Oleh : Ashari, SIP*
Diskursus Sekolah 5 hari kerja mencuat kembali pada era Menteri Pendidikan Muhadjir Effendi. Pro dan kontra mengiringinya. Karena masing-masing mempunyai pandangan (angle) yang berbeda. Namun kemudian pemerintah mengambil jalan tengah, dengan memberikan kesempatan kepada sekolah-sekolah yang sudah siap untuk melaksanakan dengan infra struktur yang ada. Bagi sekolah yang belum siap, dapat melaksanakan program 6 hari kerja.
Guru di era Muhadjir Effendy
Dalam perjalanannya, Muhadjir juga mencoba meneruskan beberapa langkah yang sudah dilakukan oleh menteri sebelumnya Anies Rasyid Baswedan sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah eraJokowi. Di antaranya tenaga kependidikan (PTK), yakni upaya Anies yang akan memberikan perhatian kesejahteraan bagi para guru dan PTK ini, di samping akan dikuranginya beban administrasi guru akibat tuntutan tugas dan tanggunjawab yang ada. Selebihnya guru akan lebih banyak diikutsertakan dalam even pelatihan (diklat) agar mereka lebih profesionali. Anies Baswedan juga akan berusaha memutus mata rantai posisi guru honorer/kontrak yang kadang tidak jelas kapan akhir pengabdiannya. Kabar ini jika menjadi realitas, tentu menggembirakan dan melegakan.
Masyarakat PTK terus mengawal statemen Anies Baswedan ini. Kehadiran Anies sebagai tangan kanan Jokowi di bidang pendidikan diharapkan mampu menjawab tantangan yang tidak makin ringan. Pada bulan Oktober lalu dirinya mengatakan fokus untuk memperbaiki kekurangan di tiga bidang. Anies mengakui bahwa ketiga kebijakan tersebut sering menjadi pro dan kontra dan pembicaraan di masyarakat. Kebijakan tersebut adalah pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Kurikulum 2013 dan sertifikasi guru. Untuk melakukan evaluasi tersebut pada bulan November ini Anies telah menyatakan akan membentuk tim untuk mengevaluasi ketiga kebijakan tersebut.
Saya teringat ketika mengikuti MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran ) PPKn, Senin (21/4) di Gedung Yudhistira Yogyakarta ditambah Pelatihan Kurikulum 2013 ( K-13) di SMPN 1 Kalasan Sleman, ada beberapa catatan menarik yang perlu diangkat. Terkait dengan penerapan K-13, lebih khusus untuk pelajaran PPKn. Pertama soal profesionalisme guru yang makin dituntut, termasuk di dalamnya bagaimana agar guru dapat mengajar dengan menyenangkan dan mencerahkan diri dan peserta didik.
Kedua, Penambahan beban jam mengajar guru professional yang tadinya minimal 24 jam/minggu, kini menjadi 38 jam/minggunya. Ketiga, tuntutan guru untuk tetap mengerjakan RPP dan Silabus dengan runtut.
Kurikulum 2013 sendiri diterapkan secara langsung untuk tahun pelajaran 2014/2015 serentak untuk seluruh sekolah di wilayah Indonesia. Saat melakukan kunjungan ke SMU 87 Jakarta, Anies mendengarkan pengaduan dari para murid yang mengatakan bahwa beban pelajaran yang mereka terima sejumlah 16 mata pelajaran amatlah berat. Meskipun demikian Anies menolak anggapan bahwa Kurikulum 2013 akan diganti. Anies tidak ingin ada anggapan bahwa setiap ganti menteri pendidikan maka kurikulumnya juga berubah. Kurikulum 2013 yang diakuinya belum sempurna akan dievaluasi dan dicari kekurangannya serta disesuaikan agar lebih sempurna.
Tuntutan guru professional dalam dataran UU, seringkali berhadapan dengan kondisi real di lapangan, ketika guru harus berkecamuk dengan masalah-masalah internal, baik yang bersifat personal, administratif, maupun masalah dengan anak (peserta didik) sendiri. Misalnya bagi mereka yang belum PNS, meski sudah ada tunjangan sertifikasi, namun jumlah guru yang menikmati juga masih terbatas, artinya grafik yang belum mendapatkan jumlahnya lebih besar.
Meski pemerintah juga sudah mengapresiasi apa yang diinginkan oleh para tenaga edukatif ini, namun dirasa kurang maksimal. Dari mulai sertifikasi yang dinilai lamban dalam pencairan, rekrutmen guru honor yang karut marut. Sementara disisi lain guru dituntut untuk professional, komitmen dengan tugasnya dan tidak boleh melanggar HAM dalam mendidik.
Akumulasi persoalan ini diharapkan tidak membuat guru frustasi. Namun sebaliknya lebih semangat dan pantang menyerah. Tugas guru mengacu kepada UU Guru dan Dosen memang tidak hanya mengajar saja, namun ada komponen lain, seperti mendidik, membina, mengasuh juga melakukan evaluasi. Ada delapan tugas. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan, beban guru tidak bisa dilakukan dengan maksimal, seiring dengan tugas atau beban yang sifatnya administratif tersebut.
