Pagi baru saja menyapa, ketika embun masih setia menempel di daun-daun dan udara dingin menyelimuti Pasar Melati. Pasar yang sejak aku kecil, hingga sekarang sudah lulus kuliah di perguruan tinggi di Pulau Jawa, telah memberikan banyak kehidupan bagi warga di kota kecil di Sumatra.
Di los tiga, seorang ibu paruh baya dengan kerudung lusuh tengah sibuk menata sayur-mayur segar di atas lapak kayu miliknya. Dari dulu, penampilan sederhananya selalu begitu. Kenangan itu, masih sama sampai kini. Usia paruh baya nya pun, seakan-anak tidak menua lagi.
Namanya Bu Siti. Sejak subuh, ia sudah menempuh perjalanan sejauh delapan kilometer dari desa sebelah, dengan memanggul keranjang berisi bayam, kangkung, dan daun singkong hasil kebun kecil di belakang rumah. Semua hasil kebun yang ditanamnya sendiri.
“Pagi, Bu Siti!” seru Raka, seorang pemuda tangguh yang membantu ibunya berjualan tempe dan tahu di los yang sama.
“Pagi, Nak. Alhamdulillah, masih diberi napas untuk jualan lagi,” jawab Bu Siti dengan senyum ikhlas yang menyembunyikan lelah.
Pasar tradisional itu memang bukan tempat yang megah. Atapnya bocor di sana-sini, dan genangan air sering muncul kalau hujan datang. Tapi bagi para pedagang seperti Bu Siti, tempat itu adalah harapan. Setiap lembar uang seribuan yang mereka dapat, adalah hasil keringat dan perjuangan yang tidak bisa diukur dengan kemewahan.
Di tengah pasar, ada Pak Darto, penjual buah yang setia bersiul sambil mengelap apel-apelnya. “Hidup ini soal sabar dan syukur,” katanya suatu hari saat Raka mengeluh soal sepinya pembeli. “Selama kita mau bangun pagi, bekerja jujur, rezeki itu akan datang, meski tak selalu banyak.”
Suatu ketika, kabar menyebar bahwa pasar tradisional itu akan digusur dan diganti dengan minimarket modern. Para pedagang gelisah.
“Kalau pasar ini tutup, kami ke mana?” tanya Mak Uum, penjual ikan asin dan bumbu dapur.
Namun, mereka tak menyerah. Dengan semangat kebersamaan, Raka menginisiasi petisi bersama dan mengajak pedagang lain menyuarakan nasib mereka. Ia membuat akun media sosial untuk mengenalkan wajah-wajah para pejuang pasar: Bu Siti si petani kecil, Pak Darto si perayu buah, Mak Uum si penguasa ikan asin. Wajah-wajah tulus yang selama ini tersembunyi di balik bau pasar dan suara riuh tawar-menawar.
Kisah mereka viral. Banyak orang datang berbelanja ke Pasar Melati. Mahasiswa, ibu rumah tangga, bahkan influencer. Pemerintah daerah akhirnya memutuskan untuk merenovasi, bukan menggusur, pasar itu. Pasar yang telah memberi kehidupan dan kenangan bagi mereka yang mendapatkan rezeki di sana. Mereka membangun drainase yang layak dan atap baru, tanpa mengusik para pedagang lama.
Hari itu, saat matahari bersinar hangat di atas los tiga, Bu Siti menatap langit sambil tersenyum. “Rezeki memang bukan soal banyaknya, tapi soal berkahnya.”
Dan di tengah aroma cabai segar dan tumpukan tomat yang merah ranum, semangat itu terus hidup. Sebab pasar bukan hanya tempat jual beli—ia adalah nadi kehidupan, tempat orang-orang kecil bermimpi dan berjuang dengan kepala tegak.
Renovasi
Sejak direnovasi, Pasar Melati tak lagi becek dan suram seperti dulu. Langit-langitnya kini terang oleh lampu-lampu LED yang ramah lingkungan, dan lorong-lorongnya lebih lebar untuk memudahkan para pembeli. Tapi satu hal yang tak berubah: semangat para pedagangnya.
Bu Siti kini tak lagi berjualan sendirian. Ia dibantu oleh cucunya, Anya, gadis kelas 3 SMP yang libur sekolah dan memilih ikut neneknya ke pasar. “Biar aku bantu, Nek. Kata guru, pengalaman itu guru terbaik,” ucapnya sambil menata ikat bayam dengan rapi.
Anya mulai belajar cara menyapa pelanggan dengan sopan, bagaimana menimbang dengan jujur, dan betapa pentingnya senyum tulus dalam berdagang. Ia bahkan mencatat semua transaksi dalam buku kecil, menggantikan metode neneknya yang masih mengandalkan ingatan. Meski perubahan kecil, namun itu telah memberi pengalaman baru bagi pedagang pasar.
Di sisi lain pasar, Raka semakin aktif membantu para pedagang tua. Ia membuat pelatihan digital sederhana untuk mengajarkan bagaimana memotret dagangan dengan menarik dan mempostingnya di media sosial. Tak butuh kamera mahal, cukup HP jadul asal niatnya ada.
“Kalau kita nggak bergerak maju, kita bisa ketinggalan,” katanya sambil mengajari Pak Darto cara memposting foto mangga harum manis ke akun Instagram @PasarMelatiAsri. Tak disangka, postingan itu viral dan mendatangkan pembeli dari luar kota.
Suatu hari, datanglah Bu Ratna, seorang dosen dari kampus ekonomi setempat. Ia tertarik dengan transformasi Pasar Melati dan ingin menjadikannya studi kasus kewirausahaan lokal.
“Kita ingin tahu bagaimana orang-orang kecil ini bertahan di tengah arus modernisasi,” ucapnya pada para pedagang saat forum diskusi di aula pasar yang baru dibangun.
Bu Siti, dengan suara pelan tapi mantap, berkata, “Kami memang kecil, tapi kami tidak pernah menyerah. Setiap hari adalah perjuangan, tapi juga kesempatan. Kami hanya ingin hidup dari hasil keringat sendiri, dengan cara yang halal dan bermartabat.”
Kata-katanya membuat semua orang di ruangan terdiam. Tidak ada yang bisa menyangkal: keberadaan mereka adalah bentuk nyata dari semangat Indonesia yang tak pernah padam.
Ahad pagi, pasar kembali ramai. Anak-anak berlarian mengejar balon, suara musik keroncong mengalun dari sudut pasar, dan senyum para pedagang menyambut pembeli dengan tulus.
Bu Siti menepuk bahu Anya. “Lihat, Nak. Pasar ini bukan cuma tempat jualan. Ini sekolah kehidupan.”
Dan di atas los tiga, mentari kembali bersinar, menyinari setiap wajah yang percaya bahwa kerja keras dan kejujuran selalu punya tempat di dunia yang terus berubah.
