. Kita dapat menafsirkan langkah Trump ini sebagai gebrakan yang kontroversial, ia sedang menyampaikan pesan eksistensial kepada negara-negara rival Amerika sekaligus rivalitas politiknya bahwa keputusannya (muslim ban) sudah benar, sarat optimisme, berani mengambil resiko, dan pukulan telak bagi setiap orang yang hendak menyelisihinya.”
Hal ini dibuktikan dengan melihat kenyataan bahwa orang-orang di lingkaran presiden yang berusaha menyelisihinya akan dicopot, dipretelin satu persatu. Malah seolah-olah apa yang dilakukan oleh Trump sebagai memuluskan ambisi politik.
“Dari situ bisa dibaca, jika ia berhasil dengan keputusan kontroversialnya tersebut, sebagai hasil uji produk ide pemikirannya, ia akan kembali memproduksi gagasan-gagasan yang melawan arus. Demikian seterusnya, sampai pesan eksistensialnya dapat meyakinkan orang lain bahwa idenya tidak salah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini sebenarnya bagian dari manifestasi doktrin ekonomi-politik Trump untuk membangun trust dan melebarkan sayap kuasa negeri adidaya tersebut,” pungkasnya.