31.9 C
Jakarta

Pahit Manisnya Hidup Sebagai Muallaf di Amerika

Baca Juga:

Shamsi Ali

Di sebuah pagi hari sekitar 7 tahun silam, saya mendapat telpon dari seseorang yang katanya tinggal di Connecticut. Di seberang sana dengan sangat ramah, seolah sudah mengenal saya lama menyapa: “Good morning Imam!”’

Good morning Sir”, jawab saya berusaha menyampaikannya dengan seramah mungkin.

My name is Jack, calling from Stanford CT”. Lalu segera disambung: “I am calling to ask you Sir. How to conver to Islam?”.

Mendengar itu saya sedikit curiga. Sebab, pernah juga ada yang menelepon menanyakan hal yang sama. Tapi ketika saya menjelaskan bagaimana mudahnya menjadi seorang Muslim, dia berbalik dan mencaci maki. Rupanya pertanyaan dia itu hanya pancingan semata.

Dengan sedikit memberikan penjelasan bahwa kita tidak “convert people”. Artinya kita bertujuan merubah agama orang. Kami umat Islam hanya diwajibkan menyampaikan apa itu Islam sesungguhnya. Selebihnya adalah hak masing-masing orang untuk menerima atau menolak ajarannya.

Baru sekedar itu omongan saya orang itu memotong: “Sir, it is my daughter. She wants to convert”.

Saya kemudian bertanya: “what really makes her wanted to be a Muslim?”. Saya berusaha menghindari kata “convert”.

She is a student at Stanford University and had been a friend to several Muslim students. She learned the religion. But she does not know what to do in order to convert”, orang itu menjelaskan sedikit panjang.

Singkat cerita saya minta orang itu mengantarkan anaknya ke Islamic Center di New York. Dan jadilah seorang Muslim dengan Islam sebagai jalan hidupnya yang baru.

Itu sebuah cerita muallaf di Amerika yang manis. Prosesnya manis dan hasilnya pun manis. Tapi sebaliknya tidak sedikit juga cerita itu pahit. Berproses secara pahit dan juga mengalami fase perjalanan yang cukup pahit.

Liz atau Elizabeth, seorang mantan juara renang dan mahasiswi Columbia University menemukan jalan hidup barunya dengan penuh liku bahkan duri. Singkatnya setelah menyembunyikan status Islamnya selama dua tahun, akhirnya ketahuan oleh kedua orang tuanya. Akibatnya, tidak saja sekolahnya tidak lagi dibiayai. Tapi Liz harus meninggalkan rumahnya dan tinggal dari rumah teman ke rumah teman lainnya.

Belum lagi Liana, wanita Filipina dan seorang perawat di sebuah rumah sakit di kota New York. Ibu dua anak ini harus meninggalkan rumahnya dan dua anaknya karena diusir oleh suaminya. Untung belakangan dia memenangkan hak asuh anaknya karena mantan suaminya kerap minum dan mabuk-mabukan.

Tapi yang ingin saya ceritakan kali ini adalah sepasang suami isteri dengan dua orang anaknya. Mereka saat ini saya anggap sebagai bagian dari komunitas baru saya di kota Moodus CT.

Sekitar dua bulan lalu di lokasi pondok pesantren Nusantara Madani, hadir seorang pria berkulit putih, keturunan Irlandia. Dia mengenalkan diri sebagai Muslim. Sejujurnya kami terkejut. Karena pertama kali membeli lokasi itu, kami tidak mengenal siapapun, apalagi Muslim.

Dia ketika itu hadir untuk sekedar mengenalkan diri. Walaupun menurutnya sudah masuk Islam sekitar 7 tahun lalu. Dan masuk Islamnya di saat dia berada dalam penjara.

Perlu diketahui, jika ada orang Putih yang dipenjara di Amerika, itu berarti kasusnya sangat serius. Tapi kalau orang hitam atau non Putih lainnya biasanya karena misdemeanors (pelanggaran kecil) semata.

Matt menemukan hidayahnya dalam penjara. Dan sejak keluar dari penjara dia membangun komitmen untuk menjalankan hidupnya dengan penuh tanggung jawab dan sebaik-baiknya. Hal pertama yang dia lakukan adalah menemukan pasangan hidupnya.

Matt lahir dan besar di kota Moodus, Connecticut. Kota di mana pesantren Nusantara akan dibangun. Selama ini, hidupnya dijalani di kota kecil ini. Dan karenanya, dia juga ditakdirkan untuk menemukan pasangan hidupnya dari kota ini.

Menikahlah mereka dan resmilah menjadi suami isteri. Matt sendiri sejak sekeluar dari ,penjara itu belum pernah lagi belajar Islam. Bahkan hanya sempat kenalan dengan seorang Muslim asal Pakistan yang membuka bisnis toko Seven Eleven di kota ini.

Walaupun demikian, secara praktek jauh dari ajaran Islam, semangat Islam dan iman di dadanya tidak pernah surut. Maka sekitar setahun lalu, dia berhasil meyakinkan isterinya untuk memeluk agama Islam. Isterinya pun menerima Islam dengan suka rela dan gembira.

Awal mula di keluarganya tidak ada masalah. Tapi ketika istarinya telah memeluk Islam, keluarga sang isteri kemudian mulai agresif melakukan tekanan kepada Matt.

Menurutnya, sejak itu hidupnya terisolasi. Tadinya Matt masih diberikan proyek pekerjaan. Maklum, Matt karena mantan terpidana, tidak mudah dapat pekerjaan. Tapi setelah isterinya masuk Islam, keluarga sang isteri yang punya usaha konstruksi atau pertamanan tidak lagi memberikan pekerjaan kepada Matt.

