25.6 C
Jakarta

Owl dan Cita-Cita Anakku

Baca Juga:

(sebuah cerita ringan)

PULUHAN piala berjajar rapih di atas rak buku. Terawat baik. Ada nama yang terpampang jelas di sana. Key dan Rin. Dua anak perempuanku, bocah yang hampir saban tahun membawa pulang piala kejuaraan dari sekolahnya. Beberapa dari tingkat rayon, ada juga tingkat kotamadya.

Dari puluhan piala yang dikoleksi, sebagian besar diperoleh anak karena prestasi akademik. Juara kelas, juara olimpiade sains, juara lomba IPA, juara lomba matematika, ada juga juara story telling, bercerita dalam bahasa Inggris. Tak satupun dari bidang seni.

Bangga? Pastilah! Mana ada ibu yang tidak bangga memiliki dua anak yang pintar dan langganan juara apalagi prestasi akademik. Setidaknya dengan piala-piala kejuaraan tersebut, mereka tidak akan kesulitan mencari sekolah baru ketika naik jenjang. Ibarat kata, tiket untuk masuk ke sekolah yang diinginkan sudah digenggaman tangan.

Tetapi terkadang hitungan manusia bisa meleset. Meski data-data yang jadi dasar perhitungan itu sudah matang dan pasti. Ada kendala yang seringkali abai untuk diperhitungkan. Itu pula yang terjadi padaku saat menghadapi si sulung.

Ia yang mestinya ––dalam logikaku— akan mulus untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi dengan prestasi gemilang, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Seiring nalarnya berkembang pesat, justeru ia seperti banting setir, berubah 180 derajat. Ia mendadak dilanda bosan belajar pada kelas sains atau disebutnya MIPA.

Kebosanannya menyentuh level serius ketika ia memilih tidur saat berlangsung pembelajaran di ruang kelas. Sangat sering dilakukan, hampir untuk semua mata pelajaran.

Akibatnya laporan tentang prestasi akademiknya yang terus terjun bebas pun berulang datang dari hampir semua guru. Puncaknya ketika penerimaan laporan hasil evaluasi belajar akhir semester. Wali kelas memanggilku secara khusus. Sharing sederhana, mengorek hal-hal yang berhubungan dengan keseharian si sulung. Tentang kebiasaan di rumah, jam tidur, pola makan, kesehatan dan lainnya.

Aku tidak melihat ada yang ganjil. Semua wajar saja berjalan. Kecuali beberapa kali insomnianya yang muncul, dan itu pun tidak terlalu sering. Atau alerginya yang mengganggu, itu pun tidak terlalu sering. Atau pola makannya, aku selalu menghitung dengan teliti asupan kalori harian anak. Mulai dari kebutuhan karbohidrat, vitamin, serat, kebutuhan lemak, protein, kalsium dan zat lainnya. Semua ku ceritakan, tak ada yang kurang, tak ada yang lebih. Lantas apa yang membuat anakku berubah?

Teka-teki itu tiba-tiba memenuhi ruang kepalaku, apa yang terjadi dengan anakku. Berhari-hari, berminggu-minggu, hingga menyentuh bulan dan berganti tahun. Tak urung pertengkaran kecil meletup antara aku dengan suami, saling menyalahkan dan saling mencari pembenaran. Pembahasan soal anakku nyaris tak pernah mencapai kesepakatan. Seiring waktu, anakku kemudian seperti menjadi pasien tetap bagi guru BK di sekolahnya.

Andai pagi itu, anakku tidak mengikuti Workshop Online Faber Castell Creative Art Series, mungkin teka-teki itu tidak akan terjawab selamanya. Mungkin aku akan lebih sibuk membawa anak ke psikolog, ke dokter atau ke konsultan studi lainnya, atau ke motivator. Berkejaran dengan waktu, menjelang anakku harus melanjutkan studi ke perguruan tinggi.

******

Wajah si sulung lebih fresh, rileks dan tidak lagi tegang sore itu. Senyum mengembang ketika menunjukkan sebuah totebag bergambar burung hantu Owl usai berakhir pelatihan yang digelar Faber Castell. Si Owl berhasil diwarnai bersama dengan sang adik dalam waktu tak lebih dari satu jam dengan warna yang berbeda.

Berulangkali si bocah menatap totebag yang digantung di rak buku, cat minyak masih mengkilap basah. Tersenyum sendiri, lalu difoto beberapa jepretan dengan kamera telepon selularnya. Menunjukkan ke ibunya, berharap menuai pujian.

