Oleh: Nurhira Abdul Kadir
Saat memulakan tulisan ini, saya sedang duduk di teras depan ruangan supervisor. Tiga belas menit yang akan datang, saya membuat janji akan berjumpa beliau.
Janjian itu, sudah dibuat sejak minggu lalu. Dalam dua pekan ke depan, supervisor saya akan pergi berlibur selama tiga minggu penuh. Saat berlibur, tentu akan sulit menghubunginya. Di samping kendala jaringan karena dia akan mengunjungi pelosok-pelosok Spanyol, tentu sebagai pelajar, kita juga harus tahu diri untuk tidak mengganggu beliau saat menikmati haknya untuk berlibur.
Namun begitu hari ini saya minta waktu untuk bertemu. Ahad lalu, sebenarnya saya juga sudah bertemu beliau. Pertemuan pertama. Dia minta agar saya datang ditemani seorang kawan Indonesia yang kebetulan juga bersama dalam bimbingannya. Seorang dosen dari UPI.
Kami bertiga ngobrol cukup lama di pertemuan pertama. Beliau menanyakan tentang keluargaku dan kapan mereka akan datang. Mengajarkan hal-hal teknis tentang bertahan hidup dengan dana tipis di Australia. Membawa saya jalan-jalan di kampus, menunjukkan ruangan dan gedung yang perlu saya kenali dan hal lainnya yang sebenarnya membuat saya merasa sangat merepotkan beliau.
Lalu, hari ini apa? Saya “pura-pura” minta ijin bertemu beliau untuk hal yang sebenarnya dapat saya selesaikan dengan mudah di pertemuan pertama. Hanya saja, saya ingin bertemu beliau sesering mungkin. Dan alasannya kali ini adalah, demi menyerahkan selembar sarung. Kiriman dari ibu saya, kataku mempertegas aspek emosional di dalamnya.
Tentu, sebagai perempuan dan ibu, beliau akan paham bahwa melaksanakan perintah ibu adalah hal yang sifatnya sarat pesan. Dan hampir tidak boleh baginya menolak pemberian seorang ibu.
Pemberian ini bukan suap menyuap. Tetapi membangun hubungan. Apalah arti selembar sarung yang dapat beliau beli dengan uang dari gajinya yang berlipat-lipat jika dibanding gaji dosen Indonesia. Tapi sebab ini pemberian ibu saya, salam hormat dari ibu saya, maka hubungan ini saya harap terbangun lebih dari pada guru murid, tetapi lebih bernuansa. Hubungan guru dan murid yang kuharapkan akan terjalin bahkan lebih dari rentang 3-4 tahun meraih gelar PhD, tapi seumur hidup.
Saat saya tiba, pintu ruang kerja beliau terbuka dan saya lihat kursinya kosong. Saya berdiri menunggu di luar pintu. Beberapa staf yang lewat menyapa menawarkan bantuan, apa saya perlu sesuatu. Saya sampaikan, sedang menunggu sang supervisor. Mereka memberitahukan jika sebelumnya sang supervisor terlihat, dan mungkin hanya ke toilet atau ruangan lain. Mereka sangat perhatian dan siap menolong.
Saat berdiri di sana dengan seliweran tawaran bantuan dari hampir setiap yang lewat, saya teringat tiga sesi orientasi yang saya jalani pekan lalu sebagai mahasiswa baru. Orientasi pertama adalah O week. Sifatnya sangat informal. Ada stand-stand dari berbagai unsur dalam universitas. Klub ekskul, layanan konseling, perbankan, kelompok keagamaan, dan bahkan sampai stand perusahaan coklat Cadbury juga ada. Cadbury membagikan coklat gratis dengan pesan: berbagi coklatlah dengan seseorang yang berarti dalam hidupmu.
Setiap orang boleh mampir ke setiap stan dan ngobrol dengan penjaga stan. Selepas itu, pengunjung diberikan sekantong hadiah. Di salah satu stand, saya keluar dengan kantong berisi berbagai benda; pembalut, tisu basah, tisu kering, sabun. Ada juga sampe tiga biji alat kontrasepsi pria. Koq alat kontrasepsi? Ya, rupanya terselip juga leaflet tentang kesehatan reproduksi untuk mahasiswa di dalamnya.
