27.3 C
Jakarta

Kesimpulan dan Rekomendasi Webinar MPP ICMI Bidang 6 Tema tentang: “Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Negara Harus Berbuat Lebih”

Baca Juga:

 

 

 

JAKARTA, MENARA62.COM – Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam perlindungan anak. Berbagai regulasi Internasional dan Nasional sudah dimiliki oleh negara dalam memajukan, menghormati dan melindungi hak anak yang merupakan bahagian dari hak asasi manusia. Konvensi Hak Anak (KHA) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang Convention on the rights of the childs (CRC) menjadikan Indonesia bersama negara lain di dunia menyetujui 54 pasal dalam konvensi hak anak yang terangkum dalam 5 kluster hak anak yaitu Kluster Hak Sipil Dan Kebebasan; Kluster Keluarga Dan Pengasuhan Alternatif; Kluster Kesehatan Dan Kesejahteraan; Kluster Pendidikan, Waktu Luang Dan Kegiatan Budaya; Serta Kluster Perlindungan Khusus Anak. Bahkan dalam konsititusi Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 28B menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Selanjutnya Indonesia sudah memiliki berbagai produk regulasi dan peraturan untuk mendukung pemenuhan dan perlindungan hak anak, salah satunya dengan lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perubahan Pertama Atas UU 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak serta peraturan turunan lainya.

Regulasi dan peraturan tersebut di atas butuh komitmen yang kuat, sehingga anak-anak Indonesia bisa mendapatkan pemenuhan dan perlindungan terbaik bagi 84,76 juta anak (BPS: 2021) atau 1/3 dari jumlah penduduk Indonesia. Data aduan KPAI sejak tahun 2011-2021 terkait pelanggaran hak anak tercatat sebanyak 50.303 kasus dalam kluster 1-5 yang diadukan oleh masyarakat. Dalam berbagai kajian menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran hak anak termasuk juga kasus kekerasan fisik/atau psikis, seksual, penelantaran dan traffiking anak seperti fenomena gunung es yang hanya terlihat dipermukaan, namun kasus-kasus yang belum terlaporkan atau korban takut mengadu lebih banyak dari data tersebut. Apalagi sebagian besar kasus tersebut pelakunya adalah orang terdekat, sehingga terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang, mendapatkan ancaman, dan termasuk juga bujuk rayu yang dilakukan oleh pelaku.

Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR: 2021) yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan adanya penurunan prevalensi kekerasan terhadap anak, dibandingkan hasil SNPHAR pada 2018. Berdasarkan hasil SNPHAR pada 2021, tercatat sebanyak 34 persen atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05 persen atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Sementara pada 2018, tercatat 62,31 persen atau 6 dari 10 anak laki-laki dan 62,75 persen atau 6 dari 10 anak perempuan mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Namun demikian, kasus-kasus terhadap kejahatan terhadap anak akhir-akhir ini menjadikan keprihatinan yang mendalam seperti kasus “HW” di Bandung yang memperkosa 13 muridnya hingga melahirkan 9 bayi serta kasus kejahatan anak lainya di Indonesia.

 

Kesimpulan dan Rekomendasi

  1. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, Orang Tua, Wali dan Masyarakat harus melakukan upaya serius melindungi anak sesuai dengan peran masing-
  2. Pemerintah Daerah harus merumuskan kebijakan, inovasi program, dukungan anggaran, efektifitas birokasi serta profesionalitas sumberdaya manusia dalam program pemenuhan hak dan perlindungan Program tersebut merupakan upaya pencegahan kekerasan yang dilakukan secara optimal dan penanganan kasus-kasus pelanggaran hak anak. Hal ini mengingat bahwa perlindungan anak menjadi urusan wajib daerah.
  3. Pemerintah mendorong Aparat Penegak Hukum mengupayakan hukuman yang maksimal bagi setiap pelaku kekerasan seksual dan mengupayakan adanya restitusi bagi korban sesuai aturan yang Sedangkan bagi pelaku anak, penerapan Sistem Peradilan Pidana Anak menjadi keharusan sebagai upaya keadilan restoratif.
  4. Upaya rehabilitasi korban membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan, termasuk orang tua, masyarakat, sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta lembaga
  5. Melakukan konsep pentahelik (pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat/komunitas, dan media) berkolaborasi mendukung dan membantu agar efektifitas pemenuhan dan perlindungan hak anak bisa diwujudkan secara baik, terutama bagi perlindungan anak korban kejahatan seksual; Keluarga menjadi pondasi pengasuhan dan perlindungan anak. Oleh karenanya orang tua harus dibantu memiliki pengetahuan untuk memahami pengasuhan sebagai upaya pencegahan yang
  6. Edukasi terkait beragam kekerasan seksual dan pencegahannya, termasuk edukasi kesehatan reproduksi di sekolah dan masyarakat sangat penting
  7. Mendorong ICMI diberbagai struktur organisasi wilayah, anggota dan simpatisan untuk mengambil peran dan tanggung jawab dalam melakukan terobosan yang efektif untuk menyelesaikan berbagai persoalan perlindungan anak. Upaya-upaya pencegahan secara serius dan sistematis, pengurangan resiko bagi keluarga rentan, serta penanganan rehabilitasi bagi korban kejahatan seksual anak secara
  8. Modus dan model kekerasan seksual terhadap anak terus berkembang, baik dilakukan secara offline dan Hal ini juga seiring dengan meningkatkanya penggunaan internet oleh anak-anak di era digital yang benar-benar ada di depan mata. Oleh sebab itu, perlindungan terhadap tunas-tunas masa depan ini harus dilakukan secara serius dengan mengerahkan seluruh potensi negara, agar generasi emas 2045 yang unggul bisa diwujudkan.

 

Jakarta, 5 Maret 2022

 

Majelis Pengurus Pusat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia

 

 

Prof. Dr. Ir. Hj. Riri Fitri Sari, M.M., M.Sc Rita Pranawati, MA
Wakil Ketua Umum Ketua Departemen Pengembangan

Jaringan Dan Perlindungan Anak

 

 

 

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!