JAKARTA, MENARA62.COM – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) terus melakukan berbagai upaya untuk menyisir sisa-sisa penduduk penyandang buta aksara. Penyisiran penduduk buta aksara ini menjadi pekerjaan yang tidak ringan mengingat sebagian besar merupakan warga senior dengan usia di atas 50 tahun.
“Mengajari baca tulis untuk warga senior tentu bukan hal yang mudah. Ini menjadi tantangan kita dalam pemberantasan buta aksara,” kata Dirjen PAUDDikdasmen Kemendikbudristek Jumeri dalam keterangan pers terkait Hari Aksara Internasional (HAI) 2021, Sabtu (4/9/2021).
Data tahun 2020 menyebutkan masih terdapat 2,91 juta penduduk Indonesia yang menyandang buta aksara. Data tersebut turun sedikit dibanding tahun 2019 yang mencatat angka 3,081 juta.
“Secara nasional, angka buta aksara di Indonesia saat ini 1,7 persen. Tetapi pencapaian ini tentu tidak merata,” lanjut Jumeri.
Diakui sampai saat ini masih ada 10 propinsi dengan persentase buta aksara di atas angka nasional. Ke-10 propinsi tersebut berturut-turut adalah Papua 22 persen, NTB 7,5 persen, Sulbar 4,4 persen, NTT 4,24 persen, Sulsel 4,11 persen, Kalbar 3,54 persen, Jatim 3,21 persen, Sultra 2,47 persen, Jateng 2,03 persen, dan Papua Barat 1,77 persen.
Ditilik dari usia, kelompok umur 44 sampai dengan 59 tahun (warga senior) memiliki persentase buta aksara latin/alphabet tertinggi dibanding kelompok umur lainnya mencapai 4,17 persen, disusul rentang usia 25-44 tahun sebanyak 1,11 persen, dan rentang usia 15-24 tahun sebanyak 0,22 persen.
Kelompok perempuan, jelas Jumeri menduduki jumlah lebih besar dibanding penyandang buta aksara dari kelompok laki-laki.
Menurut Jumeri, 10 daerah dengan persentase penduduk buta aksara dari tahun ke tahun masih dijumpai pada propinsi yang sama. Beberapa penyebabnya antara lain kendala infrastruktur, kendala usia dan kelompok disabilitas.
“Jawa Timur masih di atas angka nasional meski wilayah ini relative maju di banding daerah lain di luar Pulau Jawa. Penyebabnya, ada banyak penduduk terutama di daerah tapal batas dan Madura yang penduduknya lebih mengutamakan belajar huruf Arab. Jadi mereka bisa baca huruf Arab, bisa mengaji, tetapi huruf latin tidak bisa,” jelasnya.
Padahal indikator pengukuran angka buta aksara di Indonesia menggunakan parameter penguasaan huruf latin.
Untuk menurunkan angka buta aksara, tahun ini, Kemendikbudristek lanjut Jumeri melakukan beberapa program seperti pemutakhiran data buta aksara, pengembangan program pembelajaran yang inovatif, memfokuskan strategi penuntasan buta aksara pada daerah padat buta aksara, serta pengembangan jejaring dan sinergitas.
“Kita melakukan sharing anggaran antara pusat dan daerah, menjalin kemitraan PT, kerjasama dengan dinas terkait, BP-PAUD Dikmas, serta lembaga pendidikan non formal,” kata Samto, Direktur PMPK Kemendikbudristek dalam kesempatan yang sama.
Samto menjelaskan program pemberantasan buta aksara kini juga menjumpai kendala yang lebih serius dibanding tahun-tahun sebelumnya seiring pandemi Covid-19 yang melanda tanah air. Karena dalam program pemberantasan buta aksara, pembelajaran harus dilakukan secara tatap muka antara guru atau pamong belajar dengan warga belajar.
“Kalaupun mau memanfaatkan teknologi digital, itu juga menjadi kendala. Sebab penyandang buta aksara di Indonesia kan didominasi warga senior yang juga buta teknologi. Inilah mengapa harus ada terobosan untuk menjangkau mereka di tengah pandemi Covid-19,” tutupnya.