Muhammadiyah, Memayu Hayuning Bawono?
Pleno penetapan anggota Majelis/Lembaga di tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang menyusul hasil Muktamar ke-48 Muhammadiyah, memang menimbulkan berbagai spekulasi para aktivis Menteng Raya (kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jakarta-Red). Satu sisi, bagi para aktivis otentik, pantangan meminta-minta jabatan. Merekapun tidak juga melakukan lobi bak politisi. Namun, jika sudah diberi tugas dan jabatan, tak kan lari dari tanggung jawab tersebut. Itulah kader ideologis otentik Muhammadiyah.
Tarik menarik kubu Yogyakarta – Jakarta, ditambah poros Jatim (Surabaya), terlihat dari berbagai penempatan nama-nama beken dalam struktur Majelis/Lembaga. Penyebutan kubu ini, sekedar untuk memudahkan analisis saja. Meski sering tidak diakui, namun keriuhannya terdengar hingga pelosok desa dan ranting. Mungkin, bagi kader Persyarikatan, keriuhan ini melebihi kehebohan penyusunan Kabinet pemerintahan RI.
Jika Kabinet hanya memilih menteri, maka Presiden Muhammadiyah memilih secara sekaligus siapa Menteri, Sekjen, Dirjen, Deputi, hingga eselon 1 dan eselon 2. Sehingga dapat dimaklumi jika cukup banyak terjadi perdebatan dan tarik menarik kepentingan antar poros utama Yogyakarta – Jakarta.
Sebenarnya ada keengganan memberikan kritik terhadap kondisi internal Muhammadiyah yang dalam sejumlah ukuran penulis, bisa dikatakan mengalami kemunduran. Namun, kritikan ini, selalu saja dianggap berlebihan. Meskipun, rasanya tetap sah memberikan kritik pada Muhammadiyah dan sejumlah kadernya, sebagai ungkapan rasa cinta pada persyarikatan ini.
Meskipun, sebagai kader Muhammadiyah, lebih asyik menjadi penasehat tingkat ranting, di PRM Legoso, Ciputat. Sebagai kader di tingkat terendah dalam struktur organisasi Muhammadiyah, penulis,menjadi penasehat bersama Prof Yunan Yusuf. PRM ini, di nahkodai Ahsan Jamet Hamidi, dulunya aktivis Walhi dan kini aktif di the Asia Foundation (TAF). Selain itu, ada kegiatan PRM yang sedang coba dikembangkan, yaitu menjadi distributor pemasaran produk unggulan Susu Kambing Muhammadiyah.
Kritik pertama
Penunjukan Prof Muhadjir Effendi sebagai koordinator Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) jelas menimbulkan keanehan. Muhadjir sebagai Menteri PMK, seharusnya lebih tepat menjadi Koordinator yang membidangi Majelis Pemberdayaan Masyarakat, Majelis Lingkungan Hidup, dan Majelis Pembinaan UMKM. Meskipun, keputusan ini mungkin sudah dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Namun, karena di Muhammadiyah, kadernya dibiasakan untuk tidak sekedar pasrah bongkok’an, maka kritikan yang pedas sekalipun, idealnya tetap bisa diterima dengan lapang dada.
Selanjutnya, Buya Anwar Abbas yang dikenal sebagai Koordinator Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan pada periode sebelumnya, justru ditempatkan sebagai Koordinator yang membidangi Majelis/Lembaga yang lebih tepat diisi oleh Muhadjir Efendi. Sekali lagi, ini memang pandangan yang ingin menggugat, agar PP mempunyai lawan diskusi yang selalu bisa dengan lugas mempertanyakan keputusannya, agar bisa terjadi dialektika. Meskipun, mungkin saja kuping yang terkesan sasaran dan para pendukungnya akan panas. Sambil berharap, mereka merupakan ayahanda yang patut menjadi panutan, di semua situasi, termasuk ketika menghadapi kritik sambel uleg.
