WONOGIRI, MENARA62.COM – Menjadi Guru Penggerak sejatinya hanya ingin memenuhi rasa ingin tahu Soeharmani terhadap program pemerintah melalui kebijakan Merdeka Belajar episode 5. Guru TK Negeri Pembina Kecamatan Girimarto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah tersebut ingin tahu banyak apa saja yang bisa diperoleh saat mengikuti program Guru Penggerak. Kalau kemudian diangkat menjadi kepala sekolah, Soeharmani menyebutnya itu sebagai bonus.
“Apa yang bisa saya katakan ketika Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wonogiri memberikan saya apresiasi sebagai kepala sekolah setelah menyelesaikan program Guru Penggerak? Satu pencapaian kerja yang sebenarnya tidak pernah saya pikirkan secepat ini sebelumnya,” kata Soeharmani dijumpai di TK Negeri Pembina Girimarto, Kamis (7/12/2023).
Membawa gen pembelajar sejati, Soeharmani yang merupakan peserta guru penggerak angkatan 4 tersebut mengaku bukan masalah gampang untuk mengikuti program Guru Penggerak. Jatuh bangun dan berdarah-darah selama menjalani pelatihan yang berlangsung 14 bulan dari 9 bulan yang direncanakan. Namun sekali lagi, gen pembelajar sejati yang demikian dominan pada perempuan kelahiran 5 November 1976 tersebut menjadikan semua kesulitan selama menjalani program Guru Penggerak bisa diatasi.
Ia mengambil konsekuensi mengalokasikan jam belajar lebih panjang di banding guru lain barangkali. Pagi, siang bahkan kadang malam ia masih berkutat di hadapan laptopnya, atau memainkan fitur-fitur yang ada di telepon genggamnya, hanya untuk mengerjakan tugas-tugas dari setiap modul pembelajaran Guru Penggerak. Mulai dari belajar membuat perencanaan pembelajaran, canva, dan berbagai aplikasi video termasuk mengedit video untuk Youtube dan lainnya. Ia pantang menyerah. Energinya terlalu sayang hanya untuk kata menyerah di tengah perjuangan panjangnya.
Sampai pada satu titik tertentu, laptop yang dimiliki sudah tidak lagi mendukung aktivias belajarnya. Ia pun rela merogoh kantongnya untuk membeli laptop baru yang memiliki fitur pendukung yang dibutuhkan dalam program Guru Penggerak. “Tidak apa, saya harus mengeluarkan tabungan untuk beli laptop. Saya ingin menuntaskan progam ini, banyak hal bisa saya pelajari,” tambahnya.
Maka hasilnya, Soeharmani bukan saja lebih memahami ilmu mengajar dan mendidik anak dengan mengedepankan sisi humanis dan psikologi perkembangan anak. Lebih dari itu ia juga mampu membuat bahan ajar baik dalam bentuk visual maupun audio visual yang jauh lebih menarik. Aplikasi-aplikasi pembuatan video ajar dan berbagai aplikasi pendudkung lain terus dipelajari selangakh demi selangkah setahap demi setahap hingga pada tingkatan mahir.
Hal terpenting dari semua pencapaian program Guru Penggerak tersebut, kata Soeharmani adalah perubahan mindset tentang bagaimana mendidik dan memperlakukan anak. Bahwa mendidik itu bukanlah kata dan laku guru yang harus ditaati oleh siswa bersifat kaku dan memaksa. Bukan pula tindakan menggeneralisasikan semua kemampuan siswa menjadi satu garis yang sama.
“Program Guru Penggerak mengajarkan saya bagaimana menciptakan pembelajaran yang berpusat pada siswa dan menggerakkan ekosistem pendidikan yang lebih baik,” ujar Soeharmani.
