30 C
Jakarta

Keteguhan Sikap Kritis, Demi Muhammadiyah

Baca Juga:

Keteguhan Sikap Kritis, Demi Muhammadiyah. Ini mungkin bisa dianggap sebagai tulisan tanggapan, namun tetap mencecap sari kepedulian pada Muhammadiyah. Apa memang ada larangan untuk bersikap kritis di Muhammadiyah? Bukankah Muhammadiyah merupakan organisasi moderen. Jawabnya, tidak akan dipercaya kalau hanya di mulut, tapi jauh dari tindakan yang diambil.

“Memang butuh keteguhan atas sikap kita dalam memberikan masukan kepada internal Muhammadiyah. Muhammadiyah akan berubah menjadi sebuah organisasi yang sakit, jika banyak larangan untuk mengkritik. Sebab itu menunjukkan dirinya lemah. Kritik harus memperkuat dan kita semua mesti mau memperbaiki diri”.

Tapi kutipan diatas, merupakan salah satu komentar pembaca yang dikirim langsung kepada pemulis, mengomentari Tajuk Suara Muhammadiyah edisi 04/108, 16-28 Februari 2023 lalu.

Tajuk tersebut merupakan sebuah kehormatan yang luarbiasa bagi penulis. Ketika tiga tulisan serial Kemunduran Muhammadiyah yang sebelumnya dimuat oleh klikmu.co –dan kemudian sempat di takedown oleh awak redaksi klikmu.co atas perintah seseorang yang mengaku sebagai senior IPM. Tulisan yang sama sebenarnya juga termuat di Menara62.com, dan tidak ada perintah apapun, karena “terselip” dalam hiruk pikuk peristiwa yang muncul.

Hal yang luar biasa, tulisan opini tersebut, mendapat tanggapan dalam bentuk tajuk rencana di media internal PP Muhammadiyah. Bahkan, tak tanggung-tanggung, tajuk itu ditulis langsung oleh pucuk Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tanggapan ini tentu merupakan hal yang amat penting.

Penulis tajuk yang juga sebagai Pimpinan Redaksi Suara Muhammadiyah itu, kemudian menyebutkan beberapa catatan atas tulisan tentang Kemunduran Muhammadiyah yang dimuat di beberapa media daring. Komentarnya, secara singkat mengatakan karya itu dianggap sebagai tulisan yang sangat subyektif, parsial dan jauh dari obyektif. Tidak lupa, juga dituliskan pesan agar penulis semestinya lebih cerdas, berwawasan luas, dan bertanggungjawab ketika beropini di arena publik.

Selain itu, tajuk tersebut juga myebutkan opini penulis sebagai produk demokrasi liberal barat yang dianggap tidak cocok. Wah, tentu kita kenal dan sangat akrab dengan argumentasi semacam ini, pernah dikeluarkan pada era kepemimpinan siapa di negeri ini!

Kemudian, pada alinea-alinea berikutnya, tidak ada sedikitpun kalimat jawaban dari penulis tajuk, tentang bagaimana cara kita mengatasi persoalan kesenjangan kesejahteraan di internal Muhammadiyah. Padahal, inilah poin penting jawaban yang ingin penulis tunggu-tunggu.

Mungkin pidato pimpinan Muhammadiyah harus dirubah. Tidak boleh lagi melulu “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”. Itu seperti slogan “ikhlas beramal” di Kementerian Agama. Ironinya, pameo itu lebih banyak ditujukan untuk massa, untuk anggotanya, untuk abdi dalemnya, namun bukan elit dan pemimpinnya! Lihat saja, apakah ada kepedulian pada orang-orang yang telah iklas pada Muhammadiyah, kemudian mereka dilupakan dan dianggap tidak pernah ada jejaknya untuk persyarikatan. Meski mereka juga tidak menginginkan sanjungan itu.

Kalau dijawab ada, coba sebuatkan. Mungkin tidak lebih dari jari-jari di tangan. Kalau ternyata lebih, wah luar biasa. Penulis akan tercerahkan soal ini.

