JAKARTA, MENARA62.COM – Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ristek Nadiem Anwar Makarim mengatakan berpuasa merupakan praktik beragama yang dijalankan oleh banyak umat tidak hanya agama Islam meski cara dan waktunya berbeda. Karena itu, penting bagi semua umat untuk menjaga toleransi antar sesama, terlepas dari latar belakang agama dan golongan.
“Teman-teman kita beragama Hindu juga berpuasa wajib di hari besar. Jelang Paskah, teman-teman Kristen juga beribadah puasa. Oleh karena itu, toleransi adalah nilai karakter yang harus dijalankan sebagai bagian hidup kebangsaan,” kata Mendikbudristek pada webinar bertajuk “Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi” yang digelar oleh Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek, pada Sabtu (8/5).
Selain Mendikbudristek, hadir sebagai narasumber antara lain Yenny Wahid (Direktur Wahid Foundation), Habib Husein Jafar Al-Hadar (tokoh agama) dan Abdul Arsyad (Komika). Tercatat lebih dari 8000 sahabat karakter ikut dalam webinar tersebut.
Menteri Nadiem yakin bahwa kita semua ingin menjalankan ibadah dengan tenang dan belajar tanpa paksaan, serta menjalin pertemanan dengan siapa saja. “Tanamkan dalam benak kita rasa cinta terhadap perbedaan, lalu tularkan pada sekitar kita, agar semua orang punya hak yang sama dalam beragama, belajar, dan berkarya. Mari sama-sama kita wujudkan Indonesia yang bebas dari intoleransi yang akan mengakslerasi kemajuan bangsa kita,” imbau Mendikbudristek.
Menurut Menteri Nadiem, pendidikan harusnya bebas dari intoleransi. Karena kreativitas, nalar kritis, dan inovasi hanya dapat berkembang jika peserta didik dan pendidik seluruh Indonesia belajar dengan merdeka tanpa paksaan dan tekanan, itulah esensi Merdeka Belajar.
Senada dengan itu, tokoh agama yang akrab dikenal generasi muda Habib Husein Jafar Al-Hadar mengungkapkan bahwa puasa mengajarkan kemanusiaan dan toleransi. “Puasa mengajarkan kita untuk lapar. Agar meskipun kita kuat beli makanan, kita rasakan sebulan ini beratnya jadi orang lapar. Kita belajar untuk tidak tega membiarkan orang lapar, selama kita masih bisa membantu,” ujar Habib Husein.
Habib Husein juga menekankan pentingnya penghayatan iman dalam berpuasa. “Kita belajar tidak mudah marah pada orang lain. Ciri orang sukses puasa adalah bertakwa. Ciri orang bertakwa, kata Allah dalam surat Al-Imran, adalah tidak mudah marah, memaafkan orang lain yang membuat dia marah, dan bukan hanya itu saja, tapi malah memberi sedekah kepada orang yang membuat dia marah,” tutur Habib Husein.
Selain itu, Habib Husein menyatakan bahwa di Surat Al-Baqarah telah dijelaskan bahwa puasa diwajibkan seperti kaum-kaum sebelum kamu. “Tadi Mas Menteri sudah menjelaskan, agama apapun ada puasanya. Bahkan puasa, sejak zaman Nabi Nuh sudah ada, walau berbeda bentuk, cara, dan waktunya. Tapi dari sini kita belajar, kita ini ada persamaannya walau berbeda agama. Ayo kita fokus pada persamaannya, jangan mengumbar perbedaannya, agar persaudaraan makin erat. Kita cari titik samanya, jangan cari titik bedanya,” imbau Habib Husein.
“Kita berbeda dalam cara dan waktu puasanya. Itu kebenarannya. Tapi, dalam kebaikannya kita sama. Sama-sama diajarkan berpuasa untuk menumbuhkan empati sosial kepada orang yang membutuhkan. Kata Allah: ‘Fastabiqul Khairat’. Berlomba-lombalah dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Tidak usah merasa saya lebih benar daripada kamu, lalu berdebat. Namun, taruhlah kebenaran di hati. Yang penting output-nya yanng ditampilkan, yaitu kebaikan pada sesama,” jelas Habib Husein.
Komika Abdur Rasyad yang tampil menghibur audiens pada sore ini juga mengaku bahwa dirinya memiliki pengalaman sedih ketika merantau ke Pulau Jawa untuk menuntut ilmu. “Saya diejek karena punya logat tertentu,” ucap pemuda asal Nusa Tenggara Timur ini.