Karena itu, ruang belajar yang terbuka bagi semua siswa harus dihadirkan dalam suasana yang menyenangkan. Tidak ada pemaksaan, tidak ada intimidasi, tidak ada satu siswa dianggap lebih baik dari siswa lain, juga tidak ada perundungan apalagi tindak kekerasan. Ketika berada di ruang kelas, siswa menikmati proses belajar, ketika berinteraksi dengan teman, siswa menemukan dunianya. Pun ketika berhadapan dengan guru, siswa seperti memiliki kedekatan personal. Semua bakat dan kemampuan yang dimiliki siswa mendapatkan ruang yang sama untuk berkembang.
“Membangun suasana belajar seperti itu tentu tidak mudah, namun nyatanya semua diajarkan dalam Guru Penggerak dan saya sebagai seorang guru yang beruntung bisa belajar dalam program Guru Penggerak, harus melakukannya untuk anak-anak didik agar mereka tumbuh berkembang lebih baik lagi,” tegasnya.
Menurut Soeharmani, menjadi peserta program Guru Penggerak adalah sebuah keberuntungan yang sangat sulit untuk ditolak oleh guru mana pun, termasuk dirinya. Sebab dalam program ini, guru mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi sebagai guru dalam lokakarya bersama, meningkatkan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran yang berpusat pada siswa, memiliki pengalaman belajar mandiri dan kelompok terbimbing, terstruktur dan menyenangkan, berkesempatan belajar dengan komunitas guru lainnya sesame Guru Penggerak, mendapatkan kesempatan pembimbingan dari pengajar atau mentor hingga mendapatkan komunitas baru dalam tugas pengajaran.
Memperbaiki Diri
Soeharmani menjadi guru dengan titik pemberangkatan yang kurang tepat. Ia memulai profesi sebagai guru TK dengan bermodalkan ijazah SMEA. Tidak ada yang salah sebenarnya, karena Soeharmani sendiri pernah bercita-cita menjadi guru. Maka sadar bahwa ijazahnya tidak mendukung, Soeharmani pun mengambil kesempatan menjadi guru TK di dekat rumahnya dengan status wiyata bakti. Tanpa ada gaji. Paling sekadar uang jajan yang nilainya tak seberapa.
Namun kondisi seperti itu tidak membuat Soeharmani patah semangat. Modal gen pembelajar sejati yang dimiliki Soeharmani mengantarkannya mengikuti berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya sebagai guru TK dan bergabung dalam berbagai komunitas pembelajaran. Itulah kemudian yang membuat Soeharmani makin menikmati profesi sebagai guru TK. Hingga kemudian doanya untuk bisa melanjutkan pendidikan tinggi program pendidikan guru TK terkabul, ketika Universitas Terbuka (UT) membuka program pembelajaran jarak jauh Prodi PGTK dan PGSD di Kabupaten Wonogiri. Tuhan seperti terus menerus menciptakan jalan baginya menjadi seorang guru yang professional.
Termasuk ketika hatinya tergerak mengikuti program Guru Penggerak Angkatan 4. Perempuan dengan tiga anak tersebut menjadi satu dari 102 guru yang lolos dalam seleksi program Guru Penggerak pertama di kabupaten Wonogiri. “Senang dan bersyukur, sepertinya Tuhan memang menghendaki saya menjadi guru yang lebih baik lagi,” tambahnya.
Soeharmani mengaku beruntung bisa menikmati program Guru Penggerak. Ibarat susu dalam segelas kopi, modul Guru Penggerak menyempurnakan kenikmatannya menjadi seorang guru hingga menjadi semacam candu. Saking nikmatnya, Soeharmani tak lagi berhitung berapa banyak jam kehidupannya yang dialokasinya untuk urusan tugasnya sebagai guru. “Dalam artian ketika jam bekerja saya sebagai seorang pegawai habis pada pukul 14:00, maka saya biasa meninggalkan sekolah pada pukul 15:00 dengan tetap membawa tugas yang akan berlanjut di rumah,” ucapnya.