Belum pernah aku melihat wajahnya seringan sekarang, segembira sore itu. Terutama sejak diberlakukan pembelajaran jarak jauh akibat pandemi Covid-19 dengan segala ketegangan yang muncul hampir setiap hari.

“Bagus nggak Bun,” tanya si sulung sambil melihat layar kamera telepon selulernya.

Aku mengangguk sambil menghadiahkan dua jempol. “Cakep, paduan warnanya pas, gradasi warnanya juga oke,” kataku.

“Besok beli paket yang lainnya ya Bun, pasti seru,” rajuknya.

“Boleh, tapi jangan lupa, bereskan semua peralatan lukisnya, juga lantai,” jawabku sambil menunjuk peralatan lukis yang berantakan di meja dan lantai yang sudah penuh dengan tumpahan cat minyak maupun air.

Ia tak perlu menunda. Tak perlu menunggu aku memerintah untuk kedua kalinya. Berbagai peralatan lukis dibawanya ke wastafel di kamar mandi, dicuci bersih. Juga lantai, dalam waktu singkat semua sudah bersih kembali seperti semula. Ia rela melakukannya sendiri tanpa merajuk bantuan dari si adik. Hal yang tidak biasanya.

Usai memberaskan semua peralatan lukis, ku ajak si sulung duduk di sofa. Sambil mengamati totebag Owl hasil karyanya. Ia masih mengembangkan senyum beberapa kali.

“Kaka kelihatannya suka menggambar,” tanyaku hati-hati. Mulai memancing, mumpung suasana hatinya sedang gembira. Menunggu reaksi, aku berpura mengamati totebag Owl karyanya.

Ia tidak langsung menjawab. Matanya ragu menatapku. Seperti ada rasa takut menggantung diwajahnya. Beberapa saat hening, lalu ia terbatuk kecil.

“Bunda tidak marah?” tanyanya masih ragu.

Aku menggeleng. “Kenapa harus marah? Melukis kalau dijalani karena hobi pasti akan jadi profesi yang menghasilkan juga,” jawabku. Ia membelalakkan mata, nyaris tak percaya. “Serius Bun?”

Sekali lagi aku mengangguk. “Bunda sudah lama mengetahui kamu suka melukis. Tas-tas kamu, buku-buku catatan kamu sudah bunda acak-acak. Maaf ya…Bunda lancang,” kataku berhat-hati.

“Semua pantat buku kamu penuh dengan gambar. Kantong-kantong tas sekolahmu juga penuh kertas gambar. Dari situlah bunda sadar, kalau anak bunda memang suka melukis,” lanjutku.

Pendar wajahnya mendadak berubah, sarat kekhawatiran dan ketakutan. Hening sesaat. Seperti tertangkap basah, lalu ia mengaku salah. “Maaf Bun,” ucap anakku lirih.

Aku menggeser duduk mendekatinya, lalu membelai rambut yang tak seberapa panjang. Meyakinkan bahwa aku tidak marah, dan mengajaknya berkata jujur.

Anakku menunduk, jarinya memainkan ujung baju. Berulangkali ia menarik nafas kecil, membuang gundah.

“Aku suka menggambar Bun, karena itu kalau aku harus melanjutkan ke perguruan tinggi, aku mau yang ada gambarnya,” katanya pelan. Nada bicaranya mengandung takut yang lekat.

“Mengapa? Boleh bunda tahu alasanmu?” tanyaku hati-hati.

Ia tak langsung menjawab. Menunduk terpekur, wajahnya tenggelam dalam rasa khawatir yang makin lekat. Rasa khawatir itu makin nyata tertangkap dari gestur tubuhnya. Dan aku memeluknya erat.

“Bicaralah Nak, Ibu akan jadi pendengar terbaikmu…”

****

Tahulah kini mengapa ketika sekolah menggelar kegiatan motivasi masuk perguruan tinggi negeri secara online akhir tahun lalu, anakku memilih mengerjakan tugas sekolah. Layar laptop memang dihidupkan,  suaranya juga terdengar cukup keras. Tetapi mata dan otaknya tidak berada di sana.

