Oleh Ashari, SIP*
KITA lahir di dunia bukan tanpa tujuan. Kita lahir di dunia bukan kehendak sendiri. Meski kita harus berjuang dengan jutaan sel sperma untuk dapat dibuahi sel telur (ovum), akhirnya kita-lah yang jadi pemenang (the winner). Namun kita harus siap dengan konsekuensi dari yang menciptakan kita, yakni Allah SWT. Apa itu? Ternyata hanya satu, yakni supaya kita beribadah kepada-Nya. Itu saja. Firman Allah dalam QS-Al-Dzariyat -51 : “Dan tidak semata-mata Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada –Ku,”. Dengan membaca teksnya saja kita langsung dapat membaca apa maksud Allah dengan kehadiran kita di dunia yang hanya sekali-kalinya ini. Yakni Ibadah.
Dengan beribadah-lah maka nilai manusia menjadi bermakna di mata Allah SWT. Begitu juga di mata manusia. Ibadah adalah proses penghambaan total seorang hamba kepada sang Khalik dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Dalam pengertian lain itulah orang-orang yang bertaqwa.
Namun dalam perkembangannya kita sebagai manusia dituntut dalam beribadah tidak boleh ngawur, sesuai selera hati. Ada 4 kriteria agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT, sehingga Allah ridha kepada kita. Sebab apa gunanya kita capek beribadah, sementara dalam pandangan Allah SWT, dianggap sebagai hal yang sia-sia. Laksana pasir di atas batu yang licin, kemudian ditimpa hujan yang deras, maka pasir itu akan lenyap dengan seketika, tanpa bekas. Itulah gambaran amal yang tidak diridhoi oleh-Nya.
Pertama- Iman. Ibadah harus dilandasi Iman. Ini harga mati. Tidak bisa ditawar lagi. Amal sholeh sebaik apapun kalau tidak beriman kepada Allah, maka percuma. Dalam pandangan orang lain, mungkin kita akan dikenang sebagai orang yang dermawan, baik hati dan tidak sombong, hingga disanjung-sanjung. Namun dalam pandangan Allah, sia-sia. Rukun Iman ada 6. Kita yakini, pahami dan tidak boleh sepotong-potong alias utuh. Maka Iman ibaratnya kalau kita menjemur pakaian adalah “centelan”-nya.
Firman Allah swt dalam QS.An-Nahl(16):97 – Barang siapa yang beramal shalih baik laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan mukmin (beriman), maka akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami balas mereka dengan balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Subhanallah. Ibadah kita bisa jadi kurang sempurna, namun Allah tetap akan balas dengan yang lebih baik.
Kedua – Ikhlas. Mudah diucapkan. Mudah diseminarkan. Namun dalam prakteknya membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Tetapi bukan berarti tidak bisa sampai pada batas Ikhlas. Mengapa harus ikhlas? Karena merupakan ruh dalam beribadah kepada Allah SWT. Yang dikejar adalah ridha-Nya saja. Sanjungan, caci maki dan sejenisnya adalah akibat samping dari ibadah yang dilakukan dengan ikhlas. Untuk membuktikan apakah ibadah kita sudah benar-benar ikhlas atau belum, bisa dengan menggunakan tes sederhana: Apabila apa yang kita lakukan, dilihat orang ( teman, pemimpin, mertua, calon istri/suami atau siapapun ) atau tidak dilihat mereka: mempunyai kualitas yang sama. Bisa? Mari kita coba. Dalam pelajaran sekolah, tahapan tersebut disebut dengan sikap pribadi yang positip. Ada atau tidak ada orang yang melihat, tetap berbuat baik dengan kesungguhan.
Dalam QS. Al-Bayyinah (98):5 – Mereka tidak diperintah untuk beribadah kepada Allah swt dengan memurnikan ketaatan (Ikhlas) kepada-Nya. Jadi kata kuncinya adalah ikhlas. Konon ikhlaspun juga bertingkat-tingkat. Kita berada pada posisi yang mana? Namun yang jelas sudah ada upaya maksimal bahwa apa yang kita lakukan, hanya mengharap ridha-Nya saja. Contoh sederhana dalam sholat : Saat kita sholat sendiri di rumah, bisa jadi bacaan kita hanya An-Naas, Al Ikhlas, Al-Falaq. Memburu cepat. Namun ketika mendadak menjadi imam, bacaan kita menjadi Al-Bayyinah, Al-Ghasiyah, Al-Ala…padahal banyak jamaah tua-nya. Ini indikasi ibadah kita kurang ikhlas. Masih senang dipuji orang.
Ketiga – Sesuai Syariat Rasul. Ibadah yang sifatnya khusus (mahdhah) kita tidak boleh menambah atau mengurangi. Contoh rakaat Sholat, hitungan puasa. Karena dalil-nya sudah qad’i. Rasul bersabda : Sholu kamaa raitu muni ushali – Sholatlah kamu seperti, kamu melihat aku sholat. Namun untuk ibadah muamalah, yang sifatnya sosial, kita diberi kemerdekaan untuk melakukan eksplorasi diri. Makanya kita harus banyak belajar tentang sirah atau sejarah perjalanan nabi.
Keempat – Tahu Ilmunya. Ini tidak kalah pentingnya. Ibadah tanpa ilmu, akan terjebak kepada pemahaman “semaunya sendiri”. Apalagi kalau diri sudah merasa paling benar. Padahal Allah memberikan peringatan kepada kita, “Janganlah kamu ikuti sesuatu yang kamu tidak tahu ilmu tentangnya. Karena sesungguhnya pendengar, penglihatan, dan hati semua itu akan dimintai pertanggungjawaban,” (QS-Al-Isra-17:36 ).
Makanya menuntut ilmu hukumnya wajib ‘ain bagi orang beriman. Tidak bisa diwakilkan. Mau dunia dengan ilmu, mau akhirat dengan ilmu, mau keduanya juga dengan ilmu. Kurang apa coba? Jadi ibadah sebenarnya tidak susah kan?. Mari bersama menggapai ridha-Nya dengan ibadah yang benar. Sekian.
*Penulis Mengajar di SMP Muhammadiyah Turi Sleman