JAKARTA, MENARA62.COM– Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengkaji kembali kebijakan sekolah lima hari. Karena kebijakan tersebut dipastikan akan berpengaruh terhadap praktek penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola oleh swadaya masyarakat dan sudah berjalan cukup lama, bahkan sudah menjadi bagian dari bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
“Praktek pendidikan tersebut semisal madrasah diniyah dan pesantren yang biasanya kegiatan belajarnya dimulai dari pelajar sepulang dari sekolah umum,” papar Zainut Tauhid Sa’adi, Wakil Ketua Umum MUI dalam siaran persnya, Minggu (11/6/2017).
Menurutnya pendidikan dengan model madrasah diniyah dan pesantren selama ini telah memberikan kontribusi besar bagi penguatan nilai-nilai keagamaan, pembentukan karakter dan penanaman nilai-nilai akhlak mulia bagi anak didik.
Dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari dapat dipastikan pendidikan dengan model madrasah ini akan gulung tikar. Padahal keberadaannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
“Saya tidak bisa membayangkan berapa jumlah madrasah diniyah yang dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat akan tutup. Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ihlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila,” lanjutnya.
Kebijakan sekolah lima hari dalam satu pekan yang konon katanya merupakan bagian dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Sehingga setiap hari, pelajar akan menempuh pendidikan selama delapan jam.
Kebijakan tersebut diakui Zainut memang tujuannya bagus. Namun perlu dipikirkan ulang, apakah semua sekolah memiliki sarana pendukung untuk terciptanya sebuah proses pendidikan yang baik ? Seperti sarana untuk ibadah, olahraga, laboratorium, tempat bermain dan istirahat yang nyaman bagi pelajar, serta kantin yang sehat dan layak.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tersedianya jumlah pengajar yang cukup.
“Jika tidak ada sarana pendukung yang memadai dan pengajar yang cukup, alih-alih dapat terbangun suasana kegiatan belajar mengajar yang kondusif, anak didik bisa belajar dengan tenang, senang dan nyaman selama delapan jam. Justru yang terjadi adalah anak didik akan menjadi jemu dan stres,” tukas Zainut.
Karena itu, MUI meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Setidaknya kebijakan tersebut diberlakukan secara bertahap, selektif dan dengan persyaratan yang ketat. Misalnya hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai. Sedangkan bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung tidak atau belum diwajibkan. Serta kebijakan tersebut tidak diberlakukan untuk semua daerah dengan tujuan untuk menghormati nilai-nilai kearifan lokal.
“Jadi daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat,” tutupnya.