“Saya perkirakan Pemilu besok akan bermuara di MK, karena itu saya harus netral,” ujar Prof Dr Mahfud MD.
Beliau adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, yang melahirkan banyak tonggak konstitusi. Lewat putusan-putusannya.
“Punya sikap netral itu memang punya resiko,” katanya. “Waktu saya bela Rocky Gerung saya dianggap pro 02. Di waktu yang lain saya dianggap pro 01,” tambahnya.
Sambil terkekeh. Seperti biasanya.
Saya memang menemui beliau tiga hari lalu. Untuk membicarakan banyak hal. Terutama perlunya orang-orang yang berintegritas tinggi tampil. Di level pembuat keputusan. Agar negeri ini lebih baik.
Saya menilai pak Mahfud termasuk orang yang integritasnya sangat tinggi. Tapi Pak Mahfud sendiri menyebut ada beberapa orang lagi yang integritasnya sangat tinggi. Dan memiliki kadar keilmuan yang baik di bidangnya. Yang selama ini belum mendapat kesempatan menduduki level pembuat keputusan.
Setelah berdiskusi itu saya pun membuat kesimpulan: Pak Mahfud tidak ingin apa pun lagi. Yang sifatnya kedudukan.
“Kalau Pemilu ini bermuara di MK harus ada orang yang bisa didengar pendapatnya. Dan orang itu harus netral,” tambahnya.
‘Netral’ bagi Pak Mahfud bukan berarti harus menjauh dari pihak-pihak yang berseberangan. ‘Netral’ baginya adalah membuka diri bagi keduanya.
Karena itu ketika saya datang beliau pun menerima. Padahal seminggu ini saya memutuskan untuk tidak netral. Khusus dalam sikap politik. Bukan dalam berjurnalistik. Atau yang lain-lain.
Pun ketika Ustadz Yusuf Mansur datang, pak Mahfud menerimanya. Padahal ustadz itu sudah agak lama tidak netral: memihak 01.
Diskusi saya dengan Pak Mahfud pun menjadi bisa sangat profesional. Ketika saya tanya apakah foto kami itu bisa disiarkan, beliau malah bilang: “Saya sendiri pun akan menyiarkannya”.
Dan ternyata benar. Beliau meng-upload foto itu. Di akun Twitter beliau. Sebaliknya saya. Tidak mengunggah foto itu di akun Twitter saya. Tentu.
Saya kan tidak punya Twitter lagi. Entah mengapa Twitter saya raib. Pekan lalu. Yang followernya lebih dari 2,2 juta itu. Saya coba hidupkan lagi. Dengan followers baru. Baru beberapa jam sudah diraibkan lagi.
Ya sudah.
Pun seandainya Twitter itu masih ada, saya tidak akan mengunggahnya di situ. Itu tidak baik. Di saat saya tidak netral seperti kemarin itu.
Karena itu saya juga tidak mengunggahnya di akun Facebook. Atau akun Instagram saya.
Bahkan saya tidak marah akun Twitter itu diraibkan.
Saya juga bersyukur bisa menjaga DI’sWay ini. Untuk tetap independen. Untuk tetap mengemukakan akal sehat. Sejak sebelum Rocky Gerung menjadi orang top sekarang ini.
Saya pun biasa saja. Ketika beberapa jam setelah kedatangan saya itu pak Mahfud menerima ustadz Yusuf Mansur. Saya pun bisa membayangkan apa yang diucapkan pak Mahfud kepada Ustadz YM.
Intinya saya bersyukur. Masih ada orang yang memilih netral. Di tengah pergulatan terkeras seperti ini.
Saya juga bersyukur untuk yang lain: Pak Mahfud benar-benar mengunggah foto kami berdua.
Dengan demikian, semoga tidak ada lagi yang salah: yang saya dikira Pak Mahfud dan Pak Mahfud dikira saya.
Kami berdua sering mengalami hal-hal itu.
Saya sering disapa sebagai Pak Mahfud. Di mana-mana. “Ternyata Pak Mahfud lebih populer dari saya,” kata saya dalam hati. Saya tidak pernah meluruskan kesalahan mereka. Biarlah saya dikira Pak Mahfud. Biar saja.
Pak Mahfud, seperti yang bisa kita ikuti di akun Twitter beliau, juga begitu. Saat masuk restoran beliau disapa sebagai Dahlan Iskan. Beliau juga tidak meluruskannya.
Padahal kan jelas berbeda. Lihatlah fotonya. Umur kami selisih 10 tahun. Saya yang lebih tua.
Hari ini pemilu lewat. Saya pun kembali netral. Bagi saya tidak sulit. Ketidaknetralan saya kan baru seminggu.
Pun semua orang. Sebaiknya kembali netral. Termasuk yang sudah berbulan-bulan tidak netral.
Penulis: Dahlan Iskan