YOGYAKARTA, MENARA62.COM – Masyarakat Sastra Yogyakarta mendeklarasikan pendirian “Museum Sastra Yogyakarta”, Senin (12/4/2021). Keberadaan Museum Sastra Yogyakarta menjadi penting sebagai bagian dari dunia Pendidikan dan Dunia pariwisata.
Museum Sastra tidak hanya sebagai tempat penyimpanan artefak karya-karya lama, karya pujangga kraton tetapi juga karya sastra modern, sekaligus sebagai pusat pengetahuan, juga tempat berhimpun untuk melahirkan dan mencipta karya-karya yang tersinergi dengan dunia sastra.
Sigit Sugito, sang penggagas Museum Sastra Yogyakarta mengatakan pendirian museum ini didorong oleh kesadaran akan dokumentasi dan mengabadikan artefak maupun karya sastra dari Umbu dan sastrawan lain. Tujuannya agar kasus seperti almarhum Ragil Suwarno Pragolapati yang sulit menemukan dokumentasinya tidak terulang.
“Yogyakarta, dikenal sebagai salah satu pusat seni dan kebudayaan yang menonjol di Indonesia. Para seniman, khususnnya satrawan yang pernah dan atau masih bergulat di kota ini, dinilai memiliki pengaruh kuat dalam kehidupan dan perkembangan sastra di Indonesia hingga saat ini,” katanya.
Sigit menjelaskan sejak tahun 1940-an telah tumbuh berbagai sanggar ataupun kelompok kesenian yang berbasis di luarkampus dan di dalam kampus. Ada masa, di ratusan kampung bertumbuhan kelompok-kelompok kesenian.
Kehidupan kesenian ditopang pula adanya berbagai media yang terbit di Yogyakarta berupa majalah dan koran – yang pada masa lalu – hal semacam hanya terjadi di kota-kota besar, dan juga banyaknya penerbit-penerbit di Yogya yang memiliki perhatian terhadap kehidupan seni-budaya.
Malioboro, sebagai salah satu ikon Yogyakarta, juga tak lepas dari kehidupan dan perkembangan seni budaya juga sastra. Pada era 1950-an orang banyak berdatangan untuk berdialog dan berdiskusi bahkan mempresentasikan karya-karya sastranya di ruas jalan Malioboro. Mereka kemudian disebutnya sebagai Sastrawan Malioboro.
Lalu pada kurun 1960-an hingga awal tahun 1970-an masyarakat mengenal pula Persada Studi Klub (PSK). Ini adalah kelompok penyakir tidak hanya dari daerah Yogyakarta tetapi juga mereka yang datang dari luar Yogyakarta. Kehadiran PSK tak lepas dari sosok Umbu Landu Paranggi sebagai tokoh utamanya sekaligus guru bagi para seniman dan satrawan,. Pria bangsawan asal Sumba tersebut yang kemudian dikenal sebagai Presiden Malioboro kini telah meninggal dunia.
Sayangnya proses re-generasi dan interaksi lintas generasi yang terjalin selama bertahun-tahun tersebut tidak terdokumentasi dengan baik. Kalaupun ada dokumentasi proses kreatif dari para seniman Yogyakarta tersebut murni sebagai inisiatif dari sedikit orang untuk melakukan pendokumentasian yang lebih bersifat personal, seperti dilakukan oleh (almarhum) Ragil Suwarno Pragolapati.
“Untuk itu, kami berinisiatif bisa membuat dokumentasi terhadap Umbu Landu Parangi dan tentunya untuk sastrawan dan seniman lain,” tandas Sigit .
Museum diharapkan mampu memberikan nilai tambah yang sangat signifikan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata utama.