“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur dan haru karena pada Selasa 28 Mei 2024 pukul 21.00 – selesai, saya bisa menghadiri undangan acara live di RRI Pro 4 Mataram dengan tema Menulis, Jalan Menuju Produktifitas dan Inspirasi,” ujar Syamsudin Kadir Penulis Buku Pemuda Negarawan.
Syamsudin mengungkapkan, selain ditemani Iwan Wahyudi, sahabat baiknya, acara talk show itu dipandu adik kelasnya kala masih mondok di Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat, NTB. Namanya Mas Benny.
“Sebuah pengalaman yang menambah keyakinan saya bawah literasi memang butuh kolaborasi. Bukan saja dalam melahirkan karya tapi juga dalam mempublikasi karya,” katanya yang menjadi nara sumber dalam acara tersebut.
Menjelang acara dimulai, mereka sudah bertukar cerita tentang pengalaman seputar dunia kepenulisan . Namun, juga terselip kisah lain seperti maju-mundurnya literasi Indonesia, eksistensi penulis dan kondisi dunia perbukuan nasional.
Selain obrolan itu, mereka juga mengenang kembali masa-masa di Nurul Hakim yang kaya kenangan dan benar-benar menjadi pengalaman hidup yang susah dilupakan.
“Maklum, saya dan Mas Benny adalah santri pada zamannya. Sementara Pak Iwan adalah aktivis tulen pada eranya,” ujarnya.
Saat acara berlangsung, mereka fokus berbagi cerita dan pengalaman menekuni kepenulisan sejak dulu hingga saat ini. Dari suka hingga dukanya. Termasuk bagaimana menumbuhkan rasa percaya diri, cara memulai dan hal lain yang menjadi modal menulis.
Pengalaman itu diulas dengan ringan dan riang.
“Mas Benny memang pembawa acara yang oke punya. Sebagai pembawa acara senior di RRI Pro 4 Mataram itu, tentu sangat paham bagaimana menggali gagasan dan informasi siapapun tamunya termasuk saya,” ujar Syamsudin.
Empat Hal
Syamsuddin, mengungkapkan empat hal penting dalam dunia penulisan. Pertama, suka suka menulis. Sebagai pemula yang menekuni dunia kepenulisan, tentu menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Dari rasa malas, enggan dan malu kalau tulisan tidak dibaca orang. Bahkan, terkadang hingga hilangnya semangat untuk menuntaskan sebuah tulisan. Selain itu, Syamsudin juga menghadapi berbagai hinaan, cemoohan hingga penolakan dari pembaca terhadap karyanya. Bahkan tak sedikit penerbit buku yang menolak naskah yang diajukan.
“Baik yang menolak dengan pemberitahuan maupun yang menolak tanpa pemberitahuan,” ujarnya.
Kedua, menghadapi rasa minder. Menulis juga menghadapi sebuah kondisi dari dalam diri yang mengkhawatirkan yaitu minder. Minder yaitu rasa malu dan tidak percaya diri pada tulisan yang dibuat. Kondisi ini terjadi dalam waktu yang lama bahkan dalam kondisi tertentu membuatnya, mau mengundurkan diri dari dunia kepenulisan.
“Sesekali saya menulis, namun sering kali saya tidak menulis. Saya takut tulisan itu tidak dibaca orang. Ada rasa khawatir buku saya tidak diburu pembaca,” katanya.
Ketiga, tidak tahu memulai dari mana. Sebagai orang yang baru dalam dunia kepenulisan, juga sering tidak tahu dari mana harus mulai sebuah tulisan. Ketika ada hal yang bisa dipakai untuk memulai tulisan, ada hambatan lain.
“Kadang jari tangan saya tidak segera menulis. Mau menulis sekadar mau dipikiran, belum menjadi tindakan nyata. Padahal menulis itu kata kerja yang membutuhkan praktik langsung. Saya pun pada awalnya seperti tidak serius, dan tidak bersemangat lagi. Biangnya adalah tidak terbiasa dan enggan memulai,” katanya.
Keempat, kehabisan ide dan inspirasi. Syamsudin mengatakan, menulis juga kerap hanya sekadar impian manakala tidak dilanjutkan menjadi tindakan. Alasan paling klasik adalah kehabisan bahkan tidak punya ide dan inspirasi menulis. Hal ini biasanya disebabkan oleh penyakit malas membaca sumber bacaan. Padahal buku, surat kabar dan media online bisa diakses kapan pun dan di mana pun. Semuanya bisa diperoleh secara gratis di toko buku dan perpustakaan yang tak jauh dari rumah tempat tinggalnya.
“Bahkan lingkungan sekitar bisa jadi sumber inspirasi tulisan,” ujarnya.
Mulai dari mana
Lalu, apa yang ia lakukan ketika menghadapi kondisi itu? Ia pun mengambil inspirasi dari pengalaman hidup yang normal. Selain, harus menjaga niat dan tekad untuk berkarya. Tanpa itu, sulit berbenah diri dan bisa berkarya.
“Saya harus percaya diri melahirkan karya yang bermanfaat. Bila menulis berarti saya sedang berbuat baik. Bila saya sungguh-sungguh berkarya maka karya bakal diburu pembaca. Saya harus mulai dari sesuatu yang disukai, dari bacaan yang didalami dan dari pengalaman hidup sendiri. Ide dan inspirasi saya dapatkan dengan cara banyak membaca, berdiskusi dan menulis itu sendiri,” kata Syamsudin.
Pada momentum ini Mas Benny sang pemandu acara juga memancing pertanyaan tentang kondisi dunia literasi terutama kepenulisan di Indonesia. Sebagai orang yang bergulat di dunia kepenulisan, Syamsuddin tentu punya pengalaman dan pandangan, walaupun belum tentu mewakili mereka yang aktif di dunia penulisan di luar sana.
“Saya berpandangan bahwa dunia kepenulisan di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Tradisi menulis dan membaca belum menjadi tradisi yang diminati secara massal oleh masyarakat Indonesia. Biangnya, banyak seperti sumber bacaan yang tidak menarik, buku yang mahal dan akses internet gratis yang belum merata. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah penghargaan terhadap para penulis yang belum ada,” ujarnya.
Syamsudi pun mengungkapkan soal kolaborasi semua elemen bangsa yang jadi kunci untuk meningkatkan dunia literasi. Pemerintah harus turun tangan dan menghadirkan regulasi yang memudahkan masyarakat bisa menekuni tradisi literasi. Pemerintah juga harus memberi apresiasi penulis sehingga mereka tidak kehilangan penguatan dari berbagai sisinya.
Bagaimana pun, menurutnya, penulis dengan karyanya telah mencerdaskan kehidupan bangsa sama seperti guru dan dosen. Penggiat literasi dan penulis juga harus kompak dan bersinergi dalam menumbuhkan semangat ber-literasi di tengah masyarakat.
“Bila kolaborasi semua pihak berlangsung dengan baik maka kita bisa pastikan literasi Indonesia bakal lebih berkembang dan maju,” ujarnya.