25.5 C
Jakarta

KEDUDUKAN ANAK DALAM AL-QURAN (1)

Baca Juga:

Oleh: M. RIFQI ROSYIDI Lc., M.Ag)*

Pernikahan harusnya diapresiasi oleh seorang muslim sebagai salah satu bentuk ibadah untuk menyempurnakan kepribadiannya dan bukan dipahami dari perspektif orientasi seksual saja tentang halalnya senggama hubungan badan antara laki-laki dan perempuan, dengan demikian pernikahan seorang muslim harusnya diselaraskan dengan proyeksi masa depan profetik untuk menghasilkan generasi penerus yang berkualitas (khaira ummah) dan mengukuhkan nabi Muhammad sebagai seorang rasul dengan umat terbanyak.

Oleh karena itu dalam memilih calon ibu sebagai mesin produksi keturunan sekaligus menjadi faktor utama penentu orientasi masa depan anggota dan karakternya, seorang lelaki harus lebih memperhatikan keshalehan internalnya, dan dalam konteks ini karakter seorang wanita yang layak dipilih untuk mewujudkan misi profetik di atas adalah wanita yang al-wadūd dan al-walūd; al-wadūd merupakan karakter seorang wanita yang mampu menyeimbangkan antara rasa cemburu dan rasa cinta kasih kepada suaminya, sedangkan al-walūd merupakan perwujudan rasa cinta kasihnya kepada suami dengan memberikan kesempatan untuk memiliki banyak keturunan darinya.

Maka berdasarkan kepada narasi hadits nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa`i: “Nikahilah wanita yang penyayang lagi peranak, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan jumlah kalian di hadapan umat-umat yang lain (pada hari kiamat)”. Umat Islam dituntut secara syar`ī mempunyai keturunan yang banyak dan berkualitas, sehingga dengan memahami semangat hadits secara tekstual program keluarga yang membatasi keturunan hanya dengan 2 anak saja sebenarnya tidak sesuai dengan misi kenabiannya Muhammad saw tersebut, selain itu juga membatasi kelahiran dapat dikatakan bertentangan dengan tujuan nikah menurut perspektif al-Quran, di mana nikah dijadikan sebagai sarana memperbanyak kelahiran laki-laki dan perempuan sebagaimana dengan jelas dinarasikan di dalam Q.S. al-Nisa [4]: 1: ”Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu”, dan Q.S. al-Nahl [16]: 72: “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?”.

Tulisan ini tidak sedang berbicara tentang karunia anak keturunan dalam konteks takdir dan ketentuan Allah, karena pada tataran tertentu seseorang yang tidak dikaruniai anak dan keturunan harus meyakininya sebagai sebuah ẖasanah yang dikehendaki Allah atas dirinya dan harus diterima dengan penuh keikhlasan dengan tetap mengembangkan sikap ẖusnudzdzan dengan pengertian bahwa Allah menginginkan kebaikan baginya dalam bentuk yang lain karena dalam doktrin akidah yang benar sejatinya Allah-lah yang lebih mengetahui tentang potensi dan kekuatan setiap manusia daripada manusia itu sendiri.

Sekali lagi kita tidak sedang berbicara tentang anak dalam perspektif takdir, tetapi dalam konteks ini kita berbicara tentang anak keturunan dari perspektif sosio-antropologis yang secara umum menganggap bahwa kehadiran anak menjadi indikator kesempurnaan dan kebahagiaan seseorang dalam berkeluarga, apalagi ketika keberadaan anak dikaitkan dengan ketersambungan misi orang tua dan keterlanjutan masa depan dinasti. Kekhawatiran yang bersifat manusiawi semacam ini sempat dirasakan oleh nabi Ibrahim dan nabi Zakaria ketika beliau berdua sudah mulai beranjak tua tetapi belum juga dikaruniai seorang putra.

Dan khusus berkenaan dengan nabi Zakaria meskipun sudah sangat renta dengan kondisi fisik yang melemah tetapi beliau tetap konsisten berdoa kepada Allah Dzat yang Maha Mencipta mengharap lahirnya seorang putra dalam hidupnya sebagai penerus misi profetik yang selama ini diperjuangkannya. Ketika itu Nabi Zakaria mengadukan perasaan hati yang penuh dengan kekhawatiran itu: “Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap kerabatku (penerusku) sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera” (Q.S. Maryam [19]: 5).

