32.8 C
Jakarta

Konferensi BUiLD Resilience 2023 Soroti Peran Perguruan Tinggi dalam Penanganan Bencana

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Sebagai negara yang terletak di jalur cincin api (ring of fire), Indonesia menjadi negara yang sangat rawan bencana. Mulai dari bencana gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, pergeseran tanah, tsunami, kebakaran hutan, banjir dan kekeringan hingga cuaca ekstrem.

Bencana-bencana tersebut bisa memicu terjadinya kerentanan seperti kerentanan fisik, sosial budaya, ekonomi dan lingkungan. “Karena itu upaya meminimalisir potensi kerentanan tersebut, perguruan tinggi memiliki peran penting dan strategis untuk membangun masyarakat Indonesia yang memiliki ketahanan terhadap bencana,” kata Plt Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Dr. Ir. Sri Gunani Partiwi, MT pada konferensi Building Universities in Leading Disaster (BUiLD) Resilience 2023 yang mengambil tema Strategi Ketahanan Bencana Indonesia, Rabu (10/5/2023).

Menurut Sri Gunani, peran perguruan tinggi dalam membangun masyarakat yang memiliki ketahanan terhadap bencana tersebut bisa diselaraskan dengan konsep Tridharma Perguruan Tinggi yang mencakup pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat.

“Perguruan tinggi bisa berperan dalam menyiapkan SDM yang kompeten yakni SDM yang memiliki ketahanan terhadap bencana dan mampu mereduksi dampaknya dengan memakai pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini baik sebelum, pada saat bencana maupun sesudah bencana,” lanjut Sri Gunani.

Peran lain, jelas Sri Gunani, adalah menyediakan fasilitas riset dan infrastrukturnya. Perguruan tinggi bisa melakukan riset tentang kebencanaan, mengembangkan dan menerapkannya melalui knowledge management.

Strategi tanggap bencana perguruan tinggi diakui Sri Gunani telah masuk dalam Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) 2017-2045. Dalam RIRN tersebut ada 10 area yang menjadi fokus, salah satunya adalah bencana.

Sementara itu dalam materinya, David Rubens, Executive Director The Institute of Strategic Risk Management (ISRM) menjelaskan bahwa kondisi dunia saat ini tengah menghadapi serangkaian masalah yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Mulai dari perubahan iklim, cuaca buruk, kerapuhan infrastruktur, kegagalan aplikasi teknologi informasi, ketergantungan rantai pasok global dan lainnya. Semuanya berubah dan itu berdampak pada seluruh aspek kehidupan manusia.

“Dalam situasi seperti ini, perguruan tinggi dan dunia akademik perlu berkontribusi. Misalnya dengan mengembangkan dan menerapkan program-program yang memberikan nilai tambah nyata lewat berbagai inisiatif yang terkait manajemen risiko,” kata Rubens.

Kontribusi lainnya, lanjut Rubens bisa dengan mengembangkan berbagai konsep dan program yang akan dibutuhkan pada masa mendatang.

Pada kesempatan yang sama, Dr Ir Udrekh, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko BNPB menekankan pentingnya resiliensi yang berkelanjutan. Menurutnya resiliensi berkelanjutan merupakan gagasan yang tengah dibangun oleh Indonesia melalui Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2045 dengan visi Indonesia Tangguh Bencana.

Menurut Udrekh, perubahan dunia yang begitu cepat saat ini akan mengakibatkan semakin banyaknya ragam bencana. “Frekuensi kejadiannya juga meningkat. Maka strategi yang paling penting dalam resiliensi berkelanjutan adalah membangun perencanaan secara holistic. Di sini peran perguruan tinggi dengan risetnya menjadi sangat penting bagi terciptanya kebijakan dan strategi berbasis pengetahuan,” tukasnya.

Pada sharing session, Rahmawati Husein, anggota dewan pakar Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) menilai pentingnya peran organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan organisasi sayapnya dalam penanganan kejadian bencana. Peran tersebut dapat dilakukan sejak sebelum terjadinya bencana, saat kejadian bencana dan pasca bencana.

Muhammadiyah memiliki kedekatan tersendiri dengan masyarakat terutama mereka yang menjadi korban bencana,” katanya.

