29.8 C
Jakarta

Melestarikan Adat Siraman Di Tengah Era Digital

Baca Juga:

HIDUP dijaman modern tak membuat keluarga besar Wiyogo Atmodarminto meninggalkan tradisi lama. Budaya Jawa yang selama ini sangat kental pada keluarga Gubernur DKI Jakarta ke-12 tersebut tetapi dilestarikan dan dipelihara hingga kini, melalui anak, cucu dan cicitnya.

“Tradisional tidak berarti ketinggalan jaman. Sebab banyak hal-hal yang tradisional justeru memberikan kita nilai lebih dibanding orang lain,” kata Ir Giwo Rubianto, menantu almarhum Wiyogo Atmodarminto di sela prosesi siraman anak keduanya, kemarin.

Karena itu, meski sudah hidup di era gawai, era digital, keluarga besar Wiyogo tetap melestarikan budaya-budaya tradisional. Satu diantaranya adalah tradisi siraman menjelang pernikahan.

Giwo yang merupakan Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) itu mengakui sejak anak pertamanya menikah, adat siraman selalu dilakukan tiga hari menjelang hari pernikahan. Pada acara tersebut, tidak hanya melibatkan dua keluarga besar calon mempelai tetapi juga masyarakat lainnya yang datang memberikan doa restu.

Prosesi siraman, menurut Giwo menjadi simbol bagi orangtua membersihkan jiwa dan raga  calon mempelai sebelum melangkah ke jenjang perkawinan. Tentunya dalam prosesi penyiraman air pada calon mempelai, orangtua melantunkan doa-doa terbaiknya.

“Tujuannya tentu untuk kebaikan mempelai. Agar saat memasuki bahtera perkawinan, jiwa dan raga benar- benar sudah siap. Sebab membina rumah tangga itu ada sisi menyenangkan tapi adakalanya juga muncul hal-hal menyedihkan, dan ini perlu kesiapan mempelai,” lanjut Giwo.

Adat siraman itu sendiri banyak dijumpai pada masyarakat Jawa. Baik Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta maupun  dan Jawa Timur. Air yang digunakan untuk prosesi siraman yang disebut Banyu Perwitosari, biasanya diambil dari 7 mata air yang terdapat didaerah tersebut.

Tradisi atau prosesi Siraman pada pengantin Jawa ada yang dilakukan secara terpisah antara calon pengantin pria dan wanita, namun ada juga yang dilakukan secara bersamaan. Biasanya calon pengantin wanita diberikan kesempatan pertama.

Calon pengantin wanita menggunakan kain batik dengan motif Grompol yang dirangkapi kain mori putih sepanjang dua meter dengan posisi rambut diurai bebas. Biasanya juru rias adalah orang yang mendapatkan giliran pertama sekaligus memberi doa-doa di siraman kepada calon pengantin, dilanjutnya oleh anggota keluarga yang dituakan, dan diakhiri oleh oleh kedua orang tuanya.

Menurut Giwo, jumlah orang yang terlibat dalam prosesi penyiraman selalu ganjil, dengan pilihan angka 7 atau 9. Jika tujuh orang, mempunyai makna pitulungan (bahasa Jawa artinya pertolongan) dan jika mengambil angka 9 berarti babahan hawa sanga (sembilan lubang pada tubuh manusia).

Indonesia amat kaya dengan budaya. Tetapi jika kita tidak melakukan upaya pelestarian tentu budaya itu bisa punah. Karenanya sebisa mungkin kita lakukan, agar budaya bukan sekedar cerita yang tertulis di museum,” tandas Giwo.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!