Namun, ia pun menyadari, dirinya pernah menjadi pelaku perundungan ketika dulu ada siswa suku lain yang tinggal di daerahnya. “Dulu, ketika mengalami dihina, rasanya ingin bertengkar. Tapi, saya belajar untuk berdamai dengan itu semua,” jelas Abdur.
Ia menyalurkan pengalamannya itu menjadi bahan tulisan yang kemudian ia kembangkan menjadi prestasi sebagai seorang komedian panggung (stand up comedy). Abdur pun mengimbau agar generasi muda lebih saling merangkul dan menghargai perbedaan yang ada.
Habib Husein pun juga pernah mengalami perundungan. “Saya keturunan Arab dan pernah mengalami jadi ras minoritas di sekolah. Dulu juga saya sedih dan marah. Tetapi ini mengajarkan saya berempati dan mengubah perilaku jadi lebih saling mengerti dan menerima perbedaan,” terang dia.
Sebagai contoh, beberapa bentuk intoleransi di dunia pendidikan adalah: tidak memberi sarana prasarana bagi guru, siswa, mahasiswa, dan dosen karena perbedaan SARA dan kepercayaan, melarang ibadah agama tertentu di lingkungan sekolah atau kampus, dan memaksa pemakaian seragam atau atribut khas agama atau suku dan kepercayaan tertentu. Selain itu, menolak pendaftaran pendidik dan peserta didik karena alasan perbedaan SARA juga merupakan bentuk intoleransi.
Indonesia Negeri Ekspresi Agama
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menyatakan keprihatinannya akan intoleransi yang terjadi di sekolah-sekolah. “Kita sering lupa akan nikmat kita tinggal di Indonesia,” ujar Yenny yang menjelaskan bahwa hal serupa tak mudah ditemui di sejumlah negara.
“Pekerjaan saya mengharuskan saya bepergian ke banyak negara. Ada suatu negara yang bahkan umat agama apapun, tidak boleh mengenakan atribut keagamaannya di ruang-ruang publik seperti rumah sakit dan sekolah,” jelas Yenny.
Ia mengakui, di berbagai negara memang banyak represi terhadap ragam ekspresi keagamaan yang ditemui oleh berbagai pemeluk agama apapun. “Sementara di sini, pemerintah biasa membangunkan rumah ibadah untuk masyarakat. Di luar negeri, orang melihat keadaan negara kita itu kaget dan bingung,” tambah Yenny.
Menurut Yenny, ini karena Indonesia punya ikatan suci Pancasila. “Pancasila ini menyatukan seluruh warga NKRI, di mana semua orang dapat mengekspresikan kebebasan beragamanya. Janganlah kita rusak dengan praktik-praktik intoleransi, justru harus kita kuatkan agar semua orang makin menghargai Pancasila,” imbau Yenny.
Menyikapi pertanyaan salah satu pendidik, yaitu Guru SD Negeri 5 Duhiadaa, Gorontalo, bernama Thahira Wahyuni tentang upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk mengurangi intoleransi di kalangan pelajar di era digital, Yenny mengakui bahwa para guru punya tugas berat karena bukan digital native, artinya tidak lahir di zaman teknologi 4.0 ini.
“Saya pun gagap, sementara anak-anak kita sejak lahir sudah pegang gadget,” ucap Yenny. “Namun yang paling utama adalah kita harus menguatkan nilai, baik di sekolah maupun bekerjasama dengan orangtua di rumah agar anak-anak tumbuh dalam sikap menghargai perbedaan dan memperlakukan orang lain dengan baik,” jelas Yenny.
Menurut dia, kalau nilai yang tertanam pada anak-anak sudah kuat, maka anak dapat diajari menghormati orang lain yang berbeda pendapat dan keyakinan. “Perbedaan pendapat, keyakinan politik, keyakinan agama, semuanya adalah fitrah manusia. Kita dilahirkan memang berbeda-beda. Perbedaan itu adalah rahmat yang harus disyukuri sebagai nikmat. Namun, peran pendidik memang amat besar. Saya tahu tugas Bapak dan Ibu berat sekali. Sebagai orangtua, kami hanya bisa mendoakan para pendidik diberikan kekuatan oleh Allah agar dapat mendidik anak-anak kita supaya ber-akhlakul karimah,” ujar Yenny.