Berkat kedekatan tersebut, para sukarelawan baik tingkat lokal maupun nasional kerap hadir sebagai pihak pertama yang memberikan bantuan pada saat terjadi bencana.

Merujuk pada pengalaman tersebut lanjut Rahmawati, para pemimpin organiasi keagamaan dapat memainkan peran penting dalam mempengaruhi masyarakat untuk melakukan mitigasi bencana dan menyiapkan diri. “Mereka juga bisa menjadi jembatan untuk mempengaruhi para pemimpin di tingkat desa hingga pemerintah daerah,” tandasnya.

Perguruan Tinggi Anggota Konsorsium BUiLD

Konsorsiun BUiLD yang lahir sejak 2019 diinisiasi oleh 8 perguruan tinggi nasional dan 4 perguruan tinggi asing. Ke-8 perguruan tinggi nasional tersebut adalah President University di Cikarang, Bekasi, Universitas Andalas Padang, Universitas Khairun Maluku Utara, Universitas Muhammadiyah Palu, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universits Islam Indonesia Yogyakarta dan Universitas Surabaya. Sedang 4 perguuruan tinggi asing yang tergabung dalam konsorsium ini adalah University of Gloucestershire (UoG) dari United Kingdom, Kobenhavns Professionshojskole (KP) dari Denmark, Hafeler (HAF) dari Austria dan Instituto Politecnico do Porto (IPP) dari Portugal.

Dalam menghadirkan peran universitas untuk membangun masyarakat tahan dan tanggap bencana, konsorsium BUiLD didukung oleh Erasmus + Capacity Building in Higher Education Fund dari Uni Eropa melalui berbagai program. Diantaranya membentuk Center of Excellence on Disaster Resiliance (CEDRS), menyelenggarakan dialog rutin tentang kebencanaan, menggelar Hari Kesiapsiagaan Bencana, melakukan simulasi bencana, mengembangkan media edukasi yang disosiaslisasikan melalui beragam bentuk dan kanal, melakukan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dan lainnya.

Sebagian dari kegiatan yang dikembangkan juga berbasis teknologi. Contohnya penerapan Virtual Reality (VR) dengan skenario terjadinya gempa atau kebakaran saat banyak orang masih ada dalam gedung.

Gagasan yang dikembangkan oleh masing-masing perguruan tinggi anggota korsorsium BUiLD bersifat unik. Ini karena lokasi setiap perguruan tinggi yang berbeda sehingga potensi ancamannya juga berbeda. Kampus President University misalnya menyiapkan tim untuk mengantisipasi berbagai kondisi darurat yang muncul akibat trjadinya banjir. Tim ini juga bertugas membantu masyarakat sekitar yang terdampak banjir.

Lalu UII dan UAD, justeru lebih fokus pada penyusunan strategi penanganan dampak bencana sbagai akibat letusan Gunung Merapi.  Di Jawa Timur yang lokasinya di perkotaan, Universitas Surabaya mengembangkan Master Plan Center of Excellence yang mencakup 4 aspek yakni disaster response capability, disaster awareness raising, curriculum development dan research & knowledge transfer.

Sedang Universitas Andalas membentuk tim Disaster Respond Center (DRC) yang bertugas memberikan pertolongan sesegera mungkin kepada korban bencana. Universitas Khairun, tim BUiLD mengembangkan berbagai kesiapan dalam menghadapi bencana tsunami bekerjasama dengan BMKG, Ikatan Ahli Geologi Indonesia dan lainnya.

Untuk Universitas Muhammadiyah Palu, membentuk Emergency Team guna merespon terjadinya kondisi darurat akibat bencana alam.

Terkait konferensi BUiLD itu sendiri dihadiri kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, pemerintah, pelaku bisnis, komunitas dan media. Dalam konferensi tersebut konsorsium BUiLD memberikan apresiasi kepada tiga perusahaan atas capaiannya untuk beberapa kategori. PT Nippon Steel and Sumikin Materials Indonesia untuk kategori Continius Impprovement in Environmental Concern, PT Jababeka Infrastruktur untuk kategori Net Zero Emision Initiative dan Ecoxystem Venture Builder untuk kategori Startup Innovation in Environment and Disaster Resilience. Penghargaan diserahkan oleh Nadine Sulkowski, Project Lead Erasmus + BUiLD Resilience.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!