Oleh Roni Tabroni
Demam Nissa Sabyan dimana-mana. Ini seolah tahunnya Khoirunnisa (nama lengkapnya). Sabyan adalah grup Gambus tergolong pendatang baru. Dari hajatan-ke hajatan, Sabyan terus mencari bentuk. Hingga akhirnya “menemukan” Nissa yang kini menjadi iconnya.
Bagi generasi milenial, Nissa begitu digandrungi. Kehadirannya menjadi simbol pemersatu kaum muda. Kabar beberapa media sosial menyebut bahkan penggemarnya pun melintasi agama. Walaupun liriknya banyak berbahasa Arab, namun seolah menjadi mantra. Begitu membius.
Selain memiliki paras menarik, Nissa juga diapresiasi karena membawakan lagu-lagu positif. Walaupun menyanyikan lagu orang lain, namun di tangan Nissa lagu-lagu itu makin populer. Tidak ada masalah dan kendala dengan lirik yang tidak semua orang paham artinya. Di tengah gelombang Islam phobia, lirik berbahasa arab ala Nissa menjadi pembuktian. Pembuktian bahwa Islam menjadi rahmat, jika yang disuarakan adalah perdamaian, cinta kasih, dan hal-hal positif.
Nyanyian Nissa sebentuk dakwah kekinian. Dengan tetap keren, necis dan menawan, pelaku dakwah menyuarakan indahnya Islam. Jalan tarik suaran merupakan pilihan Nissa yang diakuinya sebagai tempat berlabuhnya aktivitas saat ini.
Namun setarikan nafas dengan Nissa Sabyan, jagat maya kita diratapi manusia di bumi atas meninggalnya Razan Al-Najjar. Razan adalah seorang dokter muda yang mengabdikan hidupnya untuk kemanusiaan. Dengan keahliannya di bidang medis, Razan rela berkeringat dan mengambil resiko terburuk di tengah desingan rudal para agresor Israel.
Jika ingin hidup senang dan bahagia, tidak ada yang sulit bagi Razan. Sebagai dokter, tidak perlu lari ke area konflik, kekayaan akan datang sendiri seiring kehadiran para pasien yang membutuhkan jasanya.
Namun tidak bagi Razan. Pilihan hidup generasi milenial ini lebih memilih mewakafkan diri dan keahliannya untuk mereka yang menderita. Di tengah perjuangannya membantu yang terluka Razan kemudian menjadi korban penembakan di Khan Younes. Ujaran inspiratifnya yang disampaikan sebelum tertembak adalah “aku malu jika tidak berada di garis depan untuk bangsaku”.
Ada lagi Rachel Corrie. Mahasiswa Amerika serikat ini melakukan hal yang tidak biasa. Remaja cerdas dan aktivis kemanusiaa asal Olympia-Washington ini sengaja datang ke Jalur Gaza untuk menjadi relawan di tempat sangat berbahaya bagi dirinya.
Corrie juga menjadi simbol kekejaman zionis Israel di Paleatina. Mahasiswa berusia 23 tahun ini memanfaatkan masa libur dan kemudian cuti kuliahnya untuk mengabdikan diri bagi anak-anak dan mereka yang menderita di tanah Palestina. Puncak perjuangannya ketika Corrie harus menghalau buldoser yang akan menyerang warga. Namun tanpa rasa kemanusiaan, tentara zionis menggilas tubuh Corrie.
Hingga kini, Corrie menjadi salah satu simbol kemanusiaan, dan namanya dikenang menggantikan nama kapal prokemanusiaan Mavi Marmara. Konon, di Palestina Corrie dikenang sebagai pahlawan kemanusiaan yang dicintai masyarakat.
Melengkapi kisah para pejuang muda ini kita akan melirik para remaja Amerika yang jengah dengan tindakan brutal penembakan di sekolah. Dikabarkan VOA pada 26 Maret 2018 oleh Karlina Amkas melalui saluran PR FM, para remaja Amerika melakukan demostrasi atas kekejaman yang semakin tahun semakin meningkat. 2017 merupakan angka tertinggi korban penembakan di sekolah dengan jumlah 58 orang.
Menariknya, generasi milenial ini berniat melanjutkan perjuangannya dengan ingin mengisi ruang parlemen. Targetnya adalah mengubah regulasi khususnya terkait kepemilikan senjata api. Mereka membayangkan Amerika ke depan yang damai tanpa senjata api yang didapatkan secara mudah.
Kilasan kisah generasi milenial yang memilih jalan hidup berbeda ini menginspirasi jutaan manusia seusianya di negeri ini. Menjadi pelajar, mahasiswa, atau berprofesi apapun, setiap generasi muda masih bebas menentukan jalan hidupnya. Selain menjadi seperti yang diinginkan, jalan hidup seseorang juga akan dipengaruhi oleh situasi sosial yang ada.
Di tengah kesibukan bersahabat dengan gedget, ada hambatan serius yang menghalangi. Alpanya masyarakat maya dalam ruang sosial, menyebabkan mereka tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Apatisme akut terhadap fenomena kehidupan nyata, menyebabkan mereka tidak mampu menghadirkan penderitaan orang lain di hati.
Mau jadi pejuang sosial, artis, atau politisi, setiap generasi muda penting mengambil benang merah dari beberapa contoh di atas. Yang muda yang berkarya, berkorban dan mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Bahwa menjadi pahlawan tidak perlu menunggu tua, melakukan berubahan tidak perlu dinanti-nanti. Apa yang bisa dilakukan saat ini, menjadi pembeda siapa kita di tengah generasi milenial yang gandrung teknologi dengan orientasi kepuasan pribadi semata.
(Roni Tabroni, MPI PP Muhammadiyah, Puncak Kawah Galunggung- Tasikmalaya, 17/6/2028)