26.9 C
Jakarta

Memangkas Jalan Panjang Target Penurunan Emisi Karbon Melalui PLTS di Kampus

Baca Juga:

JAKARTA, MENARA62.COM – Indonesia memiliki lebih dari 4.000 kampus baik negeri maupun swasta. Dari 4.000 kampus tersebut, saat ini beberapa kampus telah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baik dalam bentuk laboratorium maupun proyek kerjasama untuk pembangunan PLTS bagi penduduk di suatu wilayah.

Institut Teknologi Sumatera (ITERA) adalah salah satu kampus yang telah memiliki PLTS. Kampus yang berlokasi di Provinsi Lampung tersebut resmi mengoperasikan PLTS berkapasitas 1 Megawatt-peak (MWp) pada 7 Januari 2021 dan menjadi pilot proyek kampus mandiri energi.

PLTS ITERA dibangun dari 3.036 panel surya yang mampu menghasilkan energi listrik sebesar 4 Megawatt hour (MWh) per hari dan dapat mengurangi emisi karbon hingga 5.600 ton CO2 per tahun. Dengan memiliki PLTS tersebut, ITERA mampu memenuhi 50% kebutuhan energi listrik secara mandiri..

Rektor ITERA Prof. Ir. Ofyar Z Tamin, M.Sc., Ph.D, IPU mengatakan sejak dioperasikannya laboratorium PLTS di kampus ITERA, pasokan listrik PLN berkurang jauh hingga 50 Persen. “Separuh dari kebutuhan listrik kampus kini dipenuhi oleh PLTS, dan ITERA menjadi kampus yang mandiri energi,” katanya.

Selain menghemat konsumsi listrik PLN, beroperasinya PLTS di lingkungan kampus juga menjadi bentuk dukungan ITERA terhadap upaya-upaya pemerintah untuk menekan tingkat polusi udara. Sebagaimana diketahui penggunaan energi merupakan sumber-sumber polutan udara yang terbesar di dunia. Memperbaiki sektor energi berarti mengatasi akar penyebab sekaligus obat untuk menangkal terjadinya polusi dan memburuknya kualitas udara.

Rektor berharap dari laboratorium PLTS ITERA ini akan lahir inovasi dan riset-riset baru tentang energi surya dan energi terbarukan untuk menuju Indonesia yang lebih bersih.

Selain ITERA, Universitas Indonesia juga telah memiliki PLTS yang dipasang di Gedung Engineering Centre dan PLTS Terapung Bifacial yang terletak di Danau Mahoni UI menyusul kemudian Gedung Integrated Creative Engineering Learning Lab (I-Cell) Fakultas Teknik (FT). Pemasangan instalasi PLTS tersebut, selain untuk mengurangi penggunaan listrik dari PLN dan menjadi sumber listrik ramah lingkungan bagi gedung laboratorium i-CELL, juga menjadi laboratorium energi untuk penelitian di bidang energi terbarukan bagi para dosen dan mahasiswa FTUI.

Di luar ITERA dan FTUI, saat ini, pemerintah tengah merintis proyek pembangunan PLTS di 7 Perguruan Tinggi yakni Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, satu Universitas di Kalimantan, 2 Universitas di Jawa Timur, 1 Universitas di Bali, dan 2 Universitas di Jakarta. Target energi yang dihasilkan adalah sebesar 15 MWp.

Ke depan, proyek PLTS di kampus-kampus akan terus diperbanyak. “Dalam beberapa bulan ini kami terus melakukan pembicaraan secara intensif dengan para mitra antara lain PLN, PJB dan PT Wijaya Karya untuk pembangunan PLTS di kampus-kampus,” kata Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi (Diktiristek), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Prof Nizam.

Menurutnya pembangunan PLTS di kampus-kampus memiliki peran yang sangat strategis. Selain memberikan peluang bagi setiap kampus manapun untuk mencapai kemandirian energi dan mengurangi emisi karbon, PLTS kampus dapat menjadi rahim bagi lahirnya aktivis energi bersih dari kalangan intelektual terutama dosen dan mahasiswa.

Mahasiswa sebagai bagian dari generasi penerus bangsa, merupakan agent of change yang dapat mengubah perilaku masyarakat untuk peduli dengan energi bersih. Dengan menggerakkan partisipasi mahasiswa, maka kampanye energi baru terbarukan akan dapat dilakukan lebih massif lagi dengan jangkauan meliputi seluruh wilayah Nusantara.

“Saat ini kita memiliki sekitar 7,3 juta mahasiswa. Jika semua kampus memanfaatkan PLTS, maka 7,3 juta mahasiswa tersebut dapat menjadi agen perubahan yang dapat mempercepat akselerasi energi baru terbarukan,” ungkap Nizam.

