Oleh : Ashar, SIP*
Sebagai gambaran awal, mari kita buka lagi catatan dari pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makasar Sulawesi Selatan yang berlangsung 1-6 Agustus 2015 lalu. Lima tahun, belum begitu lama, saya kira. Institusi sekolah dari TK ABA hingga Universitas di Makasar, digerakkan untuk mensukseskan acaran tersebut. Muktamar dijadwalkan dibuka oleh Presiden RI di Stadion Andi Mattalata dan ditutup oleh Wapres di Balai Sidang Universitas Muhammadiyah Makasar. Diperkirakan pesertanya waktu itu mencapai empat ribu orang. Jumlah itu konon masih terus ditambah dengan para penggembira yang diperkirakan sepuluh ribu orang dari seluruh Indonesia. Karena sesuatu hal, saya sendiri, gagal menjadi penggembira di Yogyakarta. Padahal ingin.
Dana yang digunakan untuk sukses Muktamar itu, menurut Panitia tuan rumah Syaiful Saleh, sekitar enam puluh tiga miliar rupiah. Empat puluh miliar rupiah untuk merampungkan tempat muktamar, sedangkan yang dua lima miliar rupiah adalah biaya operasional. Dana dihimpun dari warga dan simpatisan Muhammadiyah, Propinsi Sulsel, Pemerintah Kota Makassar dan Kabupaten se- Sulsel. Jumlah yang besar.
Sementara untuk DIY, raihan dana di antaranya dikumpulkan dari Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), dengan iuran yang berbeda. Misalnya siswa SD/MI Rp500,-/ siswa, SMP/MTs Rp1.000,-/siswa, GTY Rp5000,-/bulan, PNS (DPK) Rp7.500,-/bulan kali 12 bulan. Waktu itu.
Tulisan ini sebagai otokritik, bentuk kecintaan kepada Muhammadiyah, agar kita semua dapat melihat dan memahami, bagaimana tumbuh kembang organisasi ini di tingkat akar rumput (grass root), paling bawah adalah ranting. Ditingkat inilah sejatinya denyut nafas organisasi dapat terlihat geraknya. Melalui pengajian-pengajian internal, kegiatan sosial pendidikan, bagaimana mereka mengapresiasi kegiatan keseharian. Termasuk bagaimana dengan kegiatan dikalangan generasi mudanya melalui wadah PM, NA, PRM, PRA.
Muhammadiyah yang lahir pada 18 November 1912 di Yogyakarta, kini berada pada posisi titik balik. Perjalanan panjang sebuah organisasi massa tentu mengalami pasang surut. Tak ubahnya dengan Muhammadiyah ini. KH.Ahmad Dahlan sang pendiri awalnya bermaksud agar dalam beribadah warga Muhammadiyah mengikuti tuntunan seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah KH.AR. Fachruddin mengatakan bahwa Muhammadiyah bukan agama, madzhab apalagi aliran. Muhammadiyah adalah perkumpulan. Dalam pelaksanaan amaliyahnya mengikuti Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafie dan Imam Hambali.
Belum lagi mereka yang masuk dalam komunitas simpatisan. Mereka adalah orang-orang “diluar” Muhammadiyah namun menaruh perhatian terhadap perkumpulan ini.
Di Titik Balik, Lemah di Bawah
Namun dalam perjalanannya, seperti dikatakan oleh manatan Ketua PP Muhammadiyah yang lain Prof Yunahar Ilyas Lc,MA (alm ) perkumpulan ini sekarang berada di titik balik. Apa artinya ini? Sebuah otokritik untuk organisasi sebesar Muhammadiyah sangat penting. Sebab kalau tidak, bisa jadi warga muhammadiyah akan terlalu bangga dengan jumlah yang besar kemudian lengah dan bukan tidak mungkin akan mengalami pengeroposan akidah. Ending bisa ke jumlah atau kuantitas.
Beberapa catatan ringan, semoga menjadi entry point untuk kita semua. Bagaimana membangkitkan ranting agar cabang menjadi kuat dan seterusnya. Memang ada ranting unggulan, namun jumlahnya masih bisa dihitung dengan mudah.
Pertama – Pengkaderan Muhammadiyah di tingkat ranting, masih lemah. Bahkan juga cabang. Sebagai indikator yang kasat mata adalah susahnya mencari pengganti figur-figur pemimpin di dua tingkat ini. Akibatnya kepemimpinan di dua tempat ini masih didominasi muka-muka lama. Memang semangatnya baru, namun usia yang makin senja menyebabkan gerakan mereka tidak bisa lincah lagi. Termasuk dalam konteks ini adalah kepemimpinan di level PRPM dan PCPM.
Kedua – Intensitas Pembinaan dalam Keluarga kurang. Hal ini dapat ditengarai ketika orang tuanya sibuk ber-Muhammadiyah, sementara anak-anaknya yang diharapkan sebagai generasi penerus justru sibuk di organisasi lain, atau kalau tidak mereka menyibukkan diri sendiri dengan alasan kuliah, sudah bekerja atau berumah tangga, sehingga tidak ada waktu lagi untuk ber-Muhammadiyah. Alibi ini menjadi pemandangan umum. Namun sebaiknya perlu dirangkul kembali. Karena tantangan Muhammadiyah kedepan sangat kompleks, terlebih dilevel generasi mudanya. Kadang kita iri atau sakit hati melihat beberapa/banyak warga Muhammadiyah mengikuti kajian organisasi lain? Namun, sebaiknya sakit hati itu hendaklah menjadi pemicu lebih keras lagi, bahwa sesungguhnya Muhammadiyah itu bisa dan sudah melakukannya sejak dari dulu.
Ketiga, Penanaman akidah jangan sampai lemah. Banyaknya pilihan dalam berorganisasi, kumpulan kadang menyebabkan warga Muhammadiyah goyah. Rasa perhatian (care) antar sesama warga sebaiknya lebih ditumbuh kembangkan. Semoga semangat kebersamaan dan rasa memiliki ini nantinya dapat memberikan dorongan untuk lebih greget dalam bermuhammadiyah. Terutama di kalangan bawah ( ranting). Sebagai denyut nadi utama gerakan Muhammadiyah ini.
Epilog
Sebagai organisasi yang menerapkan kepemimpinan kolektif kolegial, maka perlunya pembagian tugas yang jelas, kemudian ada target-target keberhasilan yang terukur. Bagaimana peran Cabang terhadap Ranting misalnya. Karena dalam prakteknya ada ranting yang selama satu periode belum pernah mengadakan rapat atau pertemuan. Tugas siapa ini yang mengingatkan? Cabang, Daerah atau Wilayah. Masak PP, jelas tidak mungkin. Sesekali para Pimpinan turun ke bawah, saya kira penting, untuk melihat kondisi riil di bawah. Namun saya yakin sebagai organisasi yang sudah lama teruji, maka beberapa catatan ringan tersebut dapat diselesaikan. Kuncinya satu. Kemauan. Sekian
Penulis : kini PCM Sleman, bidang Dikdasmen, opini pribadi.