“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama…”
(Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Prinsip utama dalam menjalankan aktivitas ibadah kepada Allah adalah niat yang lurus dan tulus. Dalam bahasa agama sering disebut dengan ikhlas.
Secara bahasa, ikhlas berarti bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih, tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah semata dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain serta tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridla Allah semata dalam beribadah tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Niat
Sebelum memulai aktivitas, maka hal terpenting yang harus kita perhatikan adalah niat. Niat yang tulus karena Allah akan berdampak positif, baik pada saat pelaksanaan aktivitas tersebut maupun sesudah pelaksanaannya.
Seseorang yang meluruskan niatnya karena Allah dalam melakukan suatu aktivitas (positif), hakekatnya meyakini betul bahwa ada nilai yang terkandung di dalam aktivitasnya tersebut. Dia yakin sepenuh hati bahwa Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan amal hamba-Nya. Dia juga yakin bahwa energi yang telah dia keluarkan untuk melakukan aktivitas tersebut tidak akan pernah hilang tanpa bekas, atau berakhir sia-sia. Sesuai dengan hukum kekekalan energi yang menyebutkan bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Hakekatnya energi yang kita keluarkan untuk melakukan ativitas positif, yang ditujukan hanya kepada Allah semata, tidak hilang, tetapi akan berubah bentuk menjadi energi positif lainnya.
Suatu ketika Nabi Muhammad Saw menyampaikan sebuah pelajaran penting kepada para sahabatnya. “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.”
Hadis yang diriwayatkan oleh Umar Ibn Al-Khaththab ini dilatarbelakangi sebuah peristiwa. Ada seseorang di antara kaum muslimin Makkah yang hendak berhijrah ke madinah, tetapi motivasi hijrahnya bukan lillahi ta’ala, melainkan karena ingin menikahi seorang perempuan bernama Ummu Qais. Maka, kemudian dia pun dikenal dengan sebutan ‘Muhajir Ummi Qais’ (orang yang berhijrah karena Ummu Qais). Orang seperti ini hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya, tidak lebih.
Islam mengajarkan, seperti yang disabdakan Rasulullah Saw, bahwa setiap aktivitas tergantung pada niatnya. Maka, hendaknya niatkan segala aktivitas positif karena Allah, bukan lainnya. Karena dengan ketulusan niat lillahi ta’ala, mengharap ridho Allah semata, aktivitas tersebut bernilai ibadah. Sebaliknya, meski positif, tetapi jika aktivitas tersebut tidak diniatkan karena Allah, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa selain yang diniatkannya.
Niat adalah urusan hati yang sulit dideteksi. Seringkali seseorang yang melakukan suatu aktivitas ibadah, mulanya berniat mencari ridla Allah, tetapi di tengah jalan, karena suatu alasan tertentu, dia memalingkan niatnya, dari yang tulus mengharap ridla Allah menuju mengharap pujian orang lain. Hal ini sangat mungkin terjadi. Karena batas antara ikhlas dan riya’ sangat tipis. Di sinilah, pentingnya meluruskan niat ketika kita hendak melaksanakan suatu aktivitas positif agar tetap bernilai ibadah.
Penulis: Didi Junaedi, Jakarta, Kamis (21/11/2019)