24.5 C
Jakarta

Mengawal Janji Pemimpin

Baca Juga:

Oleh Miqdad Husein
Direktur Eksekutif Gerbang Informasi Pemerintahan (GIP)

Wa awfuu bil’ahdi innal’ahda kaana mas uulaa

Dan penuhilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawaban. (QS. 17: 34)

Setiap pelaksanaan pemilihan pemimpin baik Pileg, Pilpres maupun Pilkada di negeri ini selalu terasa dasyat. Kasus Pilkada Jakarta merupakan contoh paling aktual betapa luar biasanya Pilkada di negeri ini. Energi masyarakat tersita tak hanya masyarakat Jakarta, dari daerah lain pun terseret atmosfir panas Pilkada Jakarta.

Info dan data berseliweran. Kampanye negatif mewarnai pesan pendek. Jejaring sosial marak saling serang, saling serbu, saling maki, saling menjelekkan dan saling-saling yang lain. Walhasil ada semangat, kegairahan termasuk amarah dan ketegangan luar biasa.

Masing-masing pendukung berupaya mempengaruhi orang lain agar berpikir dan bersikap sama. Tak jarang fanatisme begitu mengental tanpa ada ruang sedikitpun bersikap terbuka menerima informasi maupun data objektif dari pihak lain.

Fenomena bergairah ini ternyata bukan monopoli rakyat biasa. Di kalangan para elite pun sikap membanggakan berlebihan merebak. Kadang begitu bersemangatnya, tokoh yang tergolong elite mempromosikan jagoannya, lupa posisi dirinya lalu bersikap dan berpikir seperti kekanak-kanakan. Mereka yang seharusnya mencerdaskan melalui pemikiran jernih justru menebarkan distorsi informasi menyesatkan. Rakyat yang seharusnya diajak berpikir dan memilih secara cerdas dibelenggu pikirannya, diarahkan berpikir memakai kacamata kuda.

Rakyat bukan diberikan penjelasan panjang lebar apa visi misi pemimpin. Apa program yang akan dikerjakan saat terpilih. Rakyat lebih dijejali informasi tentang keburukan dan kejelekan lawan politik bahkan tak jarang menfitnah, memanipulasi data. Yang berkembang akhirnya aora kebencian. Seseorang dikondisikan memilih pemimpin karena membenci pemimpin yang lain; bukan bersikap arif memilih pemimpin karena menyukai konsepsi, visi misinya. Tak ada kesadaran dan pemahaman bahwa pada saat nanti terpilih seorang pemimpin, siapapun dia, akan menjadi pemimpin seluruh rakyat; bukan lagi pemimpin dari para pendukungnya sendiri.

Yang menarik dan layak dicermati, sering gairah pada semua kalangan itu tampak saat menjelang kampanye. Lalu pasca kampanye dan pemilihan suasana bergairah turun drastis. Semua berubah berjalan datar. Seakan persoalan kepemimpinan selesai.

Jika suasana sejuk berkembang sebagai wujud kesediaan sikap menerima hasil pemilihan, tentu sangat baik. Artinya, masyarakat bersikap dewasa menerima hasil apapun dari pelaksanaan kompetisi yang sebelumnya berlangsung bergairah itu. Masyarakat menerima siapapun yang terpilih lalu melupakan suasana panas yang berkembang sebelum pelaksanaan pemilihan.

Namun sangat berbahaya jika penurunan kegairahan melepaskan perhatian pada persoalan kepemimpinan. Sikap itu sama saja membiarkan mandat kepemimpinan berjalan tanpa semangat mengawasi pemimpin terpilih. Sebuah ruang terbuka kemungkinan penyalahgunaan kepemimpinan secara tak langsung dibiarkan melebar. Pemimpin dibiarkan berjalan sendiri tanpa diawasi, diingatkan dan diluruskan.

Menggampangkan

Dalam setiap proses pemilihan pemimpin di negeri ini, baik legislatif, Pilkada maupun Pilpres ada kecenderungan masyarakat terjebak sikap euforia sesaat. Ada kecenderungan masyarakat hanya asyik menjelang serta saat pelaksanaan pemilihan saja seakan persoalan pemilihan pemimpin itu selesai dan tuntas usai mencoblos atau mencontreng di bilik suara. Seakan begitu keluar dari biliki suara, tak ada tanggungjawab lagi bagi para pemilih. Terputus hubungan pemilih dengan orang-orang yang dipilih.

Pemilih di sini merasa tugasnya sudah selesai lalu sepenuhnya pada tahap berikut menjadi tanggungjawab orang-orang yang terpilih atau para pemimpin yang sudah mendapat kepercayaan. Masyarakat seakan tak memiliki lagi tanggungajwab apa dan bagaimana kinerja pemimpin yang dipilih ketika menjalankan tugas kepemimpinannya.

Alih-alih pengawasan bahkan kadang para pemilih sama sekali tak memiliki ikatan dengan pemimpin yang dipilih itu. Masyarakat pemilih dan pemimpin terpilih seperti membiarkan membentangkan jarak pasca proses pemilihan. Rakyat lupa apa yang dijanjikan pemimpin, para pemimpinpun lupa memenuhi janjinya yang diteriakan saat kampanye.

