JAKARTA, MENARA62.COM – Ombudsman RI bersama Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) melakukan penandatanganan Kesepakatan Bersama/Memorandum Of Uderstanding (MoU). Kegiatan tersebut dilakukan dalam Seminar Nasional “Kebijakan Anggaran BBM Bersubsidi dan Perlindungan Nelayan Tradisional Kecil” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Inisiatif di Swiss-Bell Mangga Besar Jakarta pada Kamis (25/11/2021).
MoU ditandatangani oleh Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih dan Ketua Umum KNTI M Riza Adha Damanik. Hal ini dilakukan untuk melaksanakan kerja sama dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik dalam implementasi kebijakan dan program perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil dan tradisional di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama para pihak dalam menjalankan tugas dan peran masing-masing lembaga dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik dalam implementasi kebijakan dan program perlindungan dan pemberdayaan nelayan kecil dan tradisional di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama Anggota Ombudsman RI Hery Susanto menjadi Keynote Speaker dalam seminar tersebut menjelaskan tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) sektor kelautan dan perikanan yang bertumpu pada harmoni dari peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, menjaga kualitas lingkungan hidup, dan pengelolaan yang berkelanjutan.
Hery berpendapat bahwa tata kelola kebijakan kelautan dan perikanan Indonesia dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan perlu keterlibatan semua pihak secara bertanggung jawab dan berkelanjutan agar bisa mendukung kelestarian ekosistem dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Dalam menghadapi problematika distribusi BBM Bersubsidi untuk nelayan tradisional pihaknya mendapati sulitnya menetapkan jumlah kebutuhan BBM yang tepat bagi kapal-kapal ikan dikarenakan tidak ada/sulitnya mendapatkan data kapal dan data operasionalnya yang valid; secara umum nelayan tidak bisa mengakses BBM bersubsidi, sebab nelayan tradisional banyak tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli BBM bersubsidi; alokasi yang diberikan untuk SPBU-N seringkali sudah habis di pertengahan bulan (atau sebaliknya).
Hal ini terkait dengan musim melaut nelayan; adanya perpindahan kelompok nelayan ke lokasi lain (sesuai dengan musim) sehingga menyulitkan penetapan alokasi secara tetap di suatu wilayah kab/kota tertentu; skema pembelian BBM oleh nelayan umumnya BBM dibeli oleh juragan yang selanjutnya menyuplai paket BBM dan sembako kepada nelayan; nelayan tradisional sulit menemukan penjual bahan bakar bersubsidi di lingkungan sekitarnya dan selalu kehabisan BBM bersubsidi, bahkan menilai lebih mudah menemukan penjual bahan bakar non subsidi di SPBU, eceran, dan lainnya; nelayan tradisional tidak mempunyai persyaratan pencatatan kapal perikanan bahkan tidak memiliki identitas padahal hal itu sangat berpengaruh terhadap akses BBM bersubsidi.
Hery memaparkan bahwa pemerintah atas persetujuan DPR RI rutin tiap tahun menetapkan kuota Jenis BBM Tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi tertuang dalam Nota Keuangan Rancangan APBN yang terdiri dari minyak solar dan minyak tanah.
“Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 191 Tahun 2014, BPH Migas memberikan penugasan kepada Badan Usaha untuk menyalurkan BBM subsidi tersebut ke masyarakat melalui penunjukan langsung dan/atau melalui seleksi. BPH Migas juga diamanatkan untuk menetapkan kuota Badan Usaha yang mendapat penugasan dan kuota untuk masing-masing Propinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia serta kuota untuk masing-masing sektor pengguna,” kata Hery Susanto.
Sejumlah Kementerian/Lembaga Negara yakni BPH Migas menugaskan Tim Pengawasan Bersama yang melibatkan Ditjen Migas Kementerian ESDM, Pemda (Propinsi/Kabupaten/Kota), TNI/Polri, BIN, dan Komisi VII DPR RI serta PT. Pertamina (Persero) untuk melakukan pengawasan langsung ke lapangan/SPBU. Dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) RI secara teknis juga berperan dalam menyampaikan data nelayan penerima BBM bersubsidi.
“Skema pembelian BBM bersubsidi untuk nelayan dengan menggunakan kartu pintar, dengan sekali tap nelayan akan sangat dimudahkan dalam proses pembeliannya karena sesuai dengan kuota yang diterima. Dalam rangka pengawasan dan pelaporan penyaluran BBM subsidi untuk nelayan dapat terintegrasi dan dipantau langsung oleh Dinas Kelautan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan maupun BPH Migas,” kata Hery Susanto.
Namun, Hery Susanto menyayangkan fakta di lapangan diperoleh informasi tidak semua SPBU-N berlokasi di Pelabuhan Perikanan, maka gerai di SPBU-N harus mempermudah nelayan kecil dalam pengurusan izin. Hal ini mengingat prasyarat pengajuan rekomendasi kuota BBM subsidi harus melampirkan SIUP, SIPI dan TDKP bagi nelayan kecil. Apalagi nelayan yang akan mengajukan rekomendasi BBM subsidi harus melakukan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang legal sesuai regulasi. Tentu ini perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi guna pemberdayaan nelayan kecil tradisional bisa berjalan dan ini tanggung jawab penyelenggara pelayanan publik di sektor tersebut dari kementerian/Lembaga negara/BUMN, kelompok masyarakat dan pihak terkait lainnya.
“Ombudsman selama 3 tahun terakhir ini hanya menerima 26 laporan masyarakat di sektor perikanan. Ini amat sedikit, bukan berarti di sektor perikanan tidak ada masalahnya. Justru minimnya kualitas SDM, akses informasi, sosialisasi/edukasi, sikap apatis/pragmatis dari kelompok nelayan ini menjadi hambatan dalam melaporkan kasus dugaan maladminisrasi yang dialaminya,” kata Hery.
Oleh karena itu, Hery menjelaskan bahwa Ombudsman menggunakan mekanisme Respons Cepat melalui IG (Instagram), WA (WhatsApp), SMS dan lainnya untuk membantu pengawasan dan pelaporan masyarakat nelayan yang mengeluhkan masalah pelayanan publik yang dialami dengan menuliskan kronologis singkat, mengirim identitas berupa KTP pelapor, bukti otentik foto, video dan lainnya yang dikirim ke 08119063737.
Ombudsman RI akan menindaklanjuti ke pihak terlapor untuk direspons cepat. Adapun beberapa pelaporan yang diterima oleh Ombudsman RI di sektor perikanan ini diantaranya yakni: keberatan atas ketentuan dan kebijakan yang dianggap menyulitkan nelayan, pengaduan tentang pelayanan di balai karantina ikan, dan bantuan program oleh dinas perikanan.