Kondisi real di lapangan rata-rata guru mengajar adalah 24 jam per minggu. Nanti menjadi 38 jam, belum ditambah dengan tugas-tugas sampiran lain dari sekolah yang juga menguras energi. Tugas ini sebagai bentuk back up dari tugas kepala sekolah yang biasanya membagi habis tugas dan kewenangannya. Misalnya wakil kepala sekolah bidang kurikulum, humas, sarana dan prasarana, Dia bertanggung jawab dengan pembelian barang sekolah dan sebagainya. Ada lagi guru yang diberi tugas tambahan mengurusi bagian khusus kesiswaan. Ada juga bagian kurikulum.
Menghadapi tugas tambahan dibidang administrasi yang makin kompleks dari penyiapan RPP, Silabus dan Pembelajaran dengan IT . Dalam hal ini harus diakui bahwa belum semua guru siap. Sementara tugas-tugas administrasi menuntut guru harus bersinggungan dengan IT, jika tidak, maka akan semakin kedodoran.
Sementara disisi lain, harus diakui juga bahwa data-data administratif ini sangat diperlukan bagi Dinas Pendidikan setempat untuk lembar evaluasi dan kebutuhan lainnya. Sebab tanpa data itu, dinas tidak mungkin bisa melakukan penilaian secara masif. Tentu berjenjang melalui kepala sekolah, pengawas, UPT dan seterusnya.
Guru di era Nadiem
Guru di era Nadiem Makariem bersamaan dengan pandemi Covid-19, sehingga penerapan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di lakukan. Konsekuensinya siswa, orang tua atau wali harus memiliki piranti HP Android yang menunjangnya. Jika tidak maka alternatif lainnya siswa bisa gabung dengan temannya yang jaraknya tidak berjauhan. Masalah lain muncul di lapangan adalah ketersediaan kuota dan jaringan yang kadang “ putus nyambungi”. Era ini menuntut orang tua juga harus melek teknologi. Karena mendampingi siswa belajar di rumah.
Perampingan administrasi, dilakukan di era Nadiem, yang dikenal dengan RPP satu lembar. Meski dalam praktek pembelajarannya tidak sesimple di RPP yang disusunnya. Harapan mas Menteri dengan adminsitrasi yang simpel, guru tidak terlalu dibebani. Sudaryanto MPd (Dosen UAD Yogyakarta ) menulis, kita sedang mengalami “Lompatan Budaya”. Urutannya sebelum masuk pada generasi virtual, maka kebiasaan membaca (reading habbit) digenjot dulu. Nah, ini, kita kebiasaan membaca masih rendah langsung harus menghadapi teknologi virtual yang tidak bisa dibendung. Akibatnya banjir informasi tak terelakkan, dan kedodoran menyaringnya.
Hingga Desember 2020 kedepan PJJ ini diuji cobakan. Karena sistem “buka tutup” masih menimbulkan dilema. Memunculkan klaster baru di masyarakat pendidikan. Kita harus ikuti ketentuan ini.
Langkah solutif
Pertama. Guru mau tidak mau harus membekali ketrampilan IT ( Teknologi Informasi) melalui pengetikan, penulisan menggunakan laptop dengan program win-wordnya diharapkan sudah menjadi makanan keseharian. Termasuk bagaimana membuat data-data program exel, juga penyampaian pemaparan di depan kelas melalui power point. Ketika siswa dikejar untuk terus belajar, maka guru juga tidak boleh kalah.
Kedua, Bersikap Akomodatif. Ini penting, pada saat sekolah memintanya untuk mengikuti pelatihan IT, biasanya dilakukan diluar jam mengajar, maka guru sudah selayaknya untuk menyambutnya dengan antusias.Karena berdasarkan pengalaman masih banyak diantara kita guru yang masih bermalas-malasan kalau diminta pelatihan. Apalagi diluar jam. Sebab kalau itu yang kita lakukan, maka lambat laun kita akan tersingkir sendiri.
Ketiga, Penambahan personel. Ini langkah terakhir, jika memang beban mengajar guru tidak dapat ditawar lagi. Maka sekolah musti mengambil kebijakan dengan penambahan personil dibidang administasi yang bertugas untuk memback up tugas guru tersebut. Hingga tugas utama mengajar guru tidak kedodoran. Dalam penambahan personel ini sekolah memang harus keluar cost tambahan.
Kita berharap banyak, Pemerintah melalui Menteri Pendidikan ini akan memberikan perhatian serius terhadap kinerja dan kesejahteraan guru dalam mengemban tugasnya yang memang tidak ringan, menyiapkan generasi emas, menuju Indonesia yang bermartabat. Sebagai langkah awal, guru juga musti memperbaiki diri dalam mewujudkan cita-citanya sebagai guru yang profesional dan berkarakter. Tanpa itu, akan sia-sia saja, bagai menegakkan benang basah. Sekian.
* Guru di SMP Muhammadiyah Turi Sleman DIY, Mengajar PPKn.