27.3 C
Jakarta

Novel – Bintang di Atas Al-Azhar Kairo

Baca Juga:

#2. Tarik Ulur.

Mentari mulai meninggi. Panas dikulit mulai menggigit. Aku tengok jarum jam, ditangan 12.30. saatnya aku jemput Rohman di sekolah nya. Sekolah yang baru, usai merampungkan pendidikan di pondok selama 3 tahun. Sekolah yang diperoleh melalui tarik ulur. Sampai pada batas akhir..ini adalah opsi ke_3 dari rencana semula. Kami pasrah.
“Disini saja pak..” kata Rohman datar. Setelah 2 sekolah sebelumnya tidak jadi mendaftar.
Waktu itu sudah sampai ambang batas akhir pendaftaran. Kami juga tidak optimis banget bisa diterima. Jika melihat saingan banyak dan cukup berat. Rata-rata mereka dari alumni pondok pesantren. Ujiannya hafalan surat. Lewat methode sambung ayat.
“Hafalan diulang-ulang mas.Saingan berat. Pendaftar melebihi kuota.” Pintaku penuh harap. Sementara yang diharap hanya cengar cengir. Santai. Seolah tanpa beban.
“Santai pak, kalo soal hafalan. Insyaallah.’ jawabnya enteng.
Sementara orang tua nya naik turun nafas dan emosinya.
” Kalau tidak diterima, harus melanjutkan ke pondok “!ancamku.
Ternyata ancaman ini membuahkan hasil.
Sejurus kemudian ia letakkan HP. Dan..
“Aku disimak pak. Juz 10..” katanya seraya duduk manis sambil komat-kamit murajaah. Lulus.
Dalam hati tanpa Rohman dengar , aku bergumam subhanallah.
“lanjutkan juz 11. Yuk…” Pintaku.
“Nanti sore pak, habis Ashar ‘ jawabnya tanpa lagi mencari HP-nya. Entah lupa atau pura -pura lupa.
“Bener, gak mau lanjutkan di pondok, mas?” Enak kan, tinggal belajar, mengaji gak usah mikir, makannya, pakaiannya, semua sudah insya Allah tercukupi,” aku mencoba membujuknya lagi. Siapa tahu masih ada celah terbuka, sehingga berubah pikiran.
“Sementara tidak pak. Sayaakan buktikan, sekolah di umum, tapi ngaji tetap jalan?”
“Yakin, mas?”
“Ya, yakin. Bapak percaya gak?”
“Tidak seratus persen,”
“Kenapa memang?”
“Karena circle lingkungannya berbeda. Godaannya makin komplek jika diluar. Ingat kata pimpinan pondok kamu dulu, Ust. Agus Rahmanto – seburuk-buruk lingkungan di Pondok, lingkungan di Pondok masih yang ter (baik). ” terangku panjang lebar.
“Disekolah yang baru, banyak ngajinya juga. Cuma bedanya kalau di sini, aku pulang, gak mondok, ”
“Sebenarnya di sekolahmu yang baru juga ada pondok intern lho mas. Kamu bisa bergabung. Biar ngajinya lebih intens.” lagi aku melakukan serangan diam-diam.
“Tetap tidak mau. Mau pulang sore. Biar bisa ketemu bapak ibu dan mas Fauzan,” katanya mantap.
Ibunya dari balik dapur, tiba-tiba muncul. Usul. “Apa pakai target hafalan seperti saat di pondok, juga diberlakukan di rumah?” Rohman nampak cemberut, tanda kurang setuju dengan aturan baru. “Kalau tidak pakai aturan, bebas, Rohman seenaknya di rumah ngajinya. Bukan memaksa, tetapi mumpung masih dalam usia perkembangan. Golden Age. Lebih mudah untuk otak menghafal,” ibunya mencoba merayu.
Tetapi tetap juga tidak mempan. Rohman ( keukeh ) dengan pendiriannya. Berangkat pagi pulang sore. Tidak mondok.  Lagi soal tarik ulur.
Dulu waktu SMP, keinginan mondok adalah dari dirinya. Orang tua hanya mendampingi. Supported. Menginjak SMA, kok peran orang tua bergeser menjadi lebih dominan. Aku pikir jernih, ini kurang sehat. Aku gak boleh egois. Turunkan ego.
( Bersambung)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!