Ia hanya memenuhi kewajiban, hadir lalu mengisi presensi yang dibagikan sekolah melalui link google form. Selanjutnya, ia mengikuti kelas motivasi sambil lalu, tak serius, mondar mandir mengerjakan tugas lain bahkan bercanda dengan adiknya. Berbeda dengan teman-teman sekolahnya, mereka sangat antusias menyampaikan pertanyaan kepada sang motivator, seorang pria lulusan tehnik elektro sebuah perguruan tinggi negeri terkenal di kota Yogyakarta yang kini berprofesi sebagai direktur lembaga bimbingan belajar.

Ya, sore itu ia menjawab segala rasa penasaranku. Rasa yang kusimpan lebih dari sebulan lalu, tentang keengganan mengikuti kelas motivasi dari sekolahnya.

“Apanya yang bagus Bun, ketika seseorang bekerja tidak sesuai dengan bidang yang dipelajarinya. Empat tahun lebih seperti sia-sia, belajar teknik itu tidak mudah, dan ketika lulus, profesi yang dijalani lebih kepada pendidik,” kata anakku.

“Aku tidak mau seperti itu. Aku mau belajar sesuai passionku, sesuai bakat dan kesukaanku. Lalu aku bekerja pada bidang yang aku pelajari agar tak sia-sia ilmuku,” lanjut anakku.

Mendengarnya bicara berapi-api, seperti kompor mendapat sumbu yang tepat, aku cukup terkejut. Apalagi cara berpikirnya. Aih, aku seperti berhadapan dengan sosok lain, bukan anakku. Sebab tak biasanya ia memiliki keberanian seperti ini. Sangat jarang terjadi anakku bicara sedemikian melimpah. Ia keseharianya jarang bicara, butuh dua atau tiga pertanyaan untuk memancingnya bicara sedikit banyak. Tapi sore itu?

“Apa pentingnya perguruan tinggi bagus, perguruan tinggi favorit. Apa pentingnya jurusan keren, kalau hati kita nggak disana. Kawanku banyak yang berburu jurusan keren, perguruan tinggi favorite. Cuma biar dikata pintar, cuma biar dibilang hebat, cuma biar masuk daftar alumni yang oke, alumni panutan, alumni yang tak malu-maluin fotonya dipajang saat musim pendaftaran siswa baru. Kalau ujung-ujungnya susah cari kerja, atau kerja asal saja apa bagusnya coba.”

Puas mengungkapkan uneg-uneg, ia mengambil duduk mendekatiku. Lantas, aku memeluknya lembut sambil berbisik, “kamu menyindir bunda dan ayah ya?”

Matanya terbelalak, lalu sadar dan ia memilih tertawa renyah. “Maaf bun kalau tersindir,” kata anakku sambil meraih tanganku, mengajak berjabat lantas mencium punggung tanganku berulang. Kami pun tertawa bersama-sama, lepas sudah beban. Ku peluk ia erat.

Sore mengintip, jendela menyodorkan sepoi angin lembut. Ku katupkan bibir, ku kepal tangan, berjanji memberinya kebebasan untuk melanjutkan pendidikan sesuai dengan keinginannya, tak harus menjadi seorang dokter, ilmuwan atau apalah yang dimata orang terlihat pintar dan hebat, bermartabat dan berderajat. Ia suka menggambar, suka melukis, dan itulah dunia yang akan ditekuni. Tak ada yang salah dengan cita-cita anakku, karena masa depan adalah passion dan kreativitas.

Lebih dari itu, aku juga berjanji membeli 5 seri lainnya dari 6 rangkaian seri Faber Castell Creative Art yakni Stone Deco Art, Origami Fashion Design, 3D Art Frame, Make Your Own Kite, dan Air Jet Sport Car. Melalui produk inovatif ini, aku ingin memberikan apresiasi untuk keteguhannya memperjuangkan apa yang dia suka. Aku ingin mendukungnya segala harap dan mimpi masa depannya. Bukankah melakukan sesuatu sesuai dengan passion, hobi dan kesukaan akan menghasilkan rasa ikhlas dan gembira? Akan sanggup untuk menjadi pembelajar sejati sepanjang hayat?

Ku baca puisi Khalil Gibran berulang, sekadar introspeksi diri setelah sebelumnya, tentu mengucapkan beribu terimakasih untuk Faber Castell Creative Art Series yang telah memperbaiki hubunganku dengan si sulung. Karena bermula dari totebag Owl Creative Art Series dari Faber Castell, kini aku menemukan dunia anakku kembali.

Anakmu bukan Anakmu

(By Khalil Gibran)

Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.

Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.

Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.

Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

Mampang Prapatan, 19 Februari 2021

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!