Diapun berusaha mencari pekerjaan ke sana kemari, apapun itu, termasuk membersihkan pekarangan rumah orang, khususnya di musim dingin. Dengan hadirnya dua anak, berusia 5 dan 3 tahun, hidup Matt sekeluarga semakin berat.

Alhamdulillah, di bulan Ramadan lalu, Matt dan keluarganya semua hadir di acara buka puasa untuk tetangga-tetangga pesantren. Bahkan semua keluarganya, termasuk keluarga isterinya juga hadir di acara itu.

Semangat Matt memang besar. Walau diakui ilmu agamanya hampir zero. Di acara itu Matt memakai jubah dan songkok. Sehingga dari kejauhan saya melihat beberapa keluarga dari pihak isterinya yang mencibirkan.

Setelah acara itu, saya mengajak Matt ke pinggir dan menasehati. “Matt, segala sesuatu itu ada prosesnya. Menjadi Muslim juga begitu. Jangan melakukan sesuatu yang kamu anggap ideal, tapi menjadi menghalang bagi proses-proses menuju kepada tujuan akhir”.

Saya kemudian lanjutkan: “tujuan terbesar adalah mengenalkan Islam kepada semua orang di sekitar kita. Dan mereka akan melihatnya, kalau tidak menerimanya, dengan pandangan positif”.

Matt hanya menggeleng tanda setuju. Bahkan di acara itu, Matt dan isterinya berkali-kali mengekspresikan kegembiraannya dengan hadirnya pesantren itu. Dalam istilah dia: “I have been dreaming for long time for this. This a dream comes true”.

Finally Islam comes to my town”, katanya bersemangat.

Untuk lebih mendekatkan Matt sekeluarga ke pesantren, saya ajak Matt untuk ikut membantu pekerjaan renovasi di pesantren. Diapun dengan semangat dan gembira membantu pekerjaan itu. Bahkan tidak jarang isteri dan anak-anak ikut hadir bermain di lokasi di saat Matt melakukan pekerjaan itu.

Ahas lalu, Matt membawa dua orang kemenakannya bekerja. Keduanya baru berumur 16 tahun. Tapi layaknya anak-anak yang tumbuh besar di kampung, walaupun di Amerika, anak-anak ini sopan dan penurut.

Di saat sholat dzhuhur sebelum makan siang, kami melakukan sholat berjamaah. Kemenakan Matt ini ikut sholat bersama. Saya katakan padanya: “it is always good to experience something new”. Tapi dia jawab: “it is really good to join the prayer”.

Saya kemudian tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Setelah sholat, saya menyampaikan kultum khusus ditujukan untuk dia menjelaskan makna dan pentingnya sholat. Ternyata luar biasa sambutannya. Sangat senang dan positif.

Kembali pada Matt dan keluarganya. Rupanya hidup mereka ada dalam masa ujian. Kemarin, Rabu saya kembali ke lokasi pesantren. Tiba-tiba Matt mendapat telpon dari keluarganya bahwa polisi sedang mencarinya. Dia akan ditangkap jika tidak datang dan menyerahkan diri (surrender).

Matt dan isterinya nampak menangis. Saya mendekati dan bertanya: “what happens?”.

Isterinya bercerita bahwa tetangganya melaporkan dia ke polisi dengan tuduhan “memukul anjingnya”.

Menurutnya, minggu lalu anaknya main di depan rumahnya. Tiba-tiba anjing itu mendekat dan nampak mau menggigit anak Matt. Maka Matt secara refleksi mengusir anjing itu. Karena tersinggung, sang tetangga menelpon 911 dengan tuduhan anjingnya dipukuli sama di Matt.

Hanya karena itu, si Matt ditangkap. Tapi berhasil keluar dengan uang jaminan $1000 tapi sekaligus mendapat restrain untuk tidak mendekat ke anjing itu.

Tiba-tiba saja, kemarin pagi sebelum ke pesantren anjing itu berpapasan dengan Matt. Karena itulah tetangga tersebut menelpon 911 kalau Matt melanggar larangan mendekat ke anjingnya. Maka, kemarin Matt harus berurusan lagi dengan polisi dan hanya bisa bebas dengan menebus dirinya sebesar $1500.

Matt nampak marah. Dia mulai mengeluarkan kata-kata yang keras. Tapi saya yang ada di sekitarnya saat itu menasehati agar menahan diri. “The Journey is long”, kata saya.

Apapun itu, Matt dan keluarganya kini sudah menjadi bagian dari komunitas saya. Menjadi bagian dari pesantren yang sedang dibangun. Di sebuah kota kecil, dengan penduduk hampir semuanya berkulit putih, menemukan Matt dan keluarganya bagaikan menemukan mutiara yang mahal.

Matt, stick to the community. Be strong. You are not alone now”, pesan saya kepadanya lewat sms setelah dia keluar dari kantor polisi.

Insha Allah I will. I don’t know how to thank you Shamsi”, kata Matt.

Itulah liku-liku, pahit manis perjalanan para muallaf di Amerika. Insya Allah dengan hadirnya pesantren di kota Moodus ini, bagi Matt sekeluarga merupakan rumah impiannya.

Semoga Allah memudahkan prosesnya. Semoga semua yang membaca ini tergerak hatinya untuk ikut membantu dan mengambil bahagian dalam perjalanan membangun komunitas dan peradaban Islam di negara ini. Amin.

Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. Pendiri Pesantren di Amerika. Jamaica Hills,(19/7/2018)

- Advertisement -
- Advertisement -

Terbaru!