Masih seputar penempatan personil, ada keprihatinan bersama, ketika penyusunan Pimpinan dan Anggota Majelis Ekonomi & Kewirausahaan diwarnai drama yang sangat tidak berkelas. Masuknya nama Arif Budimanta sebagai Ketua MEK, jelas menimbulkan tanda tanya besar. Sosok Budimanta lebih dikenal sebagai sosok aktivis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia gagal masuk senayan, namun Budimanta sempat menjadi Wakil Ketua KEIN RI. Sekali lagi, mungkin saja ada pertimbangan luar biasa dari PP, yang belum diungkapkan ke kader persyarikatan yang masih terbengong-bengong dengan keputusannya ini.
Padahal, ada Dr Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB Ahmad Dahlan, dan Sekretaris MEK periode sebelumnya. Ia diturunkan menjadi Wakil Ketua. Sedangkan sekretaris MEK akhirnya diisi oleh seseorang yang tidak diketahui latarbelakang aktivismenya di Muhammadiyah. Paling tidak, sepanjang pengetahuan penulis, Sekjen MEK adalah sosok yang memiliki kedekatan pribadi dengan Muhadjir. Terlebih yang bersangkutan baru saja dilantik menjadi Sekjen Kemenko PMK.
Satu hal yang menyesakkan dada kader biasa, adalah berbondong-bondongnya kelompok yang masih menjadikan “HMI sebagai agamanya” merangsek masuk PP Muhammadiyah melalui MEK. Mereka lupa, bahwa ketika sudah masuk, melebur dalam tubuh besar persyarikatan Muhammadiyah. Seringkali, mereka lupa untuk segera melepas baju korps organisasinya dimasa lalu.
Disisi yang lain yang juga menjadi pertanyaan, ketika sosok Azrul Tanjung sebagai tokoh Majelis Ekonomi & Kewirausahaan PP Muhammadiyah, sekaligus Koordinator bidang Ekonomi MUI, justru ditempatkan sebagai Ketua Majelis Lingkungan Hidup. Sebuah penempatan yang sepertinya terkesan sangat dipaksakan. Terlebih, Azrul tidak sedikitpun memiliki rekam jejak sebagai aktivis Lingkungan Hidup.
Adalah ironi ketika pada tataran ini, prinsip-prinsip zaken cabinet tidak nampak terakomodasi dengan baik dalam mengisi struktur organisasi PP. Sulit menyingkirkan kesan, jika penempatan orang lebih pada hasil kompromi, ketimbang pada aspek keahlian di bidangnya masing-masing.
Kritik Kedua
Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) pindah home base dari Jakarta ke Yogyakarta. Padahal, isu politik yang menjadi inti dari keberadaan LHKP, seharusnya menjadi pertimbangan bahwa kedudukan LHKP berada di ibukota Negara. Mungkin dipertimbangkan untuk menyiapkan kantornya di Ibu Kota Nusantara.
Selanjutnya, penunjukan Ridho Alhamdi sebagai Ketua LHKP lagi-lagi terkesan begitu dipaksakan. Nama Ma’mun Murod AlBarbasy yang sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang sebelumnya digadang-gadang sangat layak menempati kursi Ketua LHKP, justru hanya dijadikan Wakil Ketua saja. Sudah begitu, penunjukan Sekretaris LHKP sama sekali tidak mempertimbangkan keseimbangan komposisi Yogyakarta-Jakarta. Sehingga, Ketua dan Sekretaris LHKP berasal dari kampus yang sama, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sebegitu miskinkah kader Muhammadiyah, sehingga Universitas Muhammadiyah lain yang hebat-hebat dan tersebar di seluruh pelosok tanah air, tidak kebagian.
Pakem bahwa LHKP berada di ibukota negara telah berganti. Begitu pula keseimbangan komposisi pengurusnya tidak lagi merepresentasikan pertimbangan yang bijaksana.
