Terjadilah kehebohan. Saat pertemuan para amil se-Indonesia di Solo. Senin malam lalu. Gara-gara Baznas mengedarkan formulir persetujuan kepada perwakilan lembaga amil yang hadir untuk bersikap netral dalam politik.
Saya tidak ikut dalam pertemuan itu. Tapi ikut memantau. Banyak informasi menarik yang saya terima. Terkait kehebohan itu. Ada yang menolak terang-terangan. Bahkan sangat keras penolakannya. Ada juga yang menolak. Tapi diam-diam. Ehm…
Pakta integritas untuk amil zakat yang diedarkan Baznas ini sangat menarik. Pertama, karena muncul sebulan sebelum pemilihan umum. Kedua, karena Baznas memberlakukan pakta integritas itu tidak hanya untuk internal Baznas tetapi juga semua lembaga amil non Baznas. Di semua tingkatan.
Dalam pikiran positif, boleh jadi, pakta integritas ini merupakan upaya otokritik Baznas untuk seluruh lembaga amil zakat beserta amilin dan amilat di dalamnya. Agar fokus pada tugas sebagai amil.
Besarnya potensi zakat, infak dan sedekah memang lebih penting ketimbang jadi tim sukses capres atau cawapres. Bahkan lebih urgent ketimbang jadi capres atau cawapres sekali pun.
Di Indonesia ada beberapa model kelembagaan amil zakat. Ada lembaga amil berbasis ormas. Misalnya: Lazismu (Muhammadiyah), Lazisnu (Nahdlatul Ulama). Ada lembaga yang menyebut sebagai berbasis korporasi. Misalnya Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, ACT, PKPU, dan banyak lagi.
Ada juga yang berbasis birokrasi pemerintah, yakni Baznas di pusat. Dan Bazda di daerah.
Saya jadi penasaran, mengapa tiba-tiba Baznas menyodorkan form persetujuan agar lembaga amil zakat dan para amilin serta amilatnya bersikap netral? Tidak hanya untuk internal Baznas dan Bazda. Tapi untuk semua. Apakah ada indikasi lembaga amil zakat yang tidak netral?
Tentu saja saya tidak bisa menilai mana lembaga yang bersikap netral dan mana yang tidak netral. Saya tidak melihat praktik di lapangan.
Namun sejauh yang saya tahu, Lazismu jelas bersikap netral. AD/ART lembaga di bawah Muhammadiyah itu tegas melarang lembaga dan amilin serta amilatnya berpolitik.
Saya kira publiklah yang bisa merasakan. Mereka yang berinteraksi di lapangan. Bisa menangkap yang tersirat. Di balik yang tersurat.
Sikap memang sulit dilihat dengan kasat mata. Tapi bisa dirasakan. Mirip-mirip kentut. Tidak terdengar suaranya. Tapi bisa dicium aromanya.