JAKARTA, MENARA62.COM– Intelijen dan politik adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Karena itu mereka yang berminat untuk menjadi seorang politikus, atau terjun dalam dunia politik, harus memahami dan memanfaatkan ilmu intelijen.
“Politik intinya bagaimana mendapatkan kekuasaan, merebut atau mempertahankan kekuasaan. Sedang intelijen adalah rangkaian kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencapai dan merebut kekuasaan itu sendiri,” jelas Stepi Anrini M.Si, kandidat doktor bidang Kebijakan Publik di Universitas Indonesia pada peluncuran buku Intelijen & Pilkada: Pendekatan Strategis dalam Menghadapi Pemilu, Selasa (03/04/2018).
Dalam buku pertamanya ini, Stepi membahas bagaimana politik itu harus didukung intelijen yang baik. Suatu hal yang kadang tidak mendapatkan perhatian baik dari seorang politikus.
Stepi mengatakan politik yang saat ini dirasakan masyarakat sesungguhnya tak luput dari hal-hal negatif seperti hoax, identitas dan politik uang. Pendekatan intelijen dapat menjadi sebuah tawaran bagi kandidat maupun tim suksesnya agar tidak melakukan upaya instan dengan money politik maupun hal negatif lainnya.
Buku setebal 241 halaman ini mengenalkan intelijen diawal buku sebagai informasi, pengetahuan, produk, kegiatan, proses, organiasi dan profesi. Pada bab selanjutnya buku ini mengupas peran intelijen sejak zaman kerajaan hingga millennial.
Stepi mengatakan dizaman Majapahit, strategi intelijen terlihat dalam upaya Ken Arok merebut kekuasaan Tunggul Ametung tanpa darah dan pertempuran. Di era orde baru, pengabdian dari Letjen TNI (purn) Ali Moertopo dan Jenderal TNI (purn) LB Moerdani turut mendukung kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun lamanya.
Menurut Stepi di era millennial dimana media sosial berkembang pesat, menjadikan medan politik mengalami perubahan. Media sosial akhirnya dapat dijadikan alat untukmempengaruhi mindset generasi muda. Interaksi pengguna dunia maya baik facebook, twitter, line dan sebagai yang bisa menghabiskan waktu hingga 8 jam perhari, merupakan potensi besar yang bisa dimanfaatkan dunia politik.
Berkaca pada pemilihan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 2017 terlihat betapa dasyatnya kekuatan media sosial hingga dapat mempengaruhi perilaku pemilih.
“Presiden Trump sukses dengan twitternya. Media sosial telah mampu mendulang suuara-suara mengambang menjadi pendukungnya,” tambah Stepi.
Fenomena yang sama diakui Stepi juga terjadi di Indonesia. Penggunaan media sosial sebagai sarana pemasaran politik dan alat kampanye partai secara bertahap muncul.
Dalam survei tentang Peta Baru Lanskap Digital Indonesia 2018, yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Amerika tahun 2017, terlihat dari 132,7 juta pengguna internet di Indonesia, 90 persen adalah pengguna media sosial aktif. Angka ini meningkat 49 persen dari tahun sebelumnya.
Sementara dalam survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2016 yang melihat penetrasi dan perilaku pengguna internet Indonesia, sebanyak 19 persen adalah kategori usia 10-24 tahun.
“Jadi bila ingin memenangkan simpati nitizen, ketahuilah bahwa penguasa media sosial saat ini adalah generasi millenial,” kata Stepi.
Oa memprediksi pada Pemilu 2019 nanti jumlah pemilih millenial mencapai 86 juta jiwa atau 48 persen dari populasi pemilih. Mereka adalah anak-anak muda dengan nilai-nilai kreativitas, kemajuan dan berpikiran terbuka. Dan untuk mendapatkan simpati pemilih dengan karakteristik ini, parpol tidak bisa berharap pada model kampanye konvensional seperti seminar, pembagian sembako, stker atau bagi-bagi kaos.