Oleh Ashari,SIP*
Banyak ayat dalam Al Quran yang mengajarkan kepada umatnya untuk hidup bersahaja. Salah satunya adalah QS At-takasuur. “Bermegah-megah telah melalaikan kamu, sehingga kamu masuk ke liang kubur. Jangan begitu”. Bahkan perintah Allah ini diulang lagi, jangan begitu. Ini menggambarkan betapa pentingnya agar kita tidak bermegah-megah. Hidup sederhana, bukan berarti apa adanya tanpa usaha. Sebab dengan hidup sederhana, maka hidup akan terasa cukup, bahagia dan bersyukur kepada-Nya. Sebaliknya gaya hidup megah, menjadikan hati selalu kurang dan jauh dari rasa syukur itu.
Hidup sederhana juga bukan diartikan kita tidak boleh kaya, kemudian tidak mau bekerja keras, dengan alasan ingin hidup sederhana, apa adanya. Ini adalah pengetrapan yang salah. Umat Islam justru diajarkan untuk bekerja keras. Namun setelah hasil kita peroleh, tidak untuk diri sendiri. Dengan alasan bahwa apa yang diperoleh adalah hasil dari usaha kerasnya, tanpa ada campur tangan Allah Swt. Tanpa bantuan teman-temannya, kalau kebetulan kita sebagai pimpinan, juga bantuan staff dan karyawannya. Karena sesungguhnya tidak ada keberhasilan yang absolut. Kesuksesan mandiri. Analoginya sederhana: pedagang berhasil karena ada lingkaran pembeli dengan kesepakatan harga antar keduanya. Begitu seterusnya.
Kepada siapa disedekahkan, harta yang sudah kita peroleh dengan bekerja keras itu? Dijawab oleh Allah Swt dalam QS Al-Israa – 26-27 : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, orang miskin, orang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. Allah menyebut orang-orang yang berperilaku hidup mewah dan boros adalah orang yang lalai dan saudara setan. Karena dengan sikap borosnya ini, maka seberapapun besar rezeki/penghasilan yang diperolehnya tidak akan pernah diterimanya dengan cukup. Akibatnya dia/mereka akan mencuri, korupsi dan tindakan-tindakan destruktif lainnya.
Soal kebersahajaan kita dapat belajar tarikh dari Rasulullah Muhammad Saw. Banyak kisah yang menceritakan bagaimana Rasul makan dengan para sahabatnya dengan makanan yang tidak berlebih. Anas. Ra. Pembantu Rasul yang puluhan tahun hidup bersamanya mengatakan: belum pernah Rasul makan roti putih yang dihaluskannya, hingga beliau wafat. Subhanallah. Aisyiah Ra, istri Nabi juga menceritakan bahwa Rasul waktu wafat mengenakan baju dan sarung kasar. Apakah Rasul miskin? Tidak. Tetapi banyak harta yang dimiliki untuk dakwah dan kejayaan Islam. Kita juga masih ingat ketika Muhammad muda meminang Siti Khatijah, mas kawinnya adalah puluhan unta pilihan, yang waktu itu tidak banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda Arab.
Untuk urusan agama, Nabi tidak pelit. Tetapi untuk ukuran diri sendiri, Rasul dapat menahannya. Kesederhaan dan kebersahajaan dalam Islam memberikan pelajaran kepada kita agar tidak gemar bergaya hidup mewah. Karena dengan demikian membuat kita jauh dari rasa syukur. Gampang merendahkan orang lain dan memandang orang berdasarkan harta yang dimilikinya.
Meski Rasul hidup sederhana, bukan berarti negara Islam yang beliau pimpin lemah. Bukan. Justru sebaliknya, beliau bersama sahabatnya membangun pundi-pundi zakat, infak dan sedekah sebagai pilar ekonomi waktu itu. Sehingga tidak mengherankan Islam berkembang pesat. Mampu menaklukan Persia, Turki, Romawi dan sekitarnya.
Tidak mudah untuk hidup bersahaja. Namun sesungguhnya bisa dilatih, yakni dengan membiasakan diri bergaul dengan orang-orang yang secara ekonomi ada di bawah kita. Rasa qonaah dan syukur, tanpa kita sadari akan menyeliap dalam hati kita. Adem dan nyaman. Jangan sampai kita sudah masuk ke liang qubur, baru sadar. Jelas sebuah kesadaran yang terlambat. Amin.
* Penulis, mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman. Opini pribadi