Kalau dengan diksi yang  sinikal, penulis akan mengatakan lihatlah deretan mobil operasional di kantor Suara Muhammadiyah. Padahal, baru saja dikritik keras tentang bagaimana mensejahterakan guru-guru Muhammadiyah, bagaimana mengangkat taraf hidup karyawan-karyawan Muhammadiyah. Namun, dengan begitu santai mereka sanggup menampilkan citra wah nan glamor para direksinya, jauh dari kata kesederhanaan.

Apakah itu dimaksudkan sebagai indikator penting sebagai ciri sebuah gerakan berkemajuan?

Tentu saja penulis mengucapkan terima kasih yang tulus atas semua catatan dan nasehatnya. Sehingga tulisan itu tidak seperti setetes air yang disiramkan ke tengah padang pasir yang panas. Mirisnya, tanggapan itu diturunkan setelah tulisan awal yang menjadi rujukan kritiknya justru dibredel. Tapi masih untung ada di Menara62.com.

Ada beberapa hal yang menjadi paradoks dalam jawaban tajuk Suara Muhammadiyah tersebut. Sangkalan di alinea pertama tulisan terpatahkan dengan Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam dua Muwsyil ini, pengumuman calon pimpinan sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum pemilihan dilakukan. Bahkan, ini seperti menjadi tren baru. Tren untuk mengumumkan daftar calon jauh hari, dan ini sudah banyak diikuti oleh PDM yang akan melaksanakan Musyawarah Daerahnya.

Di era keterbukaan seperti sekarang ini, menjadi aneh ketika ternyata alasan menutup informasi daftar calon pimpinan saat Muktamar, lebih didasari pertimbangan yang bertolak belakang dengan semangat berkemajuan. Alasan kekhawatiran akan menimbulkan kegaduhan, tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi publik.

Apalagi, kenyataan di lapangan menunjukkan begitu besarnya keingintahuan publik, setidaknya di internal aktivis Muhammadiyah, untuk mengetahui siapa saja calon pimpinan Persyarikatan yang akan dipilih dalam Muktamar. Kalau pandangan ini juga dikatakan liberal, terus terang penulis tidak tahu apa rujukan buku yang dipakai. Mungkin perlu pencerahan akademik untuk ini.

Kritik lain yang tak berjawab. Pertanyaan terbuka yang ditujukan pada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, seolah menutup mata dan telinga dari kritik keras tentang seberapa besar urgensi membeli gereja di Spanyol, dibandingkan memberikan prioritas perhatian terhadap nasib para ahlul baitnya yang kekurangan. Proses pembelian gereja tetap saja dilakukan. Lalu apakah itu sengaja dimaksudkan untuk semakin menegaskan gerakan internasionalisasi Muhammadiyah?

Bukankah konsep al-Maun yang diajarkan Kyai Ahmad Dahlan sangat aplikatif dan sederhana maknanya? Konsep al-Maun ala Kyai Ahmad Dahlan adalah konsep sederhana, tetapi sangat visioner. Pesan al-Maun adalah agar kita serius memberikan proteksi dan insentif untuk yang lemah. Terlebih mereka itu adalah anggota kita sendiri. Tidak sadarkah kita, banyak diantara sesama kader persyarikatan yang kebetulan tidak mengelola AUM, kondisinya terpuruk lemah di saat Pandemi Covid-19. Tidak pekakah kita pada mereka yang malu untuk meminta tolong pada Muhammadiyah, meski perut mereka dan keluarganya lapar. Karena di kepalanya sadar, tidak ingin menjadi beban bagi persyarikatan. Sambil menahan pedih, mereka berjuang sendiri mengatasi problemnya. Tanpa bantuan Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang moderen besar dan makmur.

Tidak sedikit saudara kita yang ingin bangkit, dengan modal terbatas, namun tidak bisa memiliki akses pada dana bantuan, atau pinjaman/talangan atau yang lainnya. Tidak sedikit saudara dalam persyarikatan yang terlilit hutang, baik bank ataupun pinjol atau lainnya, kemudian mereka dibiarkan berjuang sendiri mempertahankan hidup diri dan keluarganya?  Bahkan ada juga yang tanah dan rumahnya sampai disita bank, karena usahanya terpuruk. Mungkin saatnya memikirkan mekanisme dukungan pada warga yang sedang terpuruk ini. Bisa jadi bukan berupa dana, tapi pendampingan, dukungan jaminan negosiasi dengan pihak bank, atau bentuk kepedulian lainnya.

