JAKARTA, MENARA62.COM — Di tengah semangat pemerintahan Prabowo-Gibran untuk membangun dari pinggiran, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT) justru berada di persimpangan jalan. Evaluasi terbaru dari lembaga Indo Strategi menempatkan kinerja kementerian ini pada skor 2.96—kategori “sedang”—dengan catatan yang tak bisa diabaikan.
Di satu sisi, Kemendes PDT menunjukkan geliat positif: digitalisasi program desa mulai membuka peluang ekonomi baru, koperasi dan BUMDes di beberapa wilayah mulai berdenyut sebagai tulang punggung ekonomi lokal, dan sinergi dengan BPS untuk membangun ekosistem data terpadu menjadi langkah strategis menuju perencanaan berbasis bukti.
Namun di balik narasi kemajuan, tersimpan sederet persoalan mendasar. Pengelolaan dana desa masih menjadi titik rawan: korupsi, penyalahgunaan, dan minimnya transparansi terus menghantui. Program Desa Wisata yang digadang-gadang sebagai terobosan, dinilai lebih seremonial ketimbang substansial. Pendamping desa, yang seharusnya menjadi ujung tombak perencanaan dan akuntabilitas, justru dinilai tidak efektif.
Koordinasi antar-kementerian pun belum optimal. Tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian Pariwisata, UMKM, Bappenas, dan PUPR memperlambat implementasi program. Aparatur desa masih terbatas kapasitasnya, menyebabkan dana desa lebih banyak terserap untuk proyek fisik jangka pendek ketimbang pembangunan berkelanjutan.
Indo Strategi merekomendasikan tujuh langkah konkret, mulai dari membangun sistem transparansi dana desa berbasis digital, reformasi pendamping desa berbasis kompetensi, hingga pengembangan BUMDes dan koperasi yang berakar pada potensi ekonomi lokal seperti pertanian, wisata, dan energi terbarukan.
Yandri Susanto, Menteri Desa yang baru, dihadapkan pada tantangan besar: membuktikan bahwa kementerian yang ia pimpin bukan sekadar pelengkap kabinet, melainkan motor penggerak pembangunan dari akar rumput. Visi Presiden Prabowo untuk membangun Indonesia dari desa hanya akan terwujud jika Kemendes PDT mampu menjawab kritik dengan aksi nyata.
Apakah kementerian ini akan menjadi pionir transformasi desa, atau justru terjebak dalam birokrasi lamban dan program bombastis tanpa dampak? Jawabannya akan menentukan wajah Indonesia dari pinggiran. (*)