Diakui Nizam, dari sekitar 4.000 kampus yang ada di Indonesia, tidak semuanya memiliki fasilitas yang memadai untuk pembangunan PLTS baik dari segi lahan maupun pendanaan. Karena itu, untuk saat ini ia hanya menargetkan 10% kampus memiliki PLTS sendiri. Jika satu kampus dapat menghasilkan 1 MWp energi listrik, maka 10 persen dari total kampus akan diperoleh setidaknya 40 MWp. Berkaca dari PLTS ITERA dimana pada 1 MWp memiliki kemampuan mengurangi emisi karbon hingga 5.600 ton CO2 per tahun, maka dengan 40 MWp berarti akan ada pengurangan emisi karbon hingga 224.000 ton CO2 per tahun dari 40 PLTS kampus.

Senada juga disampaikan Dion Jefferson, Chief Commercial Officer SUN Energy. Selain menjadi solusi untuk menghemat energi hingga 30 persen dan membantu menurunkan emisi karbon, pembangunan PLTS di kampus juga memiliki peran mencetak lulusan yang kompetitif guna menghadapi tren bisnis masa depan yakni energi baru terbarukan.

“Sebagai lembaga pusat pemikiran para ilmuwan, sektor universitas mulai menorehkan langkahnya untuk menggunakan energi baru terbarukan dalam skala yang besar,” kata Dion.

Menurut Dion, hadirnya PLTS di kampus menjadi upaya nyata bagi lembaga pendidikan untuk mendorong terciptanya ilmuwan atau ahli pada bidang energi baru terbarukan.

Sementara itu, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menyebutkan kampus memiliki peranan strategis untuk kelangsungan bumi. Peran tersebut bisa dilakukan melalui inovasi-inovasi dan riset terkait dengan energi baru terbarukan termasuk listrik energi surya.

“Selama lebih dari dua abad, manusia bergantung pada energi berbahan bakar fosil. Ketergantungan pada energi berbahan bakar fosil ini menjadi salah satu penyebab kenaikan suhu bumi,” kata Nadiem pada peluncuran Program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya) yang digelar secara virtual (13/8/2021).

Dampaknya tidak hanya naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir.

Baca juga:

Greenpeace tahun 2015 menyebutkan setiap operasionalisasi pembangkit listrik bersumber fosil dengan kapasitas 1000 MW dapat membunuh setidaknya 600 orang Indonesia per tahun. Ancaman kematian ini jauh lebih tinggi dibanding kematian yang diakibatkan Covid-19.

Banjir di Jabodetabek
Banjir di Jatinegara, Jakarta Timur, salah satu dampak perubahan iklim (kangdudi/menara62.com)

Kondisi tersebut tentu tidak boleh dibiarkan terus. Semua orang harus mengambil peran aktif untuk bersama-sama memperlambat laju perubahan iklim guna melindungi bumi dari kerusakan, sekaligus mewujudkan pembangunan yang berkesibambungan dan berkelanjutan. Tak terkecuali mahasiswa sebagai bagian dari generasi masa depan.

Selain membangun PLTS di kampus-kampus, pemerintah juga mendorong lahirnya generasi energi bersih melalui program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (Gerilya). Gerakan yang merupakan kolaborasi antara Kemendikbudristek dan Kementerian ESDM tersebut diluncurkan pada 13 Agustus 2021 memberikan kesempatan kepada mahasiswa eksakta untuk membantu mengoptimalkan penggunaaan PLTS Atap di tengah masyarakat dan mencapai target bauran EBT 23% di tahun 2025.

Kampanyekan PLTS Atap

Kampanye energi bersih dalam upaya menurunkan emisi karbon melalui kampus akan lebih difokuskan dalam bentuk PLTS Atap atau solar rooftop. Mengapa? Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan PLTS Atap merupakan metode paling mudah untuk memanfaatkan listrik tenaga surya. Dengan letak geografis yang berada di garis khatulistiwa, sinar matahari tersedia melimpah sepanjang tahun di semua wilayah Indonesia.

Itu artinya, potensi memanfaatkan PLTS Atap bisa dilakukan oleh siapa saja dan di wilayah manapun. Entah mereka yang tinggal di ujung Aceh, Pulau Papua, Kalimantan, Sulawesi, NTT bahkan kota-kota berpenduduk padat seperti Jakarta.

Selain potensi yang melimpah, pengembangan PLTS juga didorong oleh makin menurunnya biaya investasi untuk pemasangan PLTS dan ini menjadi daya saing investasi yang kompetitif. Sebagai gambaran, pada PLTS terapung Cirata 145 MW, harga jual listrik sekitar 5,8 sen dolar per kWh.

Menteri Arifin mendorong terus lahirnya aktivis energi bersih dari generasi muda, terutama para mahasiswa untuk turut mempercepat pemanfaatan solar rooftop dan mendukung pencapain target bauran EBT sebesar 23% di tahun 2025. “Dengan keterlibatan mahasiswa dalam proyek solar rooftop, diharapkan pelanggan solar rooftop dapat meningkat secara signifikan,” katanya pada peluncuran program Gerilya.