Kesan anti kritik

Kalau membaca tulisan di tajuk tersebut, sulit untuk menghindarkan adanya kesan keengganan untuk menerima kritik. Tajuk tersebut juga menyebutkan, betapa penulis membuat tulisan secara terbuka. Penulis meniatkan tulisan tersebut menjadi bahan diskusi terbuka di grup whatsapp dan media daring di lingkungan persyarikatan untuk berkaca diri, dan kebaikan.

Memang, diera yang amat terbuka seperti sekarang ini, apa yang disebut urusan internal dan tidak perlu diketahui khalayak, sebetulnya hanyalah tameng dari pihak-pihak yang tidak bisa menerima kritik.

Saat ini, sulit rasanya mengatakan sebagai organisasi keagamaan yang mempunyai jaringan perguruan tinggi, sekolah, dan pesantren terbesar di Indonesia, namun immun pada berbagai upaya infiltrasi dari berbagai pihak. Baik oleh pemikiran, beragamnya isi kepala, dan beragamnya kepentingan.

Namun sebagai organisasi besar berkemajuan, tentu Muhammadiyah mesti terbuka dan bangga.  Paling tidak pada keunggulan sistem dan budaya kontrol organisasi yang selalu hidup dengan sikap kritis. Tentu saja, keunggulan ini juga harus berlaku ketika ada kekurangan internal. Kekurangan itu bukan dibuka untuk dihancurkan, tetapi diperbaiki bersama, dengan semua kekuatan dan kesadaran sebagai warga persyarikatan. Kalau ini bisa dilakukan, tentu bukan hanya bangsa ini yang menyaksikan, tetapi dunia ikut menyaksikan bahwa Muhammadiyah yang amat besar dan kuat itu, juga pnya kekhawatiran penetrasi dari luar persyarikatan, akan bisa menjadi solid dan mampu bertahan tak lekang oleh zaman.

Namun, sistem yang tangguh dan punya akar sejarah lebih dari satu abad ini, tentu bukan seperti ayat-ayat kitab suci yang tidak boleh diganti. Jadi, jika sistem ini memiliki kekurangan, maka sewajarnya juga dibuka jalan untuk perbaikan dengan berpegang pada teologi al Maun.

Termasuk, mekanisme menanggapi sebuah opini di media. Akan lebih elegan, dan menunjukkan paham arti sebuah opini di media, jika opini media ditanggapi dalam bentuk opini juga di media yang sama. karena, diasumsikan opini itu dibaca oleh pembaca media tersebut. Tentu boleh saja menanggapi dalam bentuk tajuk sekalipun, jika isu yang diangkap dalam opini tersebut sudah menjadi wacana publik yang meluas. Gayung sudah saling bersambut dalam opini, kemudian menyebar luar dalam wacana publik. Nah, pada posisi ini, tentu posisioning sebuah media atas isu tersebut dapat dinyatakan dalam wujud tajuk media. Singkatnya, opini bukan dilawan dengan perintah bredel.

Silahkan Kritik

Di satu sisi Pimpinan Pusat Muhammadiyah ingin terlihat selalu terbuka dengan kritik. Bahkan, sekali lagi ketika menjelang Muktamar ke-48 pada November 2022 lalu, dalam pertemuan dengan pimpinan media di Gedung Pusat Dakwah PP Muhamadiyah, secara terbuka PP meminta media memberi masukan dan kritik pada Muhammadiyah.

Tetapi disisi lain, masih saja terjadi cara-cara pembungkaman media seperti era Orde Baru. Sebagaimana yang kita yakini selama ini, pembredelan sama sekali tidak mencerminkan sikap terdidik dari kaum terpelajar. Perintah untuk men-takedown serial tulisan tersebut, entah darimana datangnya, sejatinya justru telah mengkonfirmasi adanya sikap anti kritik tersebut.

