JAKARTA, MENARA62.COM – Senat Universitas Negeri Jakarta mengukuhkan Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan, bidang Ilmu Manajemen Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Senin (24/6/2019). Dalam pengukuhan yang dihadiri Mendikbud Muhadjir Effendy dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Prof. Dr. Unifah Rosyidi M.Pd membacakan orasinya berjudul Membangun Tata Kelola Guru dan Tenaga Kependidikan yang Efektif dalam Perspektif Revolusi Industri 4.0.
Orasi yang menuai pujian sejumlah pihak tersebut intinya menyoroti bagaimana kompleksnya persoalan tata kelola guru.
“Persoalan tata kelola guru menjadi problem lama yang tidak mudah diurai namun tampak jelas persoalannya ketika program sertifikasi digulirkan sejak 2005,” papar Prof. Unifah mengawali orasinya.
Menurutnya program sertifikasi menjadi strategi yang ampuh untuk meningkatkan mutu guru dan tenaga kependidikan (GTK), karena dipandang mampu melahirkan system insentif bagi guru untuk meningkatkan motivasi dan kinerja secara berkelanjutan. Sayangnya hingga 2018, pemerintah belum bisa menuntaskan program sertifikasi guru ini.
Data Kemendikbud menyebutkan dari 3.117.296 orang guru yang ada, baru 1,5 juta yang sudah mengantongi sertifikasi. Padahal program tersebut sudah berjalan selama 14 tahun.
Selain itu, tidak semua guru eligible untuk mengikuti sertifikasi. Karena 34,8 persen guru di sekolah negeri adalah honorer dimana dalam aturan, guru honorer tidak dapat mengikuti sertifikasi. Padahal dari 3,01 juta guru, hanya 49 persen yang berstatus PNS. Sisanya adalah guru non PNS (yayasan) dan honorer.
Prof. Unifah mengingatkan masalah yang tidak boleh diabaikan dalam sertifikasi ini adalah jangan sampai sistem sertifikasi memunculkan gejala segregasi yang tidak perlu (unnecessarily segregated) antara guru yang sudah dan belum bersertifikat di sekolah. Masalah segregasi ini telah dialami guru-guru di Amerika serikat ketika ada pemisahan sekolah antar-ethnis (Coleman, 1966) yang menimbulkan kecemburuan antar-guru yang secara psikologis dapat mengganggu kinerja profesi mereka. `
Distribusi guru tidak merata
Prof. Unifah juga menyoroti persoalan distribusi guru yang tidak merata. Akibatnya rasio siswa per guru (RSG) antar daerah menjadi tidak sama. RSG pada daerah perkotaan bisa mencapai 1:14. Tetapi disisi lain ada daerah yang RSG-nya mencapai 1:35.
Guru di Indonesia melayani 45.379.000 siswa, dimana separuhnya dari jumlah tersebut adalah guru honorer dan guru tetap yayasan. Maka klaim RSG 1: 15 sebagai hampir setara dengan RSG di negara-negara maju, menurutnya menjadi tidak tepat dan tidak akurat lagi.
“Jika hanya guru tetap (GT) yang dihitung, maka RSG menjadi jauh lebih tinggi, yaitu 1:21; bahkan RSG akan lebih besar lagi jika memperhitungkan mereka yang akan segera pensiun, yaitu sebesar 3,7 persen per-tahun atau hampir 15% atau rata-rata 30 ribu guru per-tahun hingga tahun 2020,” katanya.
RSG yang rendah dalam skala makro nasional lanjut Prof. Unifah bukanlah indikator yang positif, karena menyembunyikan tidak meratanya penempatan guru (unequal teacher deployment).
“Kekurangan dan penempatan guru yang tidak merata inilah yang menjadi sumber utama permasalahan guru dewasa ini. Pembiaran terhadap kedua masalah tersebut akan menimbulkan pemborosan yang luar biasa,” jelas Prof. Unifah.
Mutu guru perlu ditingkatkan
Disamping jumlah dan penempatan guru yang tidak merata, mutu guru menurut Prof Unifah juga menjadi masalah yang tidak kalah pentingnya. Mutu guru yang ditunjukkan dengan rata-rata skor tes kompetensi guru meskipun mengalami kenaikan dari tahun ke tahun tapi skornya masih belum tinggi yaitu reratanya, 56. 69 (Kemdikbud, 2016).
