Jakarta, Menara62.com– Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud menyepakati apa yang disampaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada pengajian bulanan di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, (3/3/2018).
Sebelumnya Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyampaikan bahwa LGBT telah menjadi gerakan penyebar luasan dan hal tersebut telah melanggar pancasila. LGBT di Indonesia bukan hanya soal fenomena, melainkan gerakan bawah tanah yang cukup besar, sehingga negara perlu menegaskan posisinya dalam rangka menjaga relevansi Pancasila.
Mahfud menyampaikan mengenai adanya gerakan dan aktivisme untuk membawa LGBT tersebut menjadi legal secara konstitusi berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh situs resmi UNDP tertanggal 2 Februari 2016 yang menyebutkan bahwa badan program pembangunan PBB tersebut menyediakan dana sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar) untuk difokuskan ke empat negara: Indonesia, China, Filipina dan Thailand dalam rangka untuk mendukung LGBT agar mendapatkan perlindungan hukum.
Dari aspek hukum dan formal, Mahfud menjelaskan bahwa masih banyak Undang-Undang di Indonesia yang statusnya masih merupakan warisan Belanda dan tetap dipakai sampai hari ini. Hukum tersebut, tentu memakai paradigma Barat yang tidak pantas digunakan di Timur, terutama negara Indonesia yang mayoritas dihuni oleh umat Islam. Salah satu contohnya menurut Mahfud ialah pidana zina dan LGBT.
Zina akan dipidana hanya jika terdapat unsur pemaksaan, tidak adanya unsur suka sama suka, ataupun ada delik aduan. “Ini berbeda nilai dengan Islam. Kalau di Islam pokoknya berhubungan dengan yang bukan muhrim itu zina,” ujar Mahfud.
Terkait dengan paradigma LGBT, paradigma pasal zina itu sejatinya muncul dari paradigma Hak Asasi Manusia (HAM) dari pandangan hidup masyarakat Barat. Mahfud mengutip inti Deklarasi HAM di New York pada tahun 1948 yang yang menghasilkan konsep bahwa HAM bersifat universal sehingga harus dilindungi sepenuhnya dan tidak boleh dikurangi sedikitpun.
Menurut Mahfud, keuniversalan nilai itu terbukti gagal ketika ada penggodokan Undang-Undang mengenai santet dan tuyul pada tahun 1998.
Mahfud menambahkan, pedoman nilai HAM itu tidak universal. Hal itu dibuktikan oleh A Universal Declaration of Human Responsibilities yang digelar pada tahun 1998 dan diikuti oleh Menteri Urusan Luar Negeri RI Ali Allatas dan mantan presiden Amerika Serikat Jimmy Carter.
Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa HAM tidak universal, tetapi partikular dengan mengindahkan nilai dan norma yang berkembang oleh masyarakat setempat. Hal itulah yang dinilai sesuai dengan Indonesia, terutama dalam Pasal 22J ayat (2) UUD 1945 yang memiliki maksud bahwa HAM itu bisa dikurangi dengan UU berdasar pada pertimbangan agama, moral, ketertiban umum.
Terkait fakta tersebut, Mahfud mengamini pendapat Haedar yang menyebutkan bahwa selain ada yang memang mendapat kecenderungan dari lahir, perilaku menyimpang LGBT ada juga yang muncul karena pilihan pribadi seperti dalam negara-negara sekuler dengan wawasan humanisme liberal yang menuntutnya sebagai bagian dari hak hidup.
Mahfud menyebutkan bahwa wajar jika kemudian pada akhirnya kaum muslimin di Indonesia meminta definisi zina disesuaikan dengan penghayatan rakyat Indonesia dan juga meminta perilaku zina atau LGBT dikriminalkan dan bukan dikriminalisasi, karena tidak sesuai dengan nilai masyarakat Timur dan Indonesia yang berpedoman pada nilai-nilai ketuhanan.
“Ada perbedaan antara dikriminalkan dan dikriminalisasi. Dikriminalkan hanya jika terbukti melanggar hukum yang sah, sedangkan dikriminalisasi adalah dicari-cari kesalahan dan kalau bisa dibuatkan kesalahan agar bisa dipidana,” ujar Mahfud.