33.3 C
Jakarta

Krisis Pangan Ancam Dunia, Upaya Cegah Food Loss dan Food Waste Harus Dimasifkan!

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Berbagai fenomena global seperti perubahan iklim (climate change), pandemic covid-19, berbagai konflik termasuk perang Rusia-Ukaraina, serta fenomena El-Nino yang berkepanjangan, telah menyebabkan krisis pangan mengancam banyak negara termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena berbagai fenomena tersebut telah memicu penurunan produksi, kenaikan harga pangan, kenaikan biaya produksi, gangguan distribusi pangan dan restriksi ekspor negara lain.

Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dipublikasikan pada Desember 2022, ketahanan pangan Indonesia dengan skor 60,2 berada di posisi 63 dari 113 negara dan skor ketersediaan pangan tercatat 50,9. Keadaan ini tentu masih memprihatinkan.

Hal itu disampaikan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD Ranah Tata Sejahtera bertema “Mengurangi Food Loss dan Food Waste untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan Nasional” yang digelar Jumat (17/11/2023). FGD dimoderatori oleh Mayjen (Purn) I Dewa Putu Rai, pakar Aliansi Kebangsaan dan host Dr. Susetya Herawati, Dosen Unkris.

Menurut Pontjo, untuk memenuhi ketersediaan pangan, banyak negara melakukannya melalui swasembada dengan cara memproduksinya di dalam negeri. Konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional.

Namun lanjut Pontjo, fenomena perubahan iklim telah mengancam produksi dan ketersediaan pangan. “Menghadapi fenomena ini, ada kebutuhan untuk membangun sistem produksi berkelanjutan (sustainable) tanpa terpengaruh oleh perubahan iklim,” ujar Pontjo.

Untuk itu, pemerintah diharapkan mengambil kebijakan khusus berupa perlindungan terhadap para petani yang mengalami gagal panen serta mendorong pengembangan inovasi teknologi pertanian dan pangan.

Menurutnya untuk mengatasi terganggunya ketersediaan pangan dalam negeri, dapat dilakukan dengan kebijakan impor secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek “kemandirian dan kedaulatan pangan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Namun kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “state capture” atau “state capture corruption”.

State capture merupakan tindakan untuk mengkooptasi, mengintervensi, dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan. State capture, dapat juga terjadi di sektor pertanian dan pangan, karena kebijakan dalam sektor pertanian dan pangan masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum pencari rente. Khususnya terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor.

Lebih lanjut Pontjo mengatakan pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya juga tidak bergantung hanya pada beras dan gandum. Apalagi Indonesia saat ini masih bergantung 100% dengan gandum impor. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih impor gandum mencapai 10,2 juta ton dengan nilai US$ 2,6 miliar. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah karena besarnya permintaan produk gandum di tanah air.

Untuk itu, kata Pontjo, diversifikasi produk pangan menjadi penting dilakukan dalam rangka membangun ketahanan pangan yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. Indonesia sangat kaya dengan varian tanaman pangan lokal yang bisa ditanam dan tumbuh seperti sagu, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lain-lain. Inovasi teknologi bisa menjadi jawaban atas persoalan ini agar Indonesia tidak bergantung pada satu atau dua produk makanan pokok saja.

Food Loss dan Food Waste

Dalam memenuhi ketersediaan pangan, Indonesia juga menghadapi persoalan lain yakni masalah kehilangan pangan (food loss) dan pemborosan pangan (food waste). Menurut data dari The Economist Intelligence Unit tahun (2020), Indonesia menduduki peringkat kedua sebagai negara yang membuang makanan terbanyak di dunia setelah Arab Saudi. Rata-rata setiap orang Indonesia membuang sekitar 300 kilogram makanan layak makan setiap tahunnya, atau secara keseluruhan, hamper 13 juta ton makanan dibuang sia-sia setiap tahunnya di Indonesia dengan nilai keekonomian setara dengan 27 triliun rupiah.

Kehilangan dan pemborosan pangan, selain menyebabkan hilangnya nilai ekonomi pangan itu sendiri, juga berdampak langsung terhadap memburuknya ketahanan pangan nasional kita. “Oleh karena itu, harus ada upaya sungguh- sungguh dari semua pihak untuk menekan kehilangan dan pemborosan pangan ini,” tegas Pontjo.

Menurutnya, pemanfaatan inovasi teknologi diyakini dapat membantu memperkecil kehilangan dan pemborosan pangan. Selain itu, hal ini terjadi karena persoalan budaya.

“Kita merasa bersyukur bahwa penanganan kehilangan dan pemborosan pangan telah menjadi perhatian sungguh-sungguh pemerintah. Badan Pangan Nasional lewat kampanye “Stop Boros Pangan” serta “Belanja Bijak” telah melakukan sosialisasi, edukasi, dan advokasi untuk mengurangi pemborosan pangan,” jelas Pontjo.

Sesuai komitmen dalam SDGs, negara-negara di dunia termasuk Indonesia diharapkan dapat mengurangi 50% food waste per kapita di tingkat retail dan konsumen pada tahun 2030.

Pontjo mengatakan upaya membangun ketahanan pangan termasuk mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan tentu tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Diperlukan sinergi dan kolaborasi dari hulu ke hilir yang melibatkan akademisi, dunia usaha, komunitas, pemerintah dan media massa termasuk masyarakat.

Sementara itu Dr. Drs. Nyoto Suwignyo, MM, Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional mengungkapkan urgensi mengurangi food waste melalui gerakan selamatkan pangan. Secara Global terdapat 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahunnya, atau setara dengan 1/3 pangan yang dikonsumsi penduduk dunia.

“Komitmen global sesuai target SDGs tahun 2030 food waste per kapita ditingkat ritel dan konsumen berkurang hingga 50 persen dan food loss ditahap produksi hingga distribusi juga berkurang,” kata Nyoto.

Menurutnya tren kontribusi food loss dibandingkan dengan food waste memperlihatkan bahwa persentase timbulan food loss selama 20 tahun cenderung menurun, dari 61% pada tahun 2000 ke 45% pada tahun 2019, dengan rata-rata sebesar 56%. Sementara persentase timbulan food waste selama 20 tahun cenderung meningkat, dari 39% pada tahun 2000 ke 55% pada tahun 2019, dengan rata-rata sebesar 44%. Berdasarkan grafik kehilangan ekonomi, kehilangan ekonomi terbesar terdapat pada tahapan food waste yaitu sebesar 107-346 triliun rupiah/ tahun.

Gerakan selamatkan pangan itu sendiri merupakan upaya penyelamatan pangan berpotensi food waste oleh para pihak yang bersumber dari penyedia pangan/donatur untuk disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan disertai penetapan kebijakan dan upaya sosialisasi/promosi pencegahan food waste.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!