KAIRO, MENARA62.COM — Pancasila Mengandung Nilai Keislaman. Ini menjadi salah satu bagian isi pidato Prof Dr Din Syamsuddin pada Konperensi Pembaruan Pemikiran Islam Al-Azhar, Kairo (27-29/1/2020).
Din Syamsuddin yang hadir di Kairo sejak sehari sebelumnya itu, dikenal sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode (2005-2010, 2010-2015). Ia mengungkapkan, bahkan Grand Syaikh Al-Azhar dalam Pidato Kuncinya pada Pembukaan Pertemuan Puncak Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia tentang Wasathiyat Islam, di Bogor, 2018. Grand Syaikh Al-Azhar menyatakan, Pancasila adalah Islami. Memang kalau dibedah, sila demi sila dari Pancasila merupakan nilai-nilai Islam.
Begitu pula Konstitusi Negara Indonesia, UUD 1945, menurut Din, merupakan kristalisasi dari nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem Pemerintahan yang bersifat presidensiil, dengan lembaga-lembaga negara. Lembaga negara itu seperti MPR dan DPR dapat dikatakan sebagai manifestasi pemikiran politik Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam konteks Indonesia.
“Paradigma politik Sunni menekankan sentralitas Ahlul Imamah (kepala negara). Pentingnya Ahlul Ikhtiyar (para pemilih), dan Ahlul Halli wal ‘Aqdi (para wakil rakyat). Serta perlu adanya bay’ah wal-mubaya’ah (pemberian mandat kepada yang terpilih),” ujar Din yang menyampaikkan pidatonya dalam bahasa Arab.
Selain itu, menurut Din, sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia, merupakan sistem yang bukan kapitalisme dan bukan sosialisme. Tapi adalah sistem ekonomi dengan prinsip kekeluargaan. Sistem ini, mencerminkan prinsip Jalan Tengah dan mengedepankan prinsip kegotongroyongan (ta’awun) yang diajarkan dalam Islam.
“Begitu pula sumber daya alam harus dikuasai negara (tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas). Ini merupakan pengamalan dari hadits bahwa air, api, dan rumput tidak diserahkan kepada orang banyak. Masih banyak hal lain yang bisa diangkat sebagai refleksi ajaran Islam,” ujarnya.
Termasuk, menurut Din, dalam hal ini, Motto Bangsa “Bhineka Tunggal Ika”, satu walau berbeda. Beragama tapi satu adanya, merupakan ajaran Islam tentang perlunya persaudaraan kebangsaan dan persaudaraan kemanusiaan.
“Inilah Islam dan Umat Islam di Indonesia. Sebagai bagian terbesar dari rakyat Indonesia (88% dari sekitar 260 juta penduduk). Umat Islam telah berperan besar dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia. Maka umat Islam memiliki tanggung jawab yang besar pula akan kemajuan Indonesia,” ujarnya.
Bukan Negara Sekuler
Walaupun demikian, menurut Din, para pendiri Negara Indonesia tidak memilih status negara teokratis, tapi tidak pula memilih bentuk negara sekuler. Relasi antara agama dan negara dalam Negara Pancasila bersifat simbiotik mutualistik. Walaupun bukan negara agama, tapi negara menghormati agama dan memberi kebebasan kepada warga negara untuk beragama dan beribadat menurut agamanya. Formula demikian dapat dibandingkan dengan formula ulama Sunni, seperti Al-Gazali, yang mengatakan bahwa agama dan negara adalah bersaudara kembar.
Inilah prinsip wasathiyat Islam yang ada dalam rancang bangun negara di Indonesia. Maka bagi organisasi Islam Muhammadiyah, Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi was Syahadah. Sementara Nahdhatul Ulama, menyebut Negara Pancasila adalah bentuk ideal dan final bagi bangsa Indonesia yang majemuk.
Dalam perspestif demikian, organisasi-organisasi Islam di Indonesia terus berjuang untuk mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita pembentukannya, yaitu Indonesia yang bersatu, adil dan makmur, serta berdaulat. Oleh sementara organisasi Islam, negara demikian adalah baldatun thoyyibatun wa Robbun ghafur dan ada yang membandingkannya dengan al-madinat al-fadhilah seperti yang digagas oleh Al-Farabi.