Belum lagi kegiatan tambahan dalam komunitas guru seperti sharing senssion praktik baik pembelajaran atau kegiatan kedinasan lainnya. Soeharmani tak lagi berhitung dengan waktu. Totalitasnya menjadi seorang guru tumbuh subur setelah menyelesaikan program Guru Penggerak. Kepalanya terus diisi dengan berbagai inspirasi, dengan ide-ide dan inovasi untuk menciptakan sekolah yang menyenangkan, dan pembelajaran yang berpihak pada siswa.
Ia mengaku perlu menyampaikan apresiasi dan terimakasihnya secara khusus untuk Mendikbudristek Nadiem Makarim atas idenya menghadirkan program Guru Penggerak. Karena melalui program ini, ia mendapatkan kesempatan untuk introspeksi diri dan bertobat lebih banyak lagi dari berbagai kesalahan dalam mendidik siswa.
“Pada saat mempelajari modul pertama, saya sudah dibuat menangis tersedu-sedu. Bagaimana tidak, karena saya dibimbing untuk mengenali kesalahan demi kesalahan dalam mengajar anak didik,” ujarnya.
Salah satu kesalahan yang membuatnya kemudian menangis adalah karena ia terbiasa membandingkan kemampuan siswa satu dengan yang lainnya. Meski disampaikan dengan kata-kata yang sangat manis dan pelukan hangat, ternyata tindakan tersebut mausk kategori perundungan. “Saya awalnya tidak sadar bahwa memotivasi anak dengan cara membandingkan kemampuan antar anak itu sebenarnya secara tidak sadar saya sudah membully anak didik,” jelasnya.
Membandingkan kemampuan antar anak, kata Soeharmani jelas bukan tindakan mendidik yang baik. Karena sejatinya masing-masing anak itu memiliki bakat dan kemampuan yang berbeda. “Ini yang disebut sebagai anak memiliki masa depan sendiri, guru hanya bertugas menunjukkan jalannya. Tidak lebih,” tegasnya.
Perubahan mindset lain yang terjadi pada Soeharmani adalah bahwa sebelum mengikuti program Guru Penggerak, motivasinya hanya sebatas memberikan manfaat kepada anak didik di sekolah tempatnya mengajar. Lalu ketika mengikuti program Guru Penggerak, ia ingin memperluas radius kemanfaatannya sebagai seorang guru, dalam jangkauan yang lebih luas, di luar dinding-dinding sekolahnya. Melalui berbagi pengalaman dengan guru lain tentang praktik baik mengajar misalnya, atau berbagai kesempatan dengan guru lain terkait pelatihan. “Semua makin terbuka lebar ketika saya menjadi kepala sekolah,” tegasnya.
Soeharmani sendiri kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wonogiri Sriyanto menjadi salah satu peserta Guru Penggerak yang lolos Angkatan pertama di wilayah Kabupaten Wonogiri. “Kami berharap ratusan Guru Penggerak yang ada di Kabupaten Wonogiri dapat membantu Pemerintah Kabupaten untuk mempercepat transformasi pendidikan terutama dalam hal Kurikulum Merdeka,” katanya.
Sebagai sesuatu yang baru jelas Sriyanto, Kurikulum Merdeka perlu disosialisasikan lebih luas dan massif lagi kepada guru dan masyarakat terutama orang tua murid. Guru Penggeraklah yang mampu mengkomunikasikan apa dan bagaimana itu Kurikulum Merdeka. Mereka juga yang bisa memimpin, menjadi garda terdepan dalam gerakan transformasi pendidikan di kabupaten Wonogiri.
“Begitu penting dan strategisnya peran Guru Penggerak bagi transformasi pendidikan, kami berharap selambatnya 4 tahun ke depan, 25 persen atau 2000 guru dari 8000 guru di Kabupaten Wonogiri sudah mengikuti program Guru Penggerak,” tandas Sriyanto.