Lebih dari itu al-Quran di beberapa ayatnya juga mengungkapkan beberapa kisah yang menyatakan bahwa status sosial juga ditentukan oleh banyaknya keturunan. Narasi al-Quran berkenaan dengan fakta sosial ini salah satunya bisa kita temukan di Q.S. al-Kahfi [18]: 34, ketika Allah membandingkan dua pribadi yang jauh berbeda baik dilihat dari sisi teo-spiritualitasnya maupun dari sisi strata sosialnya, dan dalam perspektif sosio-antropologis salah satu dari dua orang tersebut telah diberikan kelebihan materi keduniaan dan dengan bangga mengunggulkan dirinya atas saudaranya karena banyaknya harta yang dimiliki dan juga banyaknya anak keturunan yang menjadi kekuatan bagi keterlanjutan dinasti dan keberadaan keluarganya (aktsaru mālan wa a`azzu nafaran).

Realitas semacam ini juga diungkap di dalam Q.S. al-Taubah [9]: 69 yang menyatakan bahwa rahasia kekuatan orang-orang kafir dan orang-orang munafik (dalam konteks latar belakang turunnya ayat waktu itu) terletak pada kekuatan modal kapital dan jumlah keturunan yang banyak, (aktsaru mālan wa waladan) dan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka karena secara kuantitas mereka berada di atas umat Islam.

Dua orientasi berkenaan dengan kepemilikan dan kedudukan anak di dalam keluarga yang secara naratif dipresentasikan di dalam al-Quran melalui kisah perjalanan hidup para nabi dan tokoh-tokoh inspiratif interpretatif dengan pendekatan sosio-antropologis, meskipun demikian orientasi manusiawi di atas pada hakikatnya sangat berbeda dengan prinsip dasar kedudukan anak yang disampaikan menggunakan pendekatan teologis dengan narasi-narasi bersifat informatif antisipatif, karena al-Quran ketika berbicara tentang kedudukan anak di dalam keluarga menggunakan ungkapan bahasa yang terkesan lebih bersifat memberikan peringatan terhadap potensi munculnya pengaruh negatif bagi keharmonisan kehidupan berkeluarga dan terputusnya aliran energi kebaikan di kehidupan akhirat ketika orang tua tidak mampu mengelola semua potensi yang diberikan kepada anaknya dengan baik, di mana kalau kita telaah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kedudukan anak di dalam keluarga setidaknya akan kita temukan 4 istilah qur’ānī berkenaan dengan potensi dan karakter anak di dalam keluarga, yang kalau kita narasikan sesuai dengan urut-urutan turun surat (tartīb nuzūl al-sūwar) kita akan memahami bahwa pada prinsipnya anak memang dijadikan sebagai zīnah al-hayāt al-dunyā (Q.S. al-Kahfi [18]: 46); tetapi pada kondisi tertentu bisa menjadi fitnah (Q.S. al-Anfāl [8]: 28) yang berpotensi tulhīkum `an dzikrillāh (Q.S. al-Munāfiqūn [63]: 9), dan akhirnya menjadi `aduwwun lakum (Q.S. al-Taghābun [64]: 14).

Ilustrasi anak-anak mengaji di pengungsian Sulbar
Dok. MDMC

Semua karakter yang disebutkan berkenaan dengan kedudukan anak tersebut dapat dikategorikan ke dalam karakter-karakter negatif yang berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga untuk selanjutnya harus diantisipasi dengan menajemen pengelolaan konflik yang berparadigma teo-spiritualistik sehingga tidak menimbulkan preseden buruk bagi siapa saja yang memproyeksikan terbentuknya sebuah keluarga yang sakīnah dalam hidupnya dengan komposisi anggota keluarga dengan potensi dan karakter yang beragam.

Dalam kondisi seperti ini sangat mungkin Allah menjadikan anak keturunan kita sebagai beban hidup di dunia dan siksa di kehidupan akhirat yang abadi. Oleh karena itu masih dalam perspektif tartīb nuzūl al-sūwar narasi-narasi al-Quran tentang kedudukan anak ditutup dengan 2 ayat yang memiliki keserupaan dalan struktur kalimat dan makna yang dikandungnya: “Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir”. (Q.S. al-Taubah [9]: 55); “Dan janganlah engkau (Muhammad) kagum terhadap harta dan anak-anak mereka. Sesungguhnya dengan itu Allah hendak menyiksa mereka di dunia dan agar nyawa mereka melayang, sedang mereka dalam keadaan kafir”. (Q.S. al-Taubah [9]: 85). (bersambung).

*Penulis adalah Dewan Penasehat Sahabat Misykat Indonesia

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!