JAKARTA, MENARA62.COM – Pakar Komunikasi yang juga Wakil Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) Nurlina Rahman, S.Pd, M.Si mengatakan melakukan komunikasi dengan orang yang menderita gangguan jiwa tidaklah mudah. Padahal komunikasi menjadi salah satu kunci penting untuk mengobati orang dengan gangguan jiwa sehingga perilakunya bisa terkontrol dengan baik.
“Dibutuhkan trik komunikasi yang tepat, karena umumnya orang dengan gangguan jiwa merasa sendiri, tidak ada teman,” kata Nurlina pada Webinar Finding Hope Famili Member yang digelar Madani Mental Health Care (MMHC) dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, Ahad (16/10/2022).
Nurlina yang juga Volunteer Recovery Partner Pasien Naza & Skizofrenia MMHC menjelaskan gangguan jiwa yang merupakan suatu gangguan pada pikiran, perasaan (emosi), dan perilaku pada seseorang mengakibatkan yang bersangkutan tidak mampu beraktivitas dan berinteraksi baik dengan keluarga maupun dengan masyarakat.
Menurut Nurlina, ada 4 hal yang harus diperhatikan saat melakukan komunikasi dengan orang yang mengalami gangguan jiwa. Pertama adalah bicara dengan tenang dan jelas. Gunakan nada dan intonasi yang normal, dalam arti seperti komunikasi sehari-hari. Jangan menggunakan nada dan intonasi tinggi apalagi membentak.
Kedua jelaskan mengapa dia berada dalam situasi tersebut. Terkadang orang dengan gangguan jiwa tidak menyadari apa yang sedang terjadi dengan dirinya sendiri. Situasi tersebut membutuhkan orang lain yang bersedia menjelaskan situasi yang dihadapi yang bersangkutan.
Ketiga, tetap bersikap sopan dan tidak mengancam, tetapi jujur dan terus terang. “Meskipun kita berhadapan dengan orang yang mengalami gangguan jiwa, tetap harus berperilaku sopan saat berbicara,” tambah Nurlina.
Keempat adalah dengarkan apa yang ingin dia katakan dan jangan sesekali menghakimi. Seringkali orang dengan gangguan jiwa membutuhkan orang lain untuk menyampaikan unek-uneknya. Maka sebaiknya jadilah pendengar yang baik dan jangan sekali-kali menyalahkan situasinya.
Berbeda dengan gangguan kesehatan secara fisik (sakit) maka pada gangguan jiwa, lanjut Nurlina acapkali sulit untuk dideteksi. Namun beberapa perilaku bisa menjadi panduan untuk melihat apakah seseorang mengalami gangguan jiwa atau tidak. “Melalui gejala-gejala yang ditunjukkan, kita bisa juga mengkategorikan apakah gangguan jiwa tersebut berkategori ringan, sedang atau sudah berat,” tambahnya.
Gejala gangguan jiwa yang ditunjukkan oleh masing-masing orang berbeda-beda. Berikut adalah gejala gangguan jiwa berdasarkan kategori usia yang bisa menjadi panduan untuk mengenali gangguan jiwa pada seseorang.
Pada anak-anak, gangguan jiwa bisa ditunjukkan dengan gejala-gejala seperti perubahan prestasi sekolah, perubahan jam tidur, perubahan perilaku makan, cemas berlebihan, sering marah, tidak patuh, hiperaktif dan mimpi buruk berkelanjutan.
Pada remaja, gejala-gejala yang ditampakkan antara lain penggunaan zat terlarang, tidak mampu mengatasi masalah dalam kehidupannya, perubahan jam tidur, complain berlebihan, perubahan perilaku makan, tidak patuh pada aturan baik di sekolah maupun di rumah, mencuri atau mulai tertarik pada aktivitas kriminal.
Lalu gejala pada orang dewasa antara lain seringkali merasa kebingungan, suasana hati turun naik secara ekstrem, halusinasi dan delusi, depresi berkepanjangan, menarik diri, memikirkan bunuh diri, frekuensi sedih berkepanjangan, gangguan tidur dan makan serta penggunaan zat terlarang.
Gangguan jiwa dengan kategori sedang dan berat lanjut Nurlina, tentu membutuhkan penanganan medis yang intensif. Namun pada kondisi tertentu, seorang pasien dengan gangguan jiwa bisa melanjutkan perawatan di rumah.
“Jika harus merawat pasien gangguan jiwa untuk pemulihan di rumah, hal penting yang harus kita lakukan adalah memaksimalkan komunikasi antarpersonal dan mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan antarpersonal,” tegas Nurlina.
Mengoptimalkan komunikasi antarpersonal bisa dilakukan dengan cara mau mendengarkan keluh kesan pasien, berkomunikasi secara terbuka, kesetaraan tanpa memberikan label, menghindari konfrontasi dan menghindari penghakiman.
Sedangkan untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan anterpersonal bisa dilakukan dengan memberikan apresiasi, memberikan aktivitas positif, memberikan bantuan pada aktivitas yang dilakukan pasien, interaksi dengan lingkungan sosialnya dan menunjukkan ekspresi positif.
“Namun jika gejala lanjutan mwmbuat keluarga kewalahan, sebaiknya mencari bantuan professional karena proses pemulihan maksimal dapat dilakukan secara holistik baik biologik, pskilogik, spiritual maupun sosial,” katanya.
Lebih lanjut Nurlina mengingatkan bahwa merawat orang dengan gangguan jiwa tidaklah mudah. Karena itu kita juga harus mengerti bagaimana cara merawat diri sendiri agar tidak ikut menjadi terganggu jiwanya.
Pengalaman para caregiver atau perawat yang biasa merawat orang dengan gangguan jiwa bisa dijadikan panduan jika kita harus merawat pasien gangguan. Tips tersebut antara lain sesekali priotitaskan diri sendiri, menerima diri sendiri yang sudah banyak berjuang dan berikan maaf pada diri sendiri.
Lalu temukan ‘healing’ versi sendiri, jangan terjebak pada pola pikir negative pasien maupun keluarganya dan cari pertolongan professional jika kondisinya darurat.
“Jangan lupa jalin kolaborasi Ketika harus merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa mulai dari persoalan anggaran atau budget untuk perawatan, lama atau waktu yang dibutuhkan untuk perawatan dan kemungkinan kebutuhan layanan after care atau home care,” tandas Nurlina.
Sementara itu, Harid Isnaedi, M.Pd, Manager Klinik MMHC menjelaskan gangguan jiwa sebenarnya sudah banyak ditemukan pada masyarakat Indonesia. Namun kasusnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan Ketika terjadi pandemi Covid-19.
Data WHO menunjukkan terdapat peningkatan orang dengan depresi dan kecemasan sebesar 25 persen sepanjang pandemic Covid-19. “Di Indonesia sebesar 3,7 persen dari populasi mengalami depresi,” kata Harid.
MMHC sendiri memiliki layanan mental health clinic, mental health rehab, ekslusif program dan stabilisasi krisis 24 jam.