Sedikit mengejutkan ketika serial tulisan tersebut justru beredar lebih luas setelah di-takedown. Bahkan sejujurnya, ada cukup banyak media non Muhammadiyah yang meminta menerbitkan tulisan saya. Hingga akhirnya, pimpinan redaksi klikmu.co sebagai media online milik Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya, meminta izin kepada penulis untuk menayangkannya kembali.

Seharusnya begitulah cara menghadapi kritikan. Tulisan dijawab dengan dengan tulisan. Bahwa Muhammadiyah ini adalah sebuah gerakan inklusif terbuka. Di tengah keterbukaan itu, kita bisa menjadi cermin, uswah, dan contoh bagi masyarakat lainnya.

Berkemajuan

Muhammadiyah perlu membangun sistem modern yang terintegrasi, ini sebuah keniscayaan yang sudah tak diragukan lagi. Namun, realisasinya memang membutuhkan kerja keras. Berkemajuan, mungkin tidak sekedar mewujud dalam amal usaha. Apakah saat ini kita masih menganggap membangun rumah sakit, sekolah dan kampus sebagai indikator sebuah kemajuan? Sementara kesenjangan antar amal usaha Muhammadiyah masih saja terjadi. Tidak hanya terjadi di beberapa wilayah. Bahkan hampir merata terjadi di semua daerah. Apakah kita menutup mata soal ini?

Pada awalnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah di seluruh pelosok Indonesia, karena negara belum bisa menyediakannya. Sekarang keadaan sudah berubah. Negara sudah cukup hadir memenuhi kebutuhan pendidikan warganya. 

Mari kita perhatikan dengan teliti, tantangan kita hari ini –meminjam istilah Allahuyarham Prof Malik Fadjar– bagaimana kita meniup-niup kembali sekolah-sekolah kita yang sudah mau mati. Hidup segan mati tak mau. Padahal, dulunya sekolah-sekolah Muhammadiyah ini adalah sekolah-sekolah yang maju.

Seberapa besar kebanggaan kita terhadap eksistensi sekolah-sekolah Muhammadiyah hari ini? Kita jangan hanya menghitung banyaknya jumlah. Tetapi tanyakan seberapa berkualitasnya sekolah-sekolah tersebut. Atau tanyakan seberapa sejahtera guru-gurunya yang mengajar di sekolah-sekolah itu

Tanyakan pula kepada kalangan menengah atas terdidik Muhammadiyah hari ini, mengapa mereka tidak lagi bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah. Tanyakan pula kepada pimpinan-pimpinan Muhammadiyah kita, yang mulai kehilangan kepercayaan diri untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Muhammadiyah. Mengapa itu bisa terjadi?

Jangan lagi bangga dengan banyaknya kampus yang kita punya. Beberapa kampus Muhammadiyah nampak begitu maju dengan gagahnya. Namun, cobalah untuk jujur melihat, ternyata masih banyak kampus Muhammadiyah yang masih dibawah rata-rata.

Perlu di evaluasi, apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh ummat saat ini. Salah satu jawabannya, sudah ada sejak dirumuskan dalam muktamar Muhammadiyah di Makassar. Namun, realisasinya masih menjadi PR kita bersama.

Jangan lagi silau melihat menterengnya rumah sakit-rumah sakit kita. Lihatlah betapa tertinggalnya tehnologi pengelolaan sistem informasi manajemen rumah sakit kita. Meski harus diakui, aja juga yang maju, dan ini patut disyukuri. Kita harus jujur menyatakan bahwa rumah sakit kita ada yang sudah jauh tertinggal. Silahkan anda bandingkan seberapa bagus layanan rumah sakit Muhammadiyah, dengan layanan rumah sakit swasta lainnya. Kini, perkembangan rumah sakit telah jauh mengalami pergeseran, dari sebuah layanan sosial menjelma menjadi sebuah industri bisnis yang sangat menjanjikan di masa depan.

Korporatisme Amal Usaha Muhammadiyah

Sangat banyak yang menghubungi penulis untuk mengucapkan terima kasih karena menyuarakan isi hati mereka. Terutama dari para guru dan karyawan Muhammadiyah yang masih berada dalam keadaan serba kekurangan. Sementara aset produktif Muhammadiyah sudah sedemikian dahsyatnya. Aset produktif amal usaha Muhammadiyah yang kalau di rupiahnya, nilainya sudah puluhan triliun Rupiah.

