Suatu ketika Nabi Muhammad Saw menyampaikan sebuah pelajaran penting kepada para sahabatnya. “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.”
Hadis yang diriwayatkan oleh Umar Ibn Al-Khaththab ini dilatarbelakangi sebuah peristiwa. Ada seseorang di antara kaum muslimin Makkah yang hendak berhijrah ke Madinah, tetapi motivasi hijrahnya bukan lillahi ta’ala, melainkan karena ingin menikahi seorang perempuan bernama Ummu Qais. Maka, kemudian dia pun dikenal dengan sebutan ‘Muhajir Ummi Qais’ (orang yang berhijrah karena Ummu Qais). Orang seperti ini hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya, tidak lebih.
Niat adalah motivasi terkuat yang tertanam dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam. Dengan niat, orang akan berusaha melakukan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Niat adalah amunisi paling ampuh yang dapat melesakkan seluruh potensi yang ada dalam diri seseorang. Niat pula yang akan mengantarkan seseorang memperoleh apa yang diinginkannya.
Islam mengajarkan, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa setiap aktivitas tergantung pada niatnya. Maka, hendaknya niatkan segala aktivitas positif karena Allah, bukan lainnya. Karena dengan ketulusan niat lillahi ta’ala, mengharap ridho Allah semata, aktivitas tersebut bernilai ibadah. Sebaliknya, meski positif, tetapi jika aktivitas tersebut tidak diniatkan karena Allah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa selain yang diniatkannya.
Niat adalah urusan hati yang sulit dideteksi. Seringkali seseorang yang melakukan suatu aktivitas ibadah, mulanya berniat mencari ridla Allah, tetapi di tengah jalan, karena suatu alasan tertentu, dia memalingkan niatnya, dari yang tulus mengharap ridla Allah menuju mengharap pujian orang lain. Hal ini sangat mungkin terjadi. Karena batas antara ikhlas dan riya sangat tipis. Di sinilah, pentingnya meluruskan niat ketika kita hendak melaksanakan suatu aktivitas positif agar tetap bernilai ibadah.
Peringatan
Dalam Kitab Shahih Muslim, diriwayatkan kepada kita tentang tiga orang yang kelak pada hari kiamat akan disidangkan di hadapan pengadilan Allah SWT. Kepada orang pertama Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan di dunia?” Orang tersebut menjawab, “Aku membaca al-Quran.” Allah berfirman, “Kamu bohong. Kamu membaca al-Quran agar dikatakan bahwa kamu seorang Qari’, ahli baca al-Quran.
Kemudian orang tersebut diseret dan dilemparkan ke neraka. Kepada orang kedua Allah bertanya hal yang sama, kemudian ia menjawab, “Aku menginfakkan dan menyedekahkan hartaku di jalan Allah.” Allah berfirman, “Kamu bohong. Kamu berinfak dan bersedekah supaya kamu disebut sebagai dermawan.” Ia juga diseret dan dilemparkan ke neraka. Kepada orang ketiga, Allah mengajukan pertanyaan yang sama. Ia menjawab, “Aku berjihad (berperang) di jalan-Mu.” Allah berfirman, “Kamu bohong. Kamu berperang supaya dianggap sebagai pemberani.” Ia pun diseret dan di lemparkan ke neraka.
Dari riwayat hadis di atas, ada kesamaan dari ketiga orang tersebut. Meski masing-masing menjalankan perintah Allah, berupa ibadah yang sangat mulia, tetapi karena tidak didasari oleh niat yang tulus karena Allah (lillahi ta’ala), maka alih-alih ibadah yang dilakukannya mendapat pahala, justru menjadi bumerang yang menyeret mereka ke dalam neraka. Na’udzu billahi min dzalika.
Ruang Inspirasi, Selasa, 3 Januari 2023