31.7 C
Jakarta

Novelet – Bintang diatas langit Al-Azhar ( 4 )

Baca Juga:

Matahari condong kebarat. Tidak lama berselang akan ditelan bumi. Pertanda maghrib akan segera tiba. Aku tengok jam tangan pemberian istri. Warna putih bening. Hampir 17.30. Adzan Maghrib hari ini jatuh pada jam 17.37. Artinya aku punya waktu untuk prepare Sholat di Mushola kampong 7  menit. Aku lihat situasi di rumah kurang bersahabat Rohman masih tidur melingkar.  Tanpa kaos. Celana pendek, hijau. Aku tengok untuk yang kesekian kalinya sambil terus ingatkan.
“Mandi terus sholat, sudah mau Maghrib,” kataku terasa menyesaki kamarnya hijau muda, yang tidak terlalu lebar. 3 X 3 meter. Namun selalu dijawab nanti dan nanti. Hingga kesabaranku hampir habis.  Lebih dari 7 kali aku mengingatkan. Belum ibunya.
“Nanti tho pak,”
“Sudah jam sekian lho, sebentar lagi adzan,”
“Iya.iya,”
Begitu selalu. Namun tidak juga beranjak.  Hampir saja tangan mengambil sapu. Namun aku urungkan. Aku masih ingat, sadar, emosi hanya akan  menimbulkan penyesalan. Di beberapa ayat dalam Al-Quran yang pernah aku baca, nafsu selalu mengajak kepada kerusakan. Dan itu selalu ada dalam diri manusia. Kecuali dalam lindungan rahmat-Nya.

Sebenarnya aku tidak mau banyak omong. Namun untuk ukuran sholat, jika lihat anak terlambat sholat, mulut ini selalu keluar sendiri. Nerocos. Sehingga kadang istri yang mengerem. Kali ini, nafsu sudah diubun-ubun kepala, mau pecah. Aku coba hampiri Rohman yang masih melingkar. Dia tidak lihat kedatangaku. Atau pura-pura tidak melihatnya. Karena khusuk dengan gadjet-nya. Aku ambil seblak dari lidi yang tergeletak di kasur. Aku ambil dengan penuh nafsu. Aku angkat kuat-kuat, hampir saja tangan ini berkelebat ayunkan seblak lidi ke pantatnya. Tiba-tiba bayangan ibu- berkelebat. Seolah memberi nasehat. “Sabar mas, Bagaimanapun dia anakmu. Kamu sakiti, kamu pukul, kamu tendang, bahkan kamu usir sekalipun, dia tidak akan melawan. Masih kecil. Remaja. Sabar. Berdoakan kepada yang punya hati, yakni Allah. Dia-lah yang membolak-balikkan hati anakmu. Bukan kamu. Meski kamu bapaknya,” Mendadak aku terkulai lemas. Seblak aku turunkan dari tangan kanan yang sudah memegangnya dengan kuat. Aku turunkan. Sejurus kemudian aku menghilang di balik pintu kamarnya. Aku menuju kamar mandi. Wudhu. Mohon ampun atas khilaf ini.

Aku mencoba mengurai dan menelisik saudara-saudaraku. Benar. Beberapa anaknya pergi dari rumahnya. Jika ditanya, diusir dari rumah oleh orang tuanya. Aku tentu tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Tetapi jika melihat keseharinnya memang membuat aku “sakit perut”, mual bahkan sampai pada batas, mau muntah.
Menjadi orang tua harus bijak. Itu nasehat yang sering aku terima. Meski dalam prakteknya tidak semudah yang diomongkannya. Bijak itu arief. Lebih cenderung ke adil. Kalau benar dapat reward. Kalau salah mendapatkan punishman. Hukuman. Tapi ini Rohman menurutku sering membuat kesalahan. Mestinya pantas dia mendapatkan hukuman yang setimpal.
“Iya, tetapi jangan hukuman fisik. Termasuk kata-kata kotor yang menyudutkan. Bukan solusi malah menambah masalah,” kata temanku, guru. Saat jam istirahat aku mencoba sharing. Terus hukumannya apa? Aku seolah menuntut. “Biarkan Allah menghukum dengan caranya sendiri. Akan lebih “nandes” dan tidak merasa tersakiti. Namun kita sebagai orang tua jangan minta agar anak mendapatkan hukuman, setelah kita nasehati dengan baik. Serahkan semuanya kepada-Nya. Cukup,” katanya bak ustadz diatas mimbar.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Tanda setuju. Tanda bahwa selama ini aku memang belum pernah melakukannya. Aku lebih banyak menuntut anak, dibanding dengan diskusi, omong-omong, sharing, game of fun. Setelah itu aku berjanji dalam hati untuk tidak menuntut anak berlebihan. Anak mempunyai masa depannya sendiri. Orang tua, sebagai fasilitator. Pendorong. (bersambung )

.

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!