Sesi kedua, sehari setelah O week, berupa orientasi dari universitas untuk pelajar yang bergenre riset, PhD dan MPh. Ini cenderung sesi serius. Orientasi yang sangat padat karena dalam tempo satu jam, kita dihadapkan tak kurang dari 8 pembicara. Sekitar 5-7 menit setiap orang. Jadi tidak ada yang bicara bertele-tele. Setiap pembicara tiba di lokasi dengan sangat terukur, sekitar 5 menit sebelum giliran mereka bicara. Dan setelah menutup materi, mereka bergegas pergi dari ruangan, tak ada acara seremonial ini itu.
Materinya berupa sambutan pimpinan universitas, informasi layanan yang ada di universitas mulai dari perpustakaan, klinik, klub, layanan pendampingan untuk riset mahasiswa dan lain lain. Ada juga pihak kepolisian bersama security. Mereka menjelaskan apa apa yang perlu dilakukan jika kita merasa terancam saat ada di kampus. Komplit.
Saat acara snack pasca orientasi, Dave, seorang staf dari fakultas datang menjemput saya ke lokasi orientasi universitas. Rupanya, orientasi fakultas segera akan dimulai. Mereka khawatir saya tersesat dan tidak menemukan lokasinya, jadi saya dijemput ke lokasi orientasi universitas. Pelayanan yang luar biasa.
Kami jalan cukup jauh sebelum tiba di lantai 2 sebuah gedung besar. Gedung 21, di bawahnya ada ruang bermain yang besar untuk anak anak yang juga merangkap laboratorium research tentang tumbuh kembang anak. Orientasi fakultas berjalan dalam suasana setengah formal setengah santai. Rupanya dari sekian belas nama pelajar yang terdaftar akan ikut orientasi, yang datang hanya 4 orang, saya, 2 orang dari Arab Saudi dan seorang dari Inggris.
Orientasi ini intinya hanya satu, pesannya seragam, yaitu, meyakinkan mahasiswa bahwa, perjalanan belajar yang dijalani ini berat, tetapi kita jangan sampai merasa sendirian. Pertolongan ada di mana-mana. Minta tolong, sebelum minta tolong terlalu terlambat.
Saat saya duduk melanjutkan tulisan ini, saya telah selesai bertemu sang supervisor. Beliau setengah terpekik melihat hadiah ibu saya, sarung tenun hijau warna kesukaan beliau, menurut pengakuannya. Kami pun ngobrol 1 jam 12 menit 54 detik.
Sepulang dari sana, tas saya menggembung oleh banyak hal; pulpen, klip, stabilo, penjepit, buku diari. Datang lagi besok, katanya, kami baru memesan stationary dan besok baru akan diantar.
Selain benda-benda itu, saya juga terbungkuk-bungkuk membawa buku dan e-book yang dia print khusus untuk saya selagi kami ngobrol. Saya merasa sangat-sangat merepotkan. Tetapi supervisor saya bilang, tidak. Menurut beliau, saya harus menikmati surga kemudahan belajar selama di Australia.
Alhamdulillah, saya bersyukur atas pengalaman ini. Saya pikir, mungkin ada manfaatnya menceritakan ini siapa tahu dapat menginspirasi untuk membuat model orientasi mahasiswa baru yang lebih menarik di Indonesia. Terlebih lagi, bulan depan tentu masa orientasi mahasiswa di tanah air sudah akan mulai. Mudah-mudahan tak ada korban jatuh akibat model orientasi yang disetting seperti perpeloncoan.
Hal lain, mudah-mudahan saya bisa menggunakan waktu sebaik-baiknya selama di sini. Dan tidak menyia-nyiakan investasi yang rakyat telah amanahkan untuk pendidikan saya di tempat ini, amin.
(Nurhira Abdul Kadir, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar, dan mahasiswa program doktoral University Wollongong, Australia)