Untuk meningkatkan skor test kompetensi guru Indonesia, Bank Dunia memunculkan wacana pentingnya menyeleksi guru-guru yang kompeten dan tinggi kinerjanya dengan patokan RSG yang paling efektif. Strategi ini lanjut Prof. Unifah harus selaras dengan upaya peningkatan mutu pendidikan guru pra-jabatan agar LPTK baik negeri maupun swasta mampu menyiapkan guru kredensial yang benar-benar kompeten sesuai kebutuhan.
Untuk itu, suatu sistem analisis kebutuhan guru perlu dikembangkan dan diterapkan untuk mewujudkan tatakelola guru dan tenaga kependidikan yang efisien dan efektif.
Guru dalam perspektif RI 4.0
Memasuki era revolusi industri 4.0, pendidikan dihadapkan pada berbagai gejala yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Di abad ini timbul fenomena semakin terintegrasinya dunia cyber dan dunia fisik, yang melahirkan berbagai perubahan seperti jenis pekerjaan atau jabatan yang sama sekali baru, sehingga menuntut setiap orang agar mampu belajar sepanjang hayat.
Perubahan itu jelas Prof Unifah berlangsung cepat dan mengagumkan sehingga pendidikan kita harus cepat tanggap dalam menciptakan tatanan baru dengan cara-cara yang lebih kreatif dan inovatif.
Integrasi digital lanjut Prof Unifah, sangat fundamental dalam mengubah sistem pendidikan, dimana bukan hanya sekadar menambahkan teknologi ke dalam manajemen pendidikan, kurikulum sekolah atau metode mengajar, tetapi harus digunakan secara integratif dalam proses dan konten pembelajaran melalui perlibatan siswa yang secara langsung dirasakan manfaatnya. Para siswa kini sudah menjadi pengguna teknologi yang mahir dan cerdas, meski mereka baru masuk sekolah.
“Oleh karena itu, daripada harus “mengajari” mereka dengan teori dan konsep yang tersusun rapih dalam kurikulum, guru sebaiknya memfasilitasi para siswa untuk belajar, mencoba serta menemukan sendiri kecakapan yang ingin mereka pelajari,” katanya.
Digitalisasi pendidikan diakuinya telah mengacak-acak metode dan model pembelajaran lama yang secara konvensional telah kita kenal. Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi kearah pola open classroom berupa pembelajaran digital yang mendorong proses belajar yang lebih kreatif, partisipatif, beragam, dan menyeluruh. Guru lebih berperan penting dalam kontekstualisasi informasi serta bimbingan untuk peserta didik dalam praktek diskusi daring.
Tata kelola guru
Untuk peningkatan mutu pendidikan nasional secara berkelanjutan, pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah bersama-sama dituntut untuk memperbaiki tata-kelola guru sebagai kunci sukses untuk memasuki sistem pendidikan yang bermutu dan berdaya-saing. Tata kelola guru yang efektif menurut Prof Unifah adalah yang mampu melahirkan insentif, dan memacu motivasi guru untuk memelihara dan meningkatkan kinerjanya secara terus menerus sebagai jabatan profesional.
Beberapa isu kebijakan yang berkaitan dengan pentingnya transformasi dalam tatakelola guru di masa depan tersebut adalah adanya analisis kebutuhan guru, pendidikan guru pra-jabatan, rekrutmen dan penempatan, pembinaan profesi & pelatihan dalam jabatan, sertifikasi, promosi dan sistem insentif dan perlindungan profesi guru.
Perlu sinergi pusat dan daerah
Dari semua komponen tatakelola guru tersebut sangat diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah.
Menurut Prof Unifah, selama ini masih terkandung kesan bahwa hampir semua fungsi tatakelola guru masih mengandalkan peran Pemerintah Pusat, seperti: pendidikan guru; gaji, tunjangan profesi dan honorarium guru; rekrutmen guru baru; hingga sertifikasi, promosi dan sistem insentif guru.
