DI luar bangunan bekas pabrik tekstil di dekat kota Huddersfield, Inggris utara, acap terlihat truk-truk berhenti dengan muatan sampah barang-barang elektronik (e-limbah). Begitu sudah di dalam pabrik, barang-barang tersebut disortir dan dimasukkan ke dalam mesin-mesin besar dan terdengar suara berdenting saat mengupas kawat atau menumbuk logam.
Itulah sepenggal gambaran kesibukan di pabrik milik Electrical Waste Recycling Group (EWRG) atau Kelompok Daur Ulang Sampah Elektrik. Dengan melibatkan ratusan pekerja yang terbagi ke dalam sejumlah tim, mereka memereteli komponen-komponen berharga pada bangkai berbagai perangkat elektronik yang dikumpulkannya dari pedagang, perusahaan, dan tempat pembuangan sampah.

Bahan-bahan seperti tembaga direduksi menjadi partikel dan dilebur. Baterai disortir dan diisolasi sehingga tidak mengalami hubungan pendek dan terbakar. Setelah dikemas, dijual kepada pedagang logam dan akhirnya menemukan jalan untuk memasukkannya ke pabrik dan menjadi produk-produk baru.
Di antara mereka, terdapat salah satu tim yang khusus bekerja secara sistematis membongkar bangkai TV jadul. “Ketika kita mengadakan tur sekolah, banyak anak mengatakan bahwa mereka belum pernah melihat salah satu TV tua ini sebelumnya,” ungkap Manajer Kepatuhan EWRG, Jane Richardson, dalam artikel tentang daur ulang sampah elektrik pada laman DW.com.
Anak-anak sekolah, menurut dia, cukup akrab dengan layar datar mutakhir. Tetapi, mistifikasi mereka pada model TV tua adalah bukti begitu cepat teknologi memasuki rumah-rumah keluaarga modern.
Fenomena Gunung Es
Ikhtiar EWRG mendaur ulang sampah elektronik tersebut baru merupakan langah kecil. Sebab, realita sampah elektronik sejatinya seperti fenomena gunung es.
Fasilitas daur ulang di Huddersfield mendapat sekitar 8.000 metrik ton e-limbah setiap tahun. Tapi, ini bagai setetes air di lautan dibandingkan dengan lebih dari 44 juta metrik ton e-limbah yang dihasilkan setiap tahunnya di dunia berdasarkan perkiraan PBB.
Tidak semua e-limbah pula dapat dimanfaatkan kembali. “[Smartphone] sebenarnya sangat sulit didaur ulang dan pada akhirnya produsen tidak terlibat dengan komunitas daur ulang. Mereka tidak tertarik lagi pada produk yang sudah kedaluarsa,” kata Shaun Donaghy, direktur operasi EWRG.
Kalangan aktivis lingkungan menilai, e-limbah telah menjadi masalah global. Dan, memang, semakin canggih perangkat elektronik yang membanjiri pasar dunia, semakin sulit untuk didaur ulang. Di sisi lain, penambangan sumber daya alam untuk bahan baku elektronik terus berlangsung dan meninggalkan kehancuran lingkungan.
Terselip di dalam ponsel, tablet, laptop, atau bahkan TV banyak bahan berharga. Sebagian besar, ketika jadi rongsokan atau barang usang, tersembuyi harta karun yang terkunci dalam rangkaian komponen dan hanya bisa dicampakkan ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
“Saat ini, sebagian besar elektronik memiliki kehidupan linier, bukan lingkaran; perangkat digunakan dan kemudian dalam beberapa tahun, sebagian besar menjadi sampah,” kata Elizabeth Jardim dari Greenpeace.
Menurut laporan Greenpeace 2017, energi yang dikonsumsi setiap tahun dalam produksi smartphone alias ponsel pintar naik dari 75 terawatt-jam (TWh) pada 2012 menjadi sekitar 250TWh pada 2016. Ponsel jenis ini juga mengandung rare earth atau tanah jarang yang mengandung elemen kimia yang diekstraksi dengan label harga tinggi dengan berbagai cara.
Elemen Berharga dan Langka
Sebuah laporan baru oleh British Royal Society of Chemistry (RSC) menemukan bahwa rata-rata smartphone mengandung 30 elemen berbeda. Perkiraan lain menyebutkan jumlahnya dalam beberapa model kelas atas sebanyak 75 elemen. Tantalum, itrium, galium, indium, dan arsenik yang tekandung di dalamnya adalah semua bahan utama yang sumbernya dapat habis dalam 100 tahun sehingga berangsur langka.
Indium, misalnya, sangat penting untuk layar sentuh dan panel surya. “Ini adalah salah satu elemen paling langka di Bumi — produk sampingan dari penambangan seng. Untuk mendapatkan beberapa miligram Indium, kamu harus menambang satu kilogram seng,” ungkap Elisabeth Ratcliffe dari RSC.
Mengekstrak endapan yang sukar dipahami tersebut sangat mahal, membutuhkan banyak energi, dan meninggalkan limbah beracun. Sebagian besar tanah jarang itu hasil tambang di Cina, tempat sumber air di Jiangxi, Mongolia Dalam dan Shandong telah tercemar limbah beracun.
Tanah jarang adalah kategori spesifik dari 17 mineral berbeda. Seperti bahan teknologi kunci lainnya — kobalt, timah, tungsten, tantalum, dan emas — mereka juga dikaitkan dengan operasi eksploitatif yang menggunakan pekerja anak dan konflik dana di Afrika, serta menimbulkan penyakit pernapasan di antara penambang.
Limbah Listrik mampu memulihkan bahan seperti tembaga, aluminium, timah, kaca dan plastik dari telepon pintar, tetapi bahkan ini menantang: Penggunaan perekat yang kuat daripada sekrup membuat mereka sulit untuk dibongkar.
Memisahkan unsur-unsur rare eart yang murni untuk dapat digunakan kembali, juga memiliki kesulitan tersendiri. Dalam hal ini, memerlukan proses kimia yang rumit dan mahal dan di luar kemampuan pabrik EWRG di Huddersfield.
Sejauh ini diperkirakan hanya 1 persen dari rare eart yang dapat didaur ulang. Para ilmuwan sedang mencari cara lebih efektif untuk memulihkan bahan berharga tersebut.
Peran Konsumen dan Produsen

Di sisi konsumen, ada alternatif untuk merek smartphone besar. Fairphone, misalnya, mencoba mencari bahan yang lebih berkelanjutan dan merancang produk dengan masa pakai lebih lama dan mudah diperbaiki.
Tetapi, langkah itu memunculkan pesimisme atas harapan produk elektronik yang ramah lingkungan. Pasar yang habit dengan desain mutakhir, banyak tidak sadar kandungan komponen kimia di dalam pinsel pintarnya.
Hal itu membuat perusahaan-perusahaan terkemuka seperti Apel dan Samsung terperangkap dalam produksi perangkat smartphone yang rumit dan sarat elemen kimia. Dan, ini menambah kesulitan dalam untuk didaur ulang.
“Jadi, ide perubahan (ramah lingkungan) yang didorong oleh konsumen hampir merupakan konsep yang tidak berarti. Adalah produsen yang berada dalam posisi untuk mengubah kimia itu,” kata Josh Lepawsky, yang memetakan limbah elektronik, dari University of Newfoundland, Kanada.