Hingga bulan Mei 2021, PLTS Atap tercatat digunakan oleh 3.781 pelanggan. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan pemanfaatan PLTS Atap pada November 2018 yang hanya sebesar 592 pelanggan. Sedang potensi PLTS Atap yang sudah dimanfaatkan baru 31,32 Megawatt Peak (MWp) dari total potensi yang ada sekitar 32,5 Gigawatt (GW).

Menteri Arifin mengemukakan hingga akhir tahun 2020, pemanfaatan energi surya di Indonesia baru terserap sebesar 153,4 MW dari total potensi lebih dari 207,8 GW. Jumlah ini masih sangat jauh dibandingkan dengan Jerman yang terletak di kawasan subtropical. Negara tersebut saat ini telah memproduksi 50% kebutuhan listrik negaranya dari energi surya. Pemerintah Jerman bahkan menargetkan akan menggantikan seluruh energi listrik dari bahan bakar fosil menjadi listrik berbahan bakar energi surya, meski tidak memiliki sinar matahari sepanjang tahun.

Solar rooftop dapat dipasang di atap hunian (ist/ruangenergi)

PLTS Kunci Penting Bauran EBT

Diakui Menteri Arifin, pemanfaatan sinar surya merupakan kunci penting dalam mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada tahun 2025 sebagaimana komitmen Indonesia yang telah menandatangani Paris Agreement 2016 untuk mengurangi emisi karbon 29 persen di 2030 dan bebas emisi karbon sebelum 2060.

Pemanfaatan EBT di sektor pembangkit listrik, menurut analisa IESR juga memberikan kontribusi sangat signifikan untuk mencapai Indonesia netral karbon sebelum 2050 selain dari sektor transportasi dan industri.

Menteri Arifin menilai dari sekian banyak jenis EBT, maka energi tenaga surya atau PLTS merupakan EBT yang memiliki potensi paling besar di Indonesia. Karena itu, pengembangan PLTS menjadi bagian dari Grand Strategis Nasional (GSEN) dalam memetakan rencana penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 38 GW hingga 2035.

Baca Juga:

Data tahun 2020 menunjukkan besarnya potensi EBT yang dimiliki Indonesia sekitar 418 Giga Watt, dan baru sekitar 2,5% yang sudah dimanfaatkan. Bauran EBT hingga kini baru mencapai 11,2% dari target 23% pada 2025.

Senada juga disampaikan kandidat doktor Australian National University David Firnando Silalahi. Dalam penelitiannya tentang skenario Indonesia menghasilkan 100% listrik dari energi terbarukan, ia menemukan bahwa negara Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan listrik sebesar 640.000 Terrawatt per jam (TWh) per tahun dari energi matahari.

“Sebagai perbandingan, produksi tenaga listrik nasional tercatat sebesar 272,42 TWh pada 2020,” kata David dikutip dari laman generation.org (30/3/2021).

Untuk pengembangan PLTS, pemerintah menempuh tiga cara yakni membangun PLTS Atap, PLTS Skala Besar dan PLTS Terapung di waduk-waduk.

Untuk PLTS Atap, pemerintah akan memanfaatkan gedung pemerintahan, kampus, bangunan milik BUMN, industri dan rumah tangga, dengan target kapasitas mencapai 3,6 GW. Kemudian untuk pengembangan PLTS Skala Besar, pemerintah telah menetapkan target sebesar 5,4 GW. Dan untuk PLTS Terapung, Indonesia telah membangun di Waduk Cirata dengan berkapasitas 145 MW. Selain waduk Cirata, banyak waduk lain yang berpotensi untuk dibangun PLTS Terapung dengan potensi hingga 28 GW di 375 lokasi dan area PLTS existing dengan potensi hingga 12 GW.

International Energy Agency (IEA) meyakini bahwa PLTS akan menjadi raja baru sektor EBT dalam 4-5 tahun mendatang, dengan angka pertumbuhan mencapai 130-170 GW setiap tahun. Beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan PLTS tersebut menurut Direktur Strategi Bisnis dan Portofolio PT Len Industri (Persero) Linus Andor Mulana Sijabat, adalah penggunaan teknologi pada panel surya yang sudah mutakhir dan sederhana.

“Panel surya hanya perlu diletakkan di area yang terkena sinar matahari langsung, seperti di atap rumah atau gedung maka listrik tenaga surya sudah bisa dinikmati,” katanya pada Peluncuran Gerilya.

Selain itu, teknologi crystalline yang jamak digunakan pada panel surya juga telah memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Secara termodinamik, teknologi ini efisiensinya mencapai 30 persen secara teoritis. “Kalau di segi ekonomi sudah pasti ekonomis. Dan menjadi daya tarik masyarakat untuk memanfaatkan listrik tenaga surya,” lanjut Linus.

Kementerian ESDM menargetkan 70 MWp PLTS Atap akan terpasang pada akhir tahun ini. Dengan teknologi yang kian mutakhir dan biaya yang semakin ekonomis, Pemerintah pun mendorong pemanfaatan PLTS Atap yang lebih luas lagi dengan menerbitkan aturan yang ramah bagi pengguna PLTS Atap. (m. kurniawati)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!