Faktor-faktor penting lainnya seperti penempatan guru, pemindahan guru antar-wilayah, pelatihan guru, dan analisis kebutuhan guru telah diperankan oleh pemerintah daerah meskipun masih sangat bervariasi dan terus menerus memerlukan penguatan.
Lebih lanjut Prof Unifah menilai pembagian urusan pendidikan berdasarkan UU Pemerintahan Daerah (UUPD) No. 23/2014 – yang mengatur pembagian urusan pemprov dan kabupaten/kota menurut jenjang dan/atau jalur pendidikan— perlu dikaji ulang. Sebab pembagian urusan seperti ini cenderung memilah anak bangsa karena mereka bersekolah pada jenjang pendidikan yang berbeda.
Dampaknya, pemerintah provinsi cenderung tidak peduli dan seolah tidak merasa bertanggungjawab atas pendidikan dasar di wilayahnya, walaupun para siswa pendidikan dasar adalah anak-anak mereka juga. Sama halnya, pemerintah kabupaten/kota merasa tidak memiliki urusan dengan siswa sekolah menengah, walaupun mereka adalah berdomisili di kabupaten/kotanya.
“Pembagian urusan seharusnya bukan berdasarkan atas jenjang pendidikan tetapi terkait dengan bidang pelayanan, “ jelasnya.
Desentralisasi yang dilaksanakan dalam keadaan kapasitas pemda yang sangat bervariasi, cenderung menjadikan tatakelola guru sebagai mekanisme yang kurang efisien. Diperlukan transformasi dalam sistem tatakelola guru yang lebih efisien untuk mempercepat terwujudnya jabatan guru yang profesional dalam perspektif 4IR.
Oleh karena itu, perlu dikaji ulang kemungkinan perlu tidaknya sentralisasi tatakelola guru yang paling efisien efektif untuk menjaga mutu yang berkelanjutan dan memperkuat NKRI. Untuk mewujudkan tata kelola guru nasional yang lebih efektif, perlu juga difikirkan untuk memperbaiki pola pembagian urusan pendidikan antar-pemda, dari pembagian menurut jenjang pendidikan menjadi pembagian urusan menurut fungsi manajemen.
Pada akhir orasinya, Prof Unifah menyampaikan sejumlah rekomendasi sebagai isu kebijakan penting terkait dengan transformasi tatakelola guru secara nasional. Diantaranya perlunya membangun sistem pembinaan kapasitas pemerintahan daerah dalam pelaksanaan tatakelola guru dan tenaga kependidikan di daerah masing-masing agar mampu melahirkan kebijakan serta program pembangunan dan pengelolaan pendidikan yang sesuai dengan masalah, tantangan dan kebutuhan wilayah masing-masing melalui perwujudan sistem merit.
Lalu melakukan evaluasi berskala nasional terhadap berbagai aspek mengenai pendidikan dan pelatihan guru, program sertifikasi guru, rekrutmen dan pemerataan penempatan guru, serta remunerasi guru untuk mewujudkan tatakelola guru secara nasional yang transparans, profesional, akuntabeldan mampu mendorong terwujudnya upaya dan sistem peningkatan mutu pendidikan berkelanjutan.
Selanjutnya adalah membangun sistem pelatihan guru dalam jabatan (in-service teacher training) dengan menempatkan continuing professional development (CPD) sebagai bagian integral dari pengelolaan dan sertifikasi profesi guru, serta mendorong guru-guru untuk belajar secara berkelanjutan sepanjang kariernya sebagai tema sentral revolusi industri keempat.
Dan terakhir adalah perlunya menyesuaikan peraturan perundangan dalam rangka mendorong terwujudnya sistem pengelolaan guru nasional yang kondusif untuk memacu profesionalisasi jabatan guru, memperbaiki sistem sertifikasi guru dengan promosi jabatan dan penggajian berbasis merit dengan memperkuat sistem pembinaan profesi berkelanjutan (CPD), sistem pelatihan guru dan CPD secara nasional yang multi-simultan dan terkoneksi secara digital di seluruh wilayah Nusantara; serta pembagian urusan pendidikan antar jenjang pemerintahan yang tidak berbasis pada jenjang pendidikan, tetapi berbasis fungsi pengelolaan pendidikan.