JAKARTA, MENARA62.COM – Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi BKKBN, Drs. Sukaryo Teguh Santoso, M.Pd menegaskan bahwa dalam upaya percepatan penurunan stunting, pemerintah akan lebih memprioritaskan intervensi terhadap keluarga berisiko stunting.
Hal itu dikemukakan Sukaryo Teguh pada acara Diskusi Jurnalis dengan tema “September Jadi Penentu Stunting”, yang digelar BKKBN, di Ruang Media Center BKKBN Pusat, Jakarta, Senin (11/9/2023).
“Bila kita ‘declare’ anak yang sudah stunting, kontribusinya hanya sekitar 20 persen terhadap percepatan penurunan stunting (PPS),” ujar Sukaryo Teguh.
Berdasarkan hasil Pemutakhiran Data Keluarga Indonesia tahun 2022, terdapat 13.511.649 keluarga berisiko stunting. Jumlah ini merupakan bagian dari 71.334.664 total jumlah seluruh keluarga di Indonesia.
Di dalam keluarga berisiko stunting juga termasuk di dalamnya adalah keluarga dengan kategori miskin ekstrem.
“Jangan sampai 13,5 juta keluarga berisiko stunting nantinya melahirkan anak-anak stunting. Maka, mereka menjadi sasaran prioritas,” tandas Sukaryo Teguh.
Selain menyasar pada keluarga berisiko stunting, Sukaryo Teguh menegaskan bahwa calon pengantin (catin) juga menjadi sasaran prioritas program PPS.
BKKBN mencoba menjaring catin, menurut Sukaryo Teguh, agar pencegahan stunting benar-benar dimulai dari hulu. “Pintu gerbang pertama adalah catin. Bila lolos, kita tangkap di ibu hamil. Sehingga kondisi bayi yang dilahirkan benar-benar sehat dan terbebas dari stunting,” ujar Sukaryo Teguh.
Menurut Sukaryo Teguh, pencegahan stunting difokuskan pada wilayah kecamatan hingga ke tingkat RT. “Mengapa kecamatan? Karena merupakan wilayah yang paling dekat dengan keluarga,” sebut Sukaryo Teguh.
Di wilayah kecamatan inilah para petugas di lini lapangan bergumul dengan tugasnya, dibantu para Pembina Pembantu Keluarga Berencana Desa (PPKBD) dan sub PPKBD. melakukan sosialisasi, penyuluhan dan pelayanan.
Saat ini sedikitnya terdapat 14.000 Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Mereka tersebar di berbagai pelosok dan dalam menjalankan tugasnya dibantu PPKBD atau kader KB yang jumlahnya jutaan. Cukup efektif karena PPKBD, yang telah mengantarkan program KB menggapai sukses, menyebar hingga tingkat RT/RW di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam program PPS, para PLKB dan relawan kader KB ini dibantu oleh 593.137 personil yang tergabung dalam 200.000 Tim Pendamping Keluarga (TPK). Tim ini terdiri atas bidan, kader PKK dan juga kader KB.
Fungsi dari masing-masing anggota TPK berbeda, tetapi memiliki tujuan sama, yakni memberikan pendampingan pada keluarga risiko stunting (KRS). Bentuknya berupa penyuluhan dan edukasi.
“Banyak keluarga belum tahu stunting dan bagaimana cara mencegahnya. Karena tidak semua keluarga mampu menjangkau pelayanan yang mereka butuhkan,” jelas Sukaryo Teguh.
Salah satu tugas yang diemban TPK adalah memastikan bantuan yang disalurkan tepat sasaran dan diterima KRS dengan baik. Seperti bantuan telur yang benar-benar harus di makan oleh anak stunting atau berpotensi stunting, bukan oleh anggota keluarga yang lain.
“Tugas TPK adalah melakukan pengawalan terhadap pelaksanaan program sehingga tepat sasaran dan tepat manfaat,” tutur Sukaryo Teguh.