Jika LHKP ditarik pindah home base ke Yogyakarta, maka tidak demikian hal-nya dengan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM). Sekalipun koordinatornya Buya Anwar Abbas yang berkedudukan di Jakarta, MPM tetap dikondisikan bermarkas di Yogya. Syukur, kubu Jakarta memilih “mengalah” sehingga tarik menarik kepentingan aktivis Pemberdayaan tidak sampai terjadi. Meski sering diminimalisir wacananya, bahwa kubu-kubu itu hanya utopi, namun secara riil banyak diakui berbagai pihak.
Kritik Ketiga
Ustadz Zainul Muslimin, Ketua Lazismu Jatim yang kemudian terpilih sebagai Bendahara PWM Jatim mengungkapkan tentang aset produktif Muhammadiyah di Jawa Timur. Menurutya, saat ini sudah di atas Rp 5 triliun. Ini menjadi bagian pembicaraan ketika menghubungi penulis yang sedang berada di tol MBZ, saat dalam perjalanan menuju kota Ponorogo, untuk menghadiri Musywil Muhammadiyah Jatim.
Namun, yang menjadi keprihatinan banyak kader di bawah, saat ini teramat banyak guru dan karyawan Amal Usaha Muhammmadiyah yang hanya diberi honor Rp 200 ribu/bulan. Kondisi ini, jelas bukan lagi sekedar menyesakkan dada, tapi membuncah perasan galau dan menyakini ini sebagai bentuk kedhaliman Muhammadiyah terhadap abdi dalem-nya.
Disisi yang lain, kader persyarikatan menyaksikan, betapa PWM Jawa Timur atas nama dakwah lintas negara, terlihat begitu bersemangat untuk membeli sebuah gereja di Spanyol untuk dijadikan masjid. Apakah sedemikian urgentnya rencana tersebut, sehingga melupakan kewajiban mensejahterakan ahlul baitnya sendiri.
Dahulu mungkin pimpinan persyarikatan masih bisa membungkusnya dengan bahasa perjuangan dan komitmen keikhlasan. Namun, dengan asset produktif triliunan Rupiah, apakah kita tega membiarkan para guru dan karyawan AUM di pelosok desa, masih saja mereka berkutat dengan hidup seperti itu.
Belum lagi, jika kader biasa ini menyaksikan fenomena muhibah rombongan pimpinan AUM besar bepergian keluar negeri. Kondisi ini seakan bertolak belakang dengan fenomena masih banyaknya AUM dan ahlul baitnya yang perlu disantuni.
Tren ini, tentu saja sekilas bisa menunjukkan bahwa para pimpinan AUM besar hari ini, tidak sensitif dengan kondisi kader yang banyak sedang prihatin bahkan membutuhkan bantuan. Bagaimana akal sehat kita bisa mengeluarkan kritik pada anggota legislatif yang kunker ataupu hedonnya para ASN, jika ada sebagian dari kader yang kebetulan mendapat amanah di AUM besar, berbuat hal yang sama.
Jangan heran, kalau kader persyarikatan biasa ini merasakan ketidaknyamanan yang membuncah hingga ke kepala. Meskipun begitu bergemuruhnya dalam dada menyaksikan perilaku yang tidak punya rasa keberpihakan pada kaum papa, namun kepala tetap diusahakan dingin. Mungkin, hanya kata-kata lontaran yang bisa dikatakan agak serampangan yang bisa dikeluarkan, sebagai katarsis terhimpitnya dada.
Namun, kader biasa ini ini tetap berahrap semoga Muhammadiyah tetap baik-baik saja. Sedikit mundur untuk mengambil ancang-ancang melompat lebih maju.
Wallahu a’lam bi ash-showaab….
Penulis: Qosdus Sabil, Penasehat Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso-Ciputat, kader biasa Muhammadiyah
Editor: Imam Prihadiyoko