JAKARTA, MENARA62.COM–Pada suatu sore di sebuah rumah sederhana, antara bapak, ibu, dan anak tengah bercengkerama tentang kehidupan sehari-harinya. Anaknya yang gadis sedang gila-gilanya menari dengan tarian khasnya yang telah sering ditonton oleh khalayak di atas panggung yang berbeda-beda. Sore itu, Tjitjih, seorang perempuan asal Sumedang, dijemput oleh pimpinannya dalam kelompok sandiwara, yaitu Abubakar Bafagih untuk berkeliling ke beberapa daerah bersama kelompok yang dipimpinnya. Perjalanan pun dimulai dari daerah ke daerah lainnya guna menghibur masyarakat dengan tarian bersama kelompok bernama “Opera Valencia” pada tahun 1926.
Pada tahun 1928 kelompok seni “Opera Valencia” tersebut diganti menjadi “Miss Tjitjih Tonil Gezelschap” dan memulai babak barunya dengan hijrah ke kota Jakarta yang waktu itu masih kental dengan nama Batavia. Tjijtih tetap menjadi primadona di antara kelompok seni tersebut hingga dikenal seantero tanah Batavia bahkan ke daerah lainnya. Sebelum hijrah ke Jakarta, kelompok tersebut bukan tidak pernah mengalami lika-liku kegelisahan pada saat perjalan seninya di beberapa daerah di Jawa Barat. Tetapi, semua itu dijalani dengan mimpi yang besar hingga Jakarta mewujudkan mimpi yang juga mimpi seorang Tjitjih pada waktu itu.
Pada tahun 1939 kelompok sandiwara Sunda “Miss Tjitjih” harus menerima duka yang dalam. Seorang primadona kelompok seni tersebut telah dipanggil oleh-Nya untuk pulang selama-lamanya. Nyi Tjitjih meninggalkan panggung untuk selamanya pada saat memerankan cerita “Gagak Solo” di atas panggung. Semua pemain dan penonton berduka atas perginya Nyi Tjitjih, sang primadona waktu itu. Tak hanya itu, penonton pun yang tengah menonton pertunjukan itu seakan terbawa pada sebuah kejadian masa lalu yang telah merenggut nyawa Nyi Tjitjih. Gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki seakan menyaksikan duka tersebut melalui isak waktu malam tadi (26/04/2017). Penonton pun menyaksikan bahkan menjadi pemeran duka malam itu.
Nyi Tjitjih harus pergi, namun namanya telah melekat dan menjadi sebuah cerita abadi hingga saat ini diabadikan pada sebuah nama gedung kesenian di daerah Jakarta Pusat, yaitu Gedung Kesenian Miss Tjitjih. Akhir dari perjalanan hidup Nyi Tjitjih adalah awal dari kehidupan kelompok sandiwara Sunda yang sampai saat ini tetap berjuang melawan diva-diva baru dalam sebuah perjalanan waktu.
Pentas malam tadi adalah napak tilas perjalanan kelompok sandiwara Sunda “Miss Tjitjih” ke-89 tahun. Pentas tersebut disutrdarai oleh Imas Darsih, salah seorang dari kelompok sandiwara yang telah beberapa tahun ditetapkan sebagai sutradara pada kelompok seni tersebut. Napak tilas tersebut mengajak penonton dan juga pemerintah untuk menjaga dan membantu keberlangsungan seni kelompok tersebut yang dirasa selalu berada di tengah-tengah jalan. Hal itu disampaikan langsung oleh ketua yayasan “Miss Tjitjih” Tubagus Rasanuddin, yang telah beberapa tahun menjadi ketua yayasan sesaat sebelum pentas napak tilas dimulai. “Keberlangsungan hidup dan kemajuan kesenian Miss Tjitjih berada di tangan pemerintah juga para hadirin yang hadir mala ini maupun di luar sana,” ucapnya.