28.8 C
Jakarta

Memisahkan Ekspresisi Budaya dari Ekspresi Agama

Baca Juga:

Memisahkan Ekspresisi Budaya dari Ekspresi Agama

Oleh: Prof Dr H Moh Natsir Mahmud MA

Ada kalangan yang khawatir dengan Surat Edaran Wagub Sulawesi Selatan (Sulses). Mereka menganggap, surat edaran itu akan memberangus budaya tradisional yang terpelihara dalam masyarakat Islam. Anggapan ini kurang tepat.

Bagi saya, surat edaran itu dapat dijadikan dasar untuk pembinaan masyarakat. Sebagian warga kita, tidak bisa membedakan antara aspek kultural dan aspek akidah dalam budaya tradisional.

Masyarakat masih ada yang percaya adanya makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu. Misalnya di laut, di gunung, di hutan, di puncak gunung, di pohon besar, di gua dan sebagainya, diyakini sebagi “penyelamat” dan “pemberi mudharat“. Itu sebabnya, mereka harus diberikan upacara sesajen, atau bertawassul di kuburan karena yang dimakamkan di kuburan itu dipercaya bisa menjadi perantara untuk terkabulnya cita-cita dan hajat.

Kepercayaan seperti di atas, dan banyak lagi bentuk lainnya berakar kuat dalam masyarakat, bahkan dipelihara sebagai budaya tradisional. Tidak dipungkiri, di Indonesia telah berakar kuat tradisi Hinduisme dan Budhisme selama berabad-abad sebelum Islam datang.

Para mubalig Islam pertama tidak langsung mencegah budaya seperti itu, karena strategi dakwah tasamuh. Dalam salah satu sumber dikatakan, Sunan Kalijaga mendiamkan sementara kepercayaan seperti itu, namun dia mengharapkan akan diubah secara berangsur-angsur sampai generasi ulama berikutnya. Itu sebabnya, terjadilah singkritisme antara Islam dengan kepercayaan tradisional.

Kalau kita melihat dakwah para Rasul yang digambarkan dalam Al-Qur’an, semuanya mengajak umatnya mentauhidkan Allah semurni-murninya. Rasulullah Muhammad SAW diutus, salah satu misi utamanya adalah pemurnian akidah dalam masyarakat jahiliyah.

Orang jahiliyah, sebenarnya sudah percaya pada Allah sebagai Pencipa alam semesta (al-ankabut 61), tetapi mereka membuat sesembahan berupa patung atau benda-benda alam.

Ketika orang jahiliyah ditanya: Siapakah yang menciptakan kalian? Mereka menjawab: “Allah” yang menciptakan manusia (az-zukhruf 87). Namun saat ditanya: tentang siapakah pemberi rezeki? Siapakah yang menciptakan pendengaran dan penglihatan, siapakah yang menghidup dan mematikan? Mereka menjawab “Allah” (yunus 31-32).

Jika mereka ditanya: Siapakah yang menurunkan hujan untuk menghidupkan tanaman? Mereka menjawab “Allah” (al-ankabut 63). Jika mereka ditanya: siapakah pemilik bumi yan mempunyai tujuh langit dan arasy, siapakah yang berkuasa atas segala sesuatu dan melindungi tetapi tidak dilindungi? Mereka menjawab “Allah” (al-Mukminun 84-90).

Jadi akidah jahiliyah dari segi pemahaman akan kedudukan Allah sudah benar, tetapi mereka membuat sesembahan lainnya, mengkramatkan benda alam dan dipandang melebihi kemampuan manusia bahkan mirip dengan kekuasaan Tuhan karena dianggap bisa mengabulkan hajat mereka.

Jika dilihat kepercayaan jahiliyah tersebut, beda- beda tipis, bahkan mirip dengan kepercayaan tradisional dalam masyarakat yang percaya kepada Allah, tetapikralkan benda2 alam dan dipandang “juru selamat”, pemberi keuntungan, mengabulkan hajat dll.

Kesalahan akidah jahiliyah sbg salah satu misi Rasulullah untuk memurnikannya dari kemusyrikan.

Mengapa Allah begitu murka pada kemusyrikan? Bukan karena Allah “cemburu” pada sembahan itu, tetapi Allah ingin tetap memposisikan manusia sebagai makhluk termulia dan terbaik.

Salah satu ciptaan Allah yang teragung, terhormat, termulia, dan tercanggih adalah ruh manusia. Itu sebabnya iblis disuruh sujud pada Adam pada awal penciptaannya.

Lalu mengapa ruh itu, oleh pemiliknya, disuruh sujud, menyembah dan mensakralkan benda-benda alam yang jauh lebih rendah derajatnya? Kalau diumpamakan orang tua membelikan anaknya baju baru dan termahal, lalu baju itu dipakai anaknya main bola di tempat yang becek dan kotor, tentu saja org tua akan marah besar pada anaknya.

Surat Edaran tersebut perlu disikapi untuk pembinaan masyarakat dengan memisahkan antara “ekspresi budaya” dengan unsur akidah seperti pemujaan.

Upacara keagamaan dalam masyarakat misalnya, ada telur digantung dalam upacara Maulid, ada songkolo patanrupa, ada kembang, aneka buah-buahan, janur kuning, bakar kemenyan dan sebagainya. Semuanya diarahkan agar tidak dipandang “pemberi keselamatan” tetapi semata-mata asesoris, hiasan, seni yang memperindah suasana dan merupakan ekspresi budaya, bukan sarana keselamatan (bukan ekspresi keagamaan).

Harapan keselamatan, hanya dalam doa yang dipanjatkan kepada Allah semata, serta memperbanyak zikir yang seharusnya menjadi inti-pokok dalam acara tersebut. Karena itu, strategi pembinaannya adalah memisahkan antara espresi budaya dari ekspresi agama atau akidah tauhid.

(Prof Dr H Moh Natsir Mahmud MAGuru Besar pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!