Faktor aset produktif puluhan triliunan Rupiah inilah, yang mungkin menjadi salah satu sebab berbondong-bondongnya berbagai kepentingan merangsek masuk struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Orang dengan berbagai macam latarbelakang leluasa masuk dan direkrut menjadi pimpinan majelis dan lembaga tingkat pusat.

Tidak penting lagi bagaimana latar belakang kaderisasi yang bersangkutan. Yang penting mereka memiliki niat baik ingin berkiprah memajukan bangsa melalui Muhammadiyah. Ini juga sebagai hal yang patut disyukuri. Bersyukur masih ada yang mau jadi pengurus, karena kader banyak yang tidak peduli, apakah mereka dijadikan pengurus atau tidak. 

Apalagi mereka yang direkrut itu cukup memiliki reputasi di bidangnya masing-masing. Termasuk bagi para aktivis politik liberal, bahkan mantan narapidana korupsi, dan pendukung LGBT, bisa masuk struktur Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekarang. Memang, sebagai organisasi dakwah, tentu tidak mengenal batas kemanusiaan.

Muhammadiyah memang rumah besar bagi siapa saja yang setuju dengan tujuan gerakan Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah dapat menjadi tempat berlabuh dan bertobat untuk melakukan hidup beragama yang lebih hasanah. Namun, hal itu janganlah menyebabkan proses screening tidak dilakukan dengan cermat. Penulis punya kenyakitan, proses seperti ini sudah dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Namun, sebuah hasil seleksi itu, bisa saja dikomunikasikan bahwa hasilnya tentu tidak mungkin menyenangkan semua pihak. Ini tentu sangat mengkhawatirkan. Karena, kalau bisa menggembirakan semua pihak, mengapa pilihan hanya menyenangkan sebagian orang itu yang jadi pilihan.

Kini, amal usaha-amal usaha semakin membesar sebagai sebuah korporatisme Muhammadiyah. Namun, nyaris tidak ada trickle down effect ke bawah untuk para anggotanya yang lemah dan papa. PR bersamanya, Muhammadiyah sebagai organisasi harus berani memulai langkah untuk mensejahterakan warganya. Karena kalau cuma organisasinya yang kaya, itu bukan gerakan sosial, tetapi perusahaan. Itu corporatisme, bukan social movement.

Oleh karena itu, teologi sosial dan gerakan Muhammadiyah perlu diarahkan untuk kesejahteraan warganya. Jika selama ini warga di bawah selalu dianjurkan untuk ikhlas beramal dan berharap insentif di alam akherat, saatnya pimpinan Muhammadiyah memikirkan nasib dan kesejahteraan anggotanya, sehingga insentif sosial ekonominya juga dirasakan di dunia.

Ibn Khaldun, sejarahwan, ekonom, politolog, dan filsuf Muslim, terkenal dengan theory of civilization, menyatakan bahwa pada dasarnya sifat manusia itu beradab (civilité). Namun, tabiat berkeadaban ini sering dikalahkan oleh patronase golongan dan kelompok, fanatisme, kemewahan dan keculasan tanpa tedeng aling-aling. Banyak bangsa, peradaban –termasuk juga dalam konteks modern, institusi sosial agama–, ambruk karenanya.

Ratusan tahun silam Sang Filosof ini telah memaparkannya dengan sangat gamblang sebab musabab keruntuhan sebuah peradaban agama, bangsa, dan negara. Keruntuhan itu bisa terjadi. Tak terkecuali bisa terjadi menimpa organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) bernama Persyarikatan Muhammadiyah.

Semoga, kita semuanya senantiasa dinaungi hidayah. Untuk selalu merawat Muhammadiyah sebagai jalan pengabdian kita untuk memberikan amal terbaik bagi kemaslahatan semesta. Aamiin

Penulis: Qosdus Sabil (Anggota Muhammadiyah Biasa), Waktu dhuha di Ciputat, 11 Sya’ban 1444 H.

Editor: Imam Prihadiyoko

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!