30.9 C
Jakarta

Menengok Sandiwara Radio Kini, Benarkah Sudah Mati?

Baca Juga:

Oleh Ashari*

Serial Sandiwara Radio Saur Sepuh dan Tutur Tinular ada dua contoh genre sandiwara radio dengan latar belakang sejarah, perebutan kekuasaan, intrik dan asmara yang dinilai sukses di pasaran. Dikatakan sukses karena produksi audio mencapai hingga ratusan seri. Bahkan entah permintaan atau karena sedang booming waktu itu, kedua sandiwara dibuat dalam bentuk video film yang juga berseri-seri. Namun beberapa tanggapan, katanya lebih seru dengarkan radio dari pada lihat gambarnya. Karena apa yang dibayangkan menjadi berbeda dengan tampilan di layar kaca atau film. Itulah salah satu kelebihan dari media radio yang mempunyai daya khayal yang luar biasa (teathre of mind) bagi pendengarnya. Beda dengan TV yang sekali lihat langsung dapat melihat wujudnya.

Merunut sejarah awal sandiwara muncul, konon bersamaan dengan hadirnya radio yang ditemukan oleh tehnisi Marconi ini pada tahun 1700-an. Awalya hadir untuk menggambarkan keadaan kerajaan dan pemerintahan yang sedang berkuasa waktu itu, dengan kemasan yang masih sangat sederhana dan manual dan nyaris belum ada iklan pendukungnya. Diawal tahun 1940-an ketika radio masuk ke Indonesia, dengan embrio RRI sebagai corong pemerintah, maka para pengelola nampaknya mulai menyadari bahwa kemasan radio tidak hanya sebatas informasi dari pemerintah kepada rakyatnya, atau hal-hal yang bersifat formal saja tetapi juga bagaimana kehadiran radio dapat menghibur (entertainment). Maka kemudian muncullah menu music, sandiwara radio, kethoprak dan sejenisnya.

Seiring dengan perkembangan jaman sandiwara radio digarap lebih serius. RRI lebih dulu memulai dengan drama-drama radio keluarga dengan setting memberikan pencerahan bagaimana membangun keluarga yang baik, kemudian melebar memunculkan sandiwara radio horror yang diputar paruh malam. Biasanya jenis sandiwara macam ini disenangi oleh kaum dewasa dan orang tua. Dengan kekuatan sound effect yang mengecoh, pendengar dibawa ke alam bawah sadar mereka, seolah-olah mereka berada dalam dunia yang penuh horor dan menakutkan.

Perkembangan berikutnya paket sandiwara radio ini mulai marketable, dilirik pasar sebagai salah salah alternative hiburan radio yang menempati rating atas. Selain music sebagi menu utamanya. Maka tidak berlebihan kalau kemudian berdatangan sponsor produk iklan yang ingin memasarkan brand image  mereka dalam program sandiwara radio ini. Ketika masih di media radio, sponsor program belum begitu banyak slot iklan masih dapat dihitung dengan jari, tetapi begitu sandiwara diangkat ke layar kaca, iklan yang mengiringinya begitu padat, sampai-sampai kita sebagai penikmat sandiwara kadang ‘merasa terganggu’ dengan banyaknya iklan yang bersliweran itu, namun disisi lain, tidak bisa dinafikan bahwa media teve dan managemen tidak dapat lepas dari input iklan sebagai nafas agar tayangan tetap dapat dinikmati.

Era paruh tahun 80-an hingga 90-an awal, bisa dikatakan sandiwara radio masih merajai menu acara di banyak radio. Sebagai catatan, harus diakui bahwa tidak semua radio mengkonsumsi paket ini sebagai menu utama atau menu tambahan, terutama radio- radio yang lebih mengedepankan news sebagai jajanan utamanya, maka mereka akan mengesampingkan produk sandiwara ini. Namun kebanyakan radio karena alasan pasar menghendaki – paket sandiwara radio masih dijadikan sebagai andalan utama untuk merebut segmen pendengar yang heterogen. Di samping untuk menghidupi dapurnya sendiri.

Namun sekitar tahun 93-an, ketika era informasi benar-benar tak terbendung, orang dengan sangat mudah mengakses corak dan ragam hiburan melalui internet,  cukup klik ‘mbah goegle’ kita dapat mencari aneka hiburan yang kita kehendaki. Maka sejak itu, era sandiwara radio lambat laun mulai pudar, termasuk radio yang menyiarkannya dihimpit oleh persoalan keuangan. Sehingga tidak sedikit manajemen radio yang kemudian mengambil kebijakan baru, misalnya dengan marger, regenerasi, rasionalisasi  atau yang pahit adalah ‘kukut’. Managemen sudah tidak sanggup lagi menanggung beban biaya rutin, termasuk gaji karyawan, biaya perawatan dan bea lain yang mengikutinya. Kalau sudah begitu,maka tidak ada cara lain bagi awak radio, melompat ke radio lain meski dengan merangkak.Atau alih profesi.Ini adalah menyangkut hak asasi.

Apakah sandiwara radio benar-benar sudah mati? Atau jangan-jangan hanya pingsan saja, sebentar, menunggu situasi yang tepat, kemudian ‘booming’ lagi seperti 15-20 tahun lalu?Jawab bisa juga. Namun kalau mau dikatakan sandiwara radio sudah mati, juga tidak benar. Sebab, beberapa radio, dengan kekuatannya sendiri masih mampu memproduksi sandiwara ini, pendengarnyapun lebih focus dan mapan. Bahkan saya dengar, RRI masih konsen dengan program sandiwara radio. Regenerasi di tubuh team creative RRI masih jalan. Hal ini bisa dimaklumi karena keunggulan RRI dalam hal SDM yang berlimpah. Sebuah stasiun RRI dapat saja memiliki SDM  berkisar 200-300 orang. Mereka dibayar oleh Negara.

Meski masih jalan dibeberapa radio ‘berplat merah’ dan sedikit radio swasta, namun kehadirannya belum dapat dikatakan mampu mengobati kerinduan para pecinta sandiwara radio ini. Dulu ketika sandiwara masih berkibar, orang mendengarkan seolah tidak mau lepas (tentu para pecinta), sampe-sampe kemanapun radio kecil itu dibawanya. Mau mandi, kesawah, kondangan, ke sekolah seolah tak mau lepas. Esoknya kalau kita tidak mendengarnya maka kita akan merasa kecewa atau  paling tidak kita akan bertanya-tanya kelanjutan dari jalinan ceritanya. Dan memang penulis naskah atau sutradara pintar dalam memainkan emosi pendengrnya. Tahu sedang seru-serunya maka, tunggu episode berikutnya.Nah, maka kita terpasung untuk mengetahui cerita selanjutnya.

Kemana para pemain sandiwara radio yang hebat macam Ferry Fadly (Brama Kumbara), Elly Ermawati (Mantili), Ivone Rose, Hari Akik, Adi Suhastra (pengantar cerita). Saya masih sering mendengar mereka sebagai dubber film-film impor yang ditayangkan dilayar kaca. Kalau tidak di iklan-iklan nasional. Ketika ke Yogya, kepada penulis Ferry Fadli pernah bilang kalau sandiwara radio memang ada masanya. Nah barangkali sekarang ini sedang berada di bawah. Siapa tahu 5,10 atau 15 tahun yang akan datang Sandiwara Radio akan kembali berjaya? Sekian.

*: Penikmat Sandiwara Radio dan Penulis Naskah Sandiwara Radio.Opini Pribadi

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!