Di tengah kekacauan perang yang berlangsung di Gaza, kehidupan warga Palestina semakin sulit, terutama bagi mereka yang tinggal di tenda-tenda pengungsian.
Situs CNN.COM melansir, Alaa Al-Shawish, seorang warga Gaza, berdiri tanpa alas kaki di atas lumpur dengan wadah kosong di tangan di sebuah stasiun air yang padat di pusat kota Gaza. Kecemasan Alaa bukan hanya soal serangan udara yang datang tanpa ampun, tetapi juga cuaca musim dingin yang semakin menggigit dan mengancam keselamatan keluarganya.
Tenda sementara yang mereka tempati di Deir Al-Balah—sebuah tempat pengungsian setelah mereka terpaksa meninggalkan rumah di Kota Gaza—memiliki banyak bahaya. “Kami hampir mati kedinginan. Ini bukan kehidupan, ini bukan kehidupan. Saya berdoa setiap hari agar kami mati agar terbebas dari kehidupan ini,” ungkap Alaa dengan air mata yang sulit ditahan. Tidak hanya ketidakpastian akibat perang yang menghantui, tetapi juga kekurangan air bersih dan makanan.
Peringatan datang dari Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), yang mengungkapkan bahwa “lebih banyak bayi akan meninggal” jika kondisi ini terus berlangsung. Sejumlah bayi, termasuk lima di antaranya yang berusia di bawah satu bulan, telah meninggal dunia akibat hipotermia. Cuaca dingin yang mencapai 10 derajat Celcius, disertai hujan dan angin kencang, semakin memperburuk keadaan.
Kematian yang melanda juga tidak terbatas pada bayi. Seorang perawat ditemukan meninggal karena kedinginan di tenda tempat tinggalnya di Al-Mawasi. Tragedi ini menggambarkan betapa mengerikannya kondisi yang dihadapi oleh warga Gaza, yang kini tidak hanya harus berjuang melawan serangan udara dan kekurangan pangan, tetapi juga ancaman cuaca yang mematikan.
Kisah-kisah memilukan ini menunjukkan betapa pentingnya bantuan kemanusiaan yang cepat dan tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa, mengingat ancaman cuaca dingin yang semakin parah di tengah ketegangan politik dan militer yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.