Berdasarkan Rencana Strategis BKKBN 2020-2024, target keluarga risiko stunting yang mendapat pendampingan TPK sebesar 90 persen dari total KRS yang ada.
Selain faktor spesifik terkait stunting, di antaranya pemberian ASI eksklusif, Sukaryo Teguh juga mengatakan bahwa faktor sensitif mengambil peran 70 persen atas terjadinya kasus stunting.
Mengutip data yang ada, Sukaryo Teguh mengatakan 3,8 juta keluarga memanfaatkan sumber air tidak layak, dan 6,7 juta keluarga menggunakan jamban tidak layak. Ini berdasarkan hasil Pendataan Keluarga 2022.
Sukaryo Teguh juga mengungkap bahwa hampir 100 persen kepala daerah menyatakan berkomitmen terhadap proram PPS. “Bupati dan walikota bicara stunting, itu luar biasa. Ini menunjukkan komitmen mereka,” tutur Sukaryo Teguh.
Hingga Semester I/2023, Pemerintah Provinsi yang telah mengalokasikan APBD untuk PPS mencapai 79 persen. Sementara di tingkat kabupaten/kota sebesar 80 persen.
Optimis Target Tercapai
Sementara Ipin ZA Husni selalu Program Manager Sekretariat Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting, optimis target penurunan stunting menjadi 14 persen di 2024 akan terealisasi.
“Melihat stunting pernah turun 3,1 persen di tahun 2018 – 2019 dan 2,8 di 2021-2022, di mana ketika itu sarana pendukung dan komitmen pemerintah tidak selengkap dan sekuat sekarang dan ditambah adanya Covid, maka saya optimis penurunan prevalensi stunting sebesar 3,8 persen per tahun di waktu yang tersisa akan terealisasi. Sehingga target 14 persen akan dicapai di 2024,” papar Ipin.
Optimisme Ipin dilatarbelakangi adanya keterlibatan 19 kementerian dalam program PPS. Selain juga didukung keterlibatan langsung ratusan ribu petugas yang tergabung dalam Tim Pendamping Keluarga dan Tim Percepatan Penurunan Stunting.
“Dengan infrastruktur yang begitu lengkap, bukan hal mustahil penurunan stunting 3,8 persen per tahun bisa kita raih. Syukur lebih,” ujar Ipin berharap, seraya menambahkan, bahwa “Pelaksanaan yang baik tidak pernah mengkhianati hasil.”
Melihat capaian di Semester I/2023, Ipin optimis indikator-indikator capaian percepatan penurunan stunting akan mencapai target pada Juli-Agustus 2024, yaitu akhir dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Berkat kerja bersama dengan pendekatan pentahelix yang melibatkan kementerian/lembaga, pengusaha, akademisi, perguruan tinggi, media, masyarakat, Ipin mengatakan prevalensi stunting berhasil diturunkan menjadi 21,6 persen berdasarkan hasil SSGI 2022.
Kata Ipin, ada lima pilar strategi nasional percepatan penurunan stunting yang dimassifkan BKKBN dan mitra kerja. Yakni, komitmen berkelanjutan dari para pemimpin, peningkatan literasi masyarakat, konvergensi dan keterpaduan lintas sektor, pemenuhan gizi yang tepat, dan penguatan sistem pemantauan dan evaluasi.
“Apa yang dilakukan tidak mungkin dilaksanakan mulus manakala tidak didukung kebijakan di semua lini,” ujar Ipin, dengan mengingatkan bahwa dalam pemeringkatan terkait ‘Intelligence Quotient’ (IQ), Indonesia berada di bawah Vietnam, Kamboja hingga pun Laos.
“Betapa besar pengaruh stunting terhadap suatu bangsa. Ini masalah kesehatan dan kecerdasan. Karena itu, zero stunting yang didengungkan sejumlah pemerintah daerah menjadi penyemangat untuk bersama menurunkan prevalensi stunting di masing-masing daerah,” jelas Ipin.