SOLO,MENARA62.COM — Hari Kesehatan Dunia 2025 mengangkat tema “Healthy Beginnings, Hopeful Futures” yang menyoroti pentingnya kesehatan ibu dan bayi sebagai fondasi masa depan generasi. Tema ini menjadi refleksi global atas perhatian terhadap kesehatan sejak awal kehidupan, dimulai dari kehamilan hingga masa pasca persalinan.
Dr. Vinami Yulian, S.Kep., Ns., M.Sc., Ph.D., dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menyampaikan bahwa kesehatan ibu dan bayi merupakan indikator penting dari kualitas sistem kesehatan suatu negara.
“Isu ini sangat krusial. Menurut WHO, meski terjadi penurunan global angka kematian ibu sebesar 34% antara tahun 2000 – 2020, dari 339 menjadi 223 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih jauh dari target SDGs yaitu 70 per 100.000,” terang dosen Program Studi Ilmu Keperawatan UMS itu, Senin (7/4/2025).
Di Indonesia, tantangan serupa masih dihadapi. Dengan angka kematian ibu diperkirakan sebesar 177 per 100.000 kelahiran hidup, pencapaian tersebut dinilai masih belum cukup signifikan.
“Indonesia on track, tapi lajunya masih lambat. Kita masih harus mengejar target bersama, dan ini bukan hanya tugas tenaga kesehatan,” tambahnya.
Menurutnya, faktor utama yang menjadi tantangan dalam pemenuhan layanan kesehatan ibu dan anak adalah akses pelayanan kesehatan, terutama di daerah terpencil. Faktor kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, infrastruktur yang belum merata, serta keterbatasan tenaga kesehatan di daerah juga menjadi hambatan tersendiri.
“Tenaga kesehatan enggan ditempatkan di daerah karena akses, gaji, bahkan isu keamanan seperti yang terjadi di Papua,” jelasnya.
Tak hanya itu, ketimpangan ekonomi dan kurangnya edukasi juga memperparah situasi. Ibu hamil dari kalangan kurang mampu cenderung tidak mendapat asupan nutrisi memadai, sehingga berisiko tinggi melahirkan bayi dengan gangguan tumbuh kembang.
“Masih ada pula budaya dan mitos yang menghambat, seperti larangan makan telur pasca melahirkan, padahal itu justru dibutuhkan untuk pemulihan dan produksi ASI,” lanjutnya.
Sebagai bagian dari kontribusi akademik, FIK UMS telah menginisiasi berbagai program untuk mendukung kesehatan ibu dan bayi. Mulai dari edukasi berbasis komunitas, posyandu binaan, hingga riset deteksi dini risiko kehamilan, anemia, ASI eksklusif, dan pencegahan stunting.
“Kami juga tengah berkolaborasi dengan University of Leeds dan King’s College London dalam pengembangan model kelas ibu hamil berbasis perawatan ibu. Model ini mengadaptasi pendekatan group antenatal care yang juga diterapkan di Belanda dan Inggris,” ujar Vinami.
Inovasi lain juga dikembangkan lintas prodi, seperti digital health tools hasil kolaborasi mahasiswa Keperawatan dan Teknik Informatika UMS untuk deteksi dini stunting. Inovasi ini berhasil meraih Gold Medal dan Special Award pada ajang Malaysia Technology Expo.
Capaian tersebut turut mengantarkan UMS ke peringkat tiga nasional dalam Times Higher Education (THE) Impact Ranking untuk kategori SDGs 3: Good Health and Well-being.
Lebih lanjut, Dosen UMS itu menekankan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung kesehatan ibu dan bayi.
“Masyarakat harus peka terhadap tanda bahaya kehamilan. Gotong-royong, edukasi, hingga kesiagaan lingkungan sangat berpengaruh dalam menjaga keselamatan ibu hamil, terutama yang suaminya sedang tidak ada,” katanya.
Ia juga mendorong peran strategis akademisi dan mahasiswa sebagai agen perubahan melalui edukasi, riset berbasis lokal, serta advokasi di masyarakat.
Mengakhiri pernyataannya,Vinami mengajak semua pihak menjadikan Hari Kesehatan Dunia 2025 sebagai momentum memperkuat sinergi.
“Isu ini bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan. Kita butuh komitmen kolektif dari pemerintah, akademisi, masyarakat, hingga keluarga agar semua ibu dan bayi memiliki hak yang sama untuk hidup sehat,” pungkasnya. (*)