Inilah bibit pertama mengapa banyak terjadi penghianatan kepemimpinan di negeri ini. Para pemimpin tidak hanya melupakan kepentingan rakyat, bahkan asyik memuaskan nafsu kepentingan dirinya dengan berbagai tindakan merugikan kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat tidak diurus, diabaikan, hak-hak rakyat dijarah, dimanipulai, dikorupsi untuk kepentingan dirinya. Tak usah heran jika proses pemilihan kepemimpinan di negeri ini seperti sama sekali jauh dari meninggalkan jejak memberikan manfaat, perubahan pada nasib rakyat. Satu-satunya yang berubah adalah nasib dan hidup pemimpin terpilih yang karena mendapatkan fasilitas serta perilaku korup kehidupan ekonomi menjadi jauh lebih baik. Nasib dan hidup pemimpinlah yang menjadi lebih baik. Sementara rakyat tak mengalami perubahan bahkan kalau toh berubah justru makin nestapa.

Langgam Baru

Dengan proses hubungan kepemimpinan memiliki jarak lebar antara pemimpin dan rakyat sulit berharap ada dinamika perbaikan kehidupan rakyat secara keseluruhan. Tak ada bangunan konsistensi kometmen serta mekanisme memberikan tekanan kepada seorang pemimpin untuk sungguh-sungguh bekerja demi kepentingan rakyat. Yang terjadi justru ruang-ruang terbuka penghianatan kepemimpinan, sebagaiamana banyak terjadi di negeri ini.

Sekedar catatan sampai ini ada sekitar 340 kepala daerah yang diproses hukum karena diduga melakukan tindak pidana penyalahgunaan kekuasaan. Mereka yang mencapai angka lebih dari 50 persen kepala daerah di seluruh Indonesia itu, dari kasus yang menjeratnya sudah tergambar jelas jauh dari kemungkinan memikirkan tentang rakyat. Mereka asyik masyuk merubah nasib diri dan kroninya menghalalkan segala cara menjarah uang rakyat.

Dari rentetan rekam jejak buram kasus para pemimpin di negeri ini, sudah saatnya masyarakat merobah cara pandang dalam menyikapi kepemimpinan. Rakyat sudah saatnya menjadi subyek kepemimpinan; berperan aktif, progresif serta kritis pada seluruh proses kepemimpinan bila berharap ada perubahan penting setiap pemilihan pemimpin.

Pertama, bagaimana rakyat sejak awal berpikir cerdas, arif dan teliti mengenal serta memahami track record seorang pemimpin. Mereka yang ingin dipilih diteliti, dicermati, diuji kometmen moralnya. Jika ternyata masih belum meyakinkan siapa yang layak dipilih, Islam memberikan instrumen sholat istikharah, siapa yang layak dipilih sebagai pemimpin.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan.” (QS. 5:57)

Instrumen ini menjadi pilihan pamungkas ketika disadari betapa di era informasi dan komunikasi seperti sekarang ini mudah sekali ditemukan proses pencitraan. Calon pemimpin direkayasa tampil tanpa cacat, terkesan kredibel hanya karena kecanggihan proses pengelolaan pencitraan. Demikian pula proses pembusukan tokoh tertentu kadang begitu mudah merebak melalui fitnah, insinuasi dan sejenisnya.

Kedua mengembangkan kesadaran tanggungjawab pilihan. Bahwa memilih tak sekedar hanya mencontreng atau mencoblos dalam durasi satu sampai lima detik. Memilih merupakan proses yang harus bertitik tolak dari rasa tanggungjawab pilihan, mencari yang terbaik. Bahwa ketika memilih disadari ada sesuatu yang diharapkan agar lebih baik dari orang-orang yang dipilih sebagai pemimpin.

Memilih seseorang di sini tak sekedar hanya karena terpaku pada penampilan, gaya, fisik apalagi sekedar ikut-ikutan trend. Memilih merupakan penyerahan sebagian dari hidup kepada seorang pemimpin dengan harapan dikelolo agar lebih baik. Dengan demikian memilih benar-benar memerlukan kesungguhan dan keseriusan karena yang dipertaruhkan adalah nasib rakyat sendiri.

Ketiga mengawasi pemimpin. Bahwa memilih pemimpin tidak berarti membiarkan semua tanggungjawab kepemimpin kepada orang yang dipilih. Selesai memilih rakyat tidak lantas sama sekali tidak memiliki tanggungjawab jawab kepemimpinan. Baik pemimpin maupun rakyat yang dipimpin memiliki tanggungjawab. Perbedaannya, pemimpin sendirian, rakyat yang dipimpin bertanggungjawab secara kolektif. Pemimpin menjalankan rakyat mengawasi, mengkrititisi kinerja pemimpin.

Mengawasi pemimpin terpilih agar berjalan di rel janji yang diteriakkan selama kampanye bahkan lebih wajib digairahkan dan dilakukan ketimbang yel-yel menjelang pemilihan. Jauh lebih banyak dibutuhkan energi dan perhatian pasca pemilihan ketimbang sebelumnya. Jika kegairahan sebelum pemilihan rendah misalnya, pengaruhnya tak akan seberapa. Namun bila semangat mengawasi pasca pemilihan rendah, dampaknya akan langsung dirasakan seluruh rakyat negeri ini.

Semangat seperti itulah yang perlu didorong agar bangsa ini tidak mengulang kesalahan sama terbelenggu rezim Orde Baru begitu lama. Pemimpin harus diawasi dan didorong agar konsisten pada janji politiknya; agar kesejahteraan dan kepentingan rakyat menjadi prioritas. Bukan justru terjebak kepentingan pribadi dan kelompok.

Ada baiknya kita mengingat pesan tegas Umar bin Chattab yang mengatakan bahwa seringkali, kedzaliman seorang pemimpin berlanjut lama karena mereka yang dipimpin kurang berani mengawasi, mengoreksi, mengkritik. Rakyat memang harus mengawal dan mengawasi serta kalau perlu menuntut janji-janji para pemimpin.***

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!