JAKARTA – Penyelesaian terorisme hingga saat ini masih dilihat secara struktural yang memusatkan pada peran lembaga-lembaga negara. Padahal penting dilakukan mencegah tumbuhnya bibit radikal dan ideologi yang mendasari berkembangnya terorisme di Indonesia.
“Jangan lupa deradikalisasi harus ditanamkan pada masyarakat yang memiliki pandangan radikal,” kata Sri Sunarti Purwaningsih, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di sela diskusi publik Memutus Mata Rantai Terorisme, Mungkinkah?: Keberhasilan dan Kegagalan Deradikalisasi, Kamis (17/5).
Menurut Sunarti untuk memutus mata rantai terorisme tergantung pada deradikalisasi. Upaya tersebut seharusnya tidak hanya ditujukan bagi individu tetapi juga keluarga pelaku gerakan teroris.
Cahyo Pamungkas, Peneliti Pusat Penelitian SumberDaya Regional (PSDR) LIPI mengatakan strategi deradikalisasi keluarga bisa diimplementasikan melalui berbagai pendekatan yakni psikologis, dan sosial. Pendekatan yang positif bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan khusus kepada anak-anak pelaku teroris, memberdayakan masyarakat perempuan bagi keluarga yang ditinggalkan kepala keluarganya karena tersangkut masalah terorisme dan pemisahan tahanan teroris.
Cahyo menambahkan mencegah berkembangnya ideologi terorisme pada tingkat keluarga adalah kunci utama untuk mencegah ideologi ini berkembang dengan cepat dimasyarakat luas.
“Berkembangnya ideologi terorisme di masyarakat luas karena gerakan gagasan atau ide radikalisme seringkali terjadi melalui keluarga teroris. Kalau penyelesaiannya hanya pendekatan keamanan saja tentu tidak akan mampu memutus mata rantai terorisme yang telah menyebar luas ke berbagai sendi kehidupan masyarakat,” ungkap Cahyo.
Selain itu lanjut Cahyo, strategi deradikalisasi juga bisa dilakukan melalui media sosial untuk memproduksi narasi-narasi yang mampu mengkonter ujaran kebencian dan kekerasan. Sebab gerakan terorisme dilakukan tidak hanya gerakan fisik tetapi juga penyebaran ideologi kekerasan di media sosial. Meskipun upaya antisipasi dan counter terhadap narasi di media sosial telah dilakkan tetapi dinilai masih kurang optimal.
Untuk memutuskan mata rantai gerakan terorisme tidak hanya dilakukan dengan mematahkan narasi kekerasan agama atau menciptakan narasi tandingan tetapi perlu identifikasi dan analisis mendalam pada proses produksi narasi tersebut.
“Akar utama dari terorisme adalah radikalisme, dan akar radikalisme adalah intoleransi baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Jadi kita tidak dapat mengesampingkan fakta menguatnya intoleransi di Indonesia karena dikhawatirkan akan menjadi lahan subur gerakan terorisme,” tutup Cahyo