Kita sebetulnya sudah sering bicara tentang toleransi dan saling rukun menghargai. Tapi kenyataannya, kasus-kasus intoleransi terus terjadi di sekitar. Ini karena belum ada kebijakan yang langsung mengarah kepada pencegahan atau penanganan kasus intoleransi. Dan ironisnya, cukup banyak praktik intoleransi di sekolah dan kampus, yang seharusnya jadi tempat belajar cara menghargai perbedaan lewat pertemanan dan pelajaran di kelas. Maka, kami bertekad menghapuskan seluruh tiga dosa besar dunia pendidikan, yaitu: intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan,” jelas Mendikbudristek.
Yenny mengatakan, Allah menciptakan manusia dengan jenis kelamin, suku, dan bagsa berbeda, bukan untuk saling memusuhi dan megucilkan, tapi untuk saling mengenal satu sama lainnya. Kita diciptakan menjadi instrumen Rahmatan Lil’Alamin di dunia ini.
Senada dengan itu, Habib Husein menguraikan, “Berbuat baik pada semua orang adalah salah satu prinsip dalam islam, Rahmatan Lil’Alamin. Rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya sesama Muslim, tapi semua manusia yang beda agama dan juga semua makhluk hidup. Kita diajarkan konsep ukhuwah insaniyah, yaitu persaudaraan sesama manusia, karena siapa yang bukan saudara dalam agama, adalah saudara dalam kemanusiaan. Dan juga ukhuwah makhlukiyah, yaitu persaudaraan sesama makhluk Allah. Ini adalah pahala besar di sisi Allah SWT. Kita harus berpuasa, membangun kemanusiaan, dan saling bertoleransi,” ucap Habib Husein.
Webinar juga dimeriahkan penampilan spesial Raef, seorang musisi, penyanyi, dan penulis asal Maryland, Amerika Serikat. “Thank you Pusat Penguatan Karakter for inviting me to this beautiful program. We’re oceans apart, but alhamdulillah for the chance to spend sometime with you here. I really miss Indonesia,” ujar Raef yang dapat berkata-kata dalam Bahasa Indonesia. Ia mengakui dirinya beruntung sudah pernah berkunjung ke 140 kota dan kabupaten di Indonesia. “InsyaAllah, after this pandemic ends, I will visit Indonesia again,” harap Raef.
Ia pun menunjukkan peta Negara Bagian Maryland yang merupakan tanah airnya di Amerika Serikat. Namun, uniknya, di atas peta Maryland ia memajang peta Indonesia. “Ini untuk mengingatkan saya akan Indonesia, rumah saya yang jauh dari rumah,” jelas Raef.
Kapuspeka Hendarman pun mengapresiasi para pengisi acara. “Kita belajar banyak dari Habib Husein dan Abdur, walau dengan canda-canda yang membuat kita terbahak-bahak. Mereka menyadarkan kita untuk mengedepankan sikap toleran dalam lingkungan keluarga dan bermasyarakat. Tindakan intoleran harus kita pinggirkan dan tuntaskan. Tidak boleh ada. Itu semua di mulai dari dunia pendidikan. Ini tantangan besar kita,” jelas Hendarman.
“Gerakan penuntasan intoleransi harus jadi salah satu prioritas Kemendikbudristek seperti disampaikan Mas Menteri. Di samping itu, kita juga harus menuntuskan perundungan dan kekerasan seksual, yang semuanya kita rajut dalam narasi Tiga Dosa Besar dalam Dunia Pendidikan. Kita menginginkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman. Ini harapan kita semua agar kemanapun kita berada, kita lebih aman dan nyaman untuk berkarya bagi negara kita,” ungkap Hendarman.
Menurutnya, kita juga sudah belajar bahwa umat berbagai agama menjalankan puasa. Maka, puasa juga dapat memupuk tumbuh kembang persaudaraan. Seluruh pemangku kepentingan pendidikan berperan menghayati makna kemanusiaan dalam agama yang ia peluk. “Dalam semangat Ramadan, semoga kita makin toleran dan saling meyayangi tanpa membeda-bedakan SARA. Kita harap pendidikan Indonesia lebih baik dengan mengedepankan sikap toleran dan menjunjung tinggi Bineka Tunggal Ika,” harap Hendarman.