Sekitar 4.500 tahun yang lalu, siluet Stonehenge di Inggris, yang terkenal itu mungkin akan terlihat sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Arkeolog Mike Pitts seperti yang dilansir situs BBC.COM, terus menggali sejumlah petunjuk tentang misteri batu-batu yang telah lama hilang di lingkaran ini.
Jika kita berdiri di Stonehenge pada pertengahan musim dingin, di akhir bulan Desember, saat matahari terbenam, akan bisa melihat peristiwa yang menakjubkan – asalkan langit cerah. Posisikan diri di antara Heel Stone yang tinggi dan terpencil serta lingkaran batu, dan lihatlah ke arah barat daya melalui megalit.
Apa yang dilihat? Dalam kegelapan yang semakin pekat, megalit-megalit ini tampak seperti tembok besar yang runtuh, dengan cahaya oranye yang memancar dari celah-celah vertikal. Pada saat-saat terakhir, ketika sang surya menghilang dari jendela yang dibentuk oleh dua batu vertikal besar dan ambang pintu horizontal yang menopangnya. Gelap dan dingin langsung merasuki kulit. Stonehenge, rasanya, telah menelan sang surya.
Sudah sejak lama, para pakar dan tentu saja arkeolog sudah meneliti batu-batu peninggalan era megalitikum ini. Sejumlah arkeolog yang mengamati keselarasan ini, memang seperti sepakat bahwa semua struktur itu bukanlah suatu kebetulan. Semua ini dirancang oleh para pembangun monumen.
Namun, seandainya kita dapat melihat drama pembangunan itu pada sekitar 4.500 tahun yang lalu, tontonan ini akan menjadi lebih mengesankan. Garis balik matahari ditandai oleh sebanyak enam pasang batu tegak lurus. Dari yang terbesar di antaranya – batu yang paling tinggi dan diukir paling halus di situs ini – sekarang hanya tersisa satu megalit yang dikenal sebagai Batu 56.
Tonjolan yang menonjol di bagian atas batu ini dulunya dipasang pada ambang pintu raksasa. Sekarang, tonjolan itu terekspos dan tidak berguna. Dan masih banyak lagi batu-batu tegak seperti ada yang hilang.
Apa yang terjadi dengan batu-batu yang hilang ini? Siapa yang memindahkannya dan ke mana perginya? Bagaimana kita bisa tahu bahwa mereka pernah ada di sana? Dapatkah kita membayangkan seperti apa Stonehenge ketika pertama kali selesai dibangun? Atau apakah pembangunannya memang pernah selesai? Itulah sejumlah pertanyaan yang seringkali meloncat dalam pikiran para ahli dan orang awam selama berabad-abad silam.
Sampai saat ini, tidak ada yang bisa menjawab semua pertanyaan itu dengan pasti. Namun, pencarian yang panjang dan aktif telah membawa sejumlah arkeolog menemukan jawaban yang mungkin lebih dekat. Melalui survei, penggalian dan studi geologi telah membantu memperjelas – terkadang dengan cara yang paling mengejutkan – salah satu teka-teki besar Stonehenge: apakah hanya itu yang ada di sana?
Saat orang mengunjungi Stonehenge saat ini, apa yang dilihat hampir sama persis dengan apa yang terlihat saat rencana akurat pertama kali dibuat pada tahun 1740 oleh John Wood, arsitek terkemuka ketika itu. Sketsa realistis pertama berasal dari abad ke-16, dan meskipun sketsa-sketsa tersebut tidak terlalu detail, kesan yang muncul adalah tidak banyak yang berubah. Tapi jangan tertipu. Setengah dari batu-batu tersebut telah dipindahkan dari posisinya semula.
Pemindahan itu terjadi antara tahun 1901 dan 1964, ketika pihak berwenang khawatir bahwa megalit akan menimpa para pengunjung. Kekhawatiran itu beralasan. Ketika itu, beberapa batu besar telah lama ditopang dengan kayu, dan ambang pintu miring yang tampak membahayakan. Banyak tiang-tiang penyangga yang diluruskan dan dipasang dengan beton, dan beberapa tiang yang diketahui pernah jatuh di masa lalu telah dipulihkan lagi.
Berbeda
Monumen ini seperti sengaja diamankan agar terlihat seperti saat direkam pertama kali oleh John Wood. Namun penggalian arkeologi yang dilakukan bersamaan dengan pekerjaan teknik mengungkapkan Stonehenge yang lain dan berbeda. Untuk pertama kalinya, muncul pemikiran dan ada bukti bahwa tidak semua batu masih berada di posisinya semua.
Pemikiran seperti itu pertama kali dikemukakan pada tahun 1666 oleh John Aubrey, penulis biografi dan ahli purbakala, yang melihat adanya lima “rongga di tanah” tepat di dalam tepian melingkar dan parit yang mengelilingi batu-batu yang ada saat ini dari kejauhan. Semula dia mengira lubang-lubang tersebut tercipta akibat pemindahan megalit, yang menunjukkan bahwa dulunya pernah ada lingkaran batu luar seluas 85 m yang sekarang hilang sama sekali.
Penggalian di daerah tersebut pada tahun 1920-an mengungkapkan, adanya sebuah lingkaran sempurna yang terdiri dari 56 lubang (dengan asumsi jarak yang teratur melalui area yang belum digali) yang sekarang dikenal sebagai Lubang Aubrey. Ada dua cincin lubang yang tak terduga lainnya, ditemukan lebih dekat dengan batu-batu yang ada. Pada saat itu, disimpulkan bahwa tidak ada satupun yang menyimpan megalit, meskipun baru-baru ini beberapa arkeolog berpendapat bahwa Lubang Aubrey sebenarnya merupakan sisa-sisa lingkaran batu yang luas.
Pemugaran
Pemugaran dan penggalian dilanjutkan pada tahun 1950-an dan 60-an, ketika itu ada lebih banyak lubang yang terkubur ditemukan. Kali ini, lubang itu ditemukan diantara batu-batu yang masih berdiri. Lubang-lubang dalam dua setengah lingkaran yang bersarang rapat kemungkinan besar menyimpan megalit kecil, dan lubang-lubang lainnya mengindikasikan bahwa batu-batu ini diturunkan dan ditata ulang – dengan penambahan lebih banyak batu – dalam bentuk oval dan lingkaran konsentris.
Kedua bentuk ini kemudian disesuaikan untuk membentuk susunan lingkaran dan tapal kuda yang sekarang, dimana banyak batu-batu yang telah hilang. Pada tahun 1979, penggalian oleh arkeolog menemukan sebuah lubang di samping Batu Tumit. Di bagian bawahnya terdapat kapur yang telah dihancurkan oleh beratnya sebuah batu besar, yang akan melengkapi megalit saat ini.
Penemuan yang sama sekali tidak terduga bagi seorang arkeolog muda – dibuat di tepi jalan saat orang-orang berkumpul untuk festival pop Stonehenge yang saat itu terkenal – yang telah memengaruhi cara berpikir sejumlah arkeolog tentang situs ini sejak saat itu.
Para arkeolog, tidak pernah menganggap remeh apa pun. Dengan Batu Tumit, batu yang hilang akan menciptakan sepasang batu di kedua sisi garis balik matahari – untuk membingkai, memandang ke arah timur laut, Matahari yang terbit di pertengahan musim panas.