Problem pendidikan masyarakat yang memasuki era revolusi industri 4.0, merupakan problem yang serius. Hal ini disebabkan oleh paradigma pendidikan yang dipakai dalam institusi pendidikan cenderung terpengaruh ideologi pasar.
Dunia pendidikan pasca hadirnya fenomena inovasi disrupsi, diprediksi akan masuk pada era digitalisasi sistem pendidikan. Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran digital yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam, dan menyeluruh.
Dengan adanya teknologi baru, telah menghapus batas-batas geografi yang memicu munculnya cara-cara baru untuk dapat menghasilkan inovasi baru. Dunia kini dan masa depan, adalah dunia yang dikuasai sains dan teknologi.
Mereka yang menguasai keduanya, akan menguasai dunia. Meminjam bahasa Marx, sains dan teknologi merupakan infrastruktur. Keduanya akan menentukan suprastruktur dunia internasional termasuk kebudayaan, pendidikan, moral, hukum, bahkan agama.
Dalam kenyataannya, pendidikan sekarang secara tidak langsung mendukung ideologi pasar. Pendidikan dihantarkan ke nilai-nilai pragmatis-materialistik, dengan mengedepankan penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja. Ketika nilai-nilai ini diterapkan pada dunia pendidikan, maka hasil konsekuen peserta didik akan diorientasikan dan dipaksa beradaptasi dengan dunia masyarakat industri. Penerapan ini, mengorbankan nilai-nilai etis-humanistik yang merupakan sifat asli dari dunia pendidikan yang sesungguhnya.
Budaya pragmatis dalam pendidikan juga akan berimplikasi pada proses pedagogis. Terdapat tiga kategori pengetahuan menurut Jurgen Habermas yaitu teknis, praktis, dan emansipatoris. Jika budaya pragmatis yang dikedepankan dalam pendidikan, maka rasionalitas yang akan dilahirkan adalah rasionalitas teknokratik. Sebuah rasionalitas yang lebih menekankan pada konformitas dan adaptasi.
Pendidikan semacam ini akan sulit menghasilkan critical subjectivity, yaitu (a) subjek yang bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan; (b) subjek yang bisa membedakan antara fakta sesungguhnya dan fakta yang didapatkan di media; dan (c) sebjek yang mampu memahami struktur terdalam dari realitas.
Oleh karena itu dibutuhkan format pendidikan yang dapat mengatasi permasalahan di atas atau setidaknya meminimalisirnya. Sejatinya pendidikan tidak hanya mengasah otak dan tangan, tetapi juga mengasah hati.
Islam dan Modernisasi Pendidikan
Umat Islam meyakini, pendidikan Islam memiliki keunggulan dan keutamaan karena dasar dan tujuannya berangkat dari wahyu Allah (al-Qur’an dan Sunnah). Pada umumnya umat Islam memahami substansi pendidikan Islam. Substansi itu, sebagai usaha sadar untuk membentuk pribadi manusia yang unggul sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Manusia unggul, yaitu insan yang seluruh potensinya dapat berkembang secara optimal mencakup fisik, panca indra, akal, jiwa, intuisi dan spiritualnya. Komponen utama pendidikan Islam, menurut para pakar terangkum dalam tiga unsur. Ketiga unsur itu, yaitu al-tarbiyah (membimbing, melindungi), al-ta’lim (mengajar, mengembangkan) dan al-ta’dib (mendidik moral).
Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai–nilai ajaran Islam, sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran dan al-Hadits, serta dalam pemikiran para ulama dan dalam praktik sejarah umat Islam.
Tujuan pendidikan Islam bertujuan: pertama, menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia di antara makhluq Allah lainnya dan tanggungjawabnya dalam kehidupan ini; kedua, menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggungjawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat; ketiga, menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta; dan keempat, menjelaskan hubungannya dengan Sang Khaliq sebagai pencipta alam.
Menurut Abdurrahman Mas’ud, ada dua alasan pokok yang melatarbelakangi pentingnya dilakukan modernisasi pendidikan Islam. Pertama, konsep dan praktik pendidikan Islam selama ini terlalu sempit. Pendidikan Islam, terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, yang melahirkan dikotomi keilmuan. Kondisi ini, telah diwariskan ummat Islam sejak masa kemunduran Islam (abad kedua belas).
Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam meliputi: (a) dikotomi antara ilmu agama dan ilmu non agama. Dikotomi ini, yang melanggengkan supremasi ilmu-ilmu agama yang berjalan secara monoton. (b) Dikotomi antara wahyu dan alam yang menyebabkan kemiskinan penelitian empiris dalam pendidikan Islam. (c) Dikotomi antara iman dan akal.
Dalam perspektif ini, Islam harus diyakini sebagai religion of nature. Artinya, yang dengannya segala bentuk dikotomi antara agama dengan ilmu pengetahuan harus dihilangkan. Alam beserta isinya (materi dan kejadiannya) mengandung tanda-tanda yang memperlihatkan pesan-pesan Tuhan. Pesan yang menggambarkan kehadiran kesatuan sistem global. Pesan ini, jika didalami, seseorang akan mampu menangkap makna dan kebijaksanaan dari suatu yang transenden.
Kedua, lembaga-lembaga pendidikan Islam sampai saat ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam. Kebutuhan dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia di segala bidang.
Oleh karena itu, maka perlu adanya reformasi dan pembaruan terhadap segenap aspek dalam pendidikan Islam. Meminjam istilah Rhenald Kasali, ada tiga langkah yang harus dilakukan pendidikan Islam di era revolusi industri 4.0 ini. Ketiga langkah itu, yaitu disruptive mindset, self- driving, dan reshape or create.
Mindset adalah, bagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang kita buat sebelum berpikir dan bertindak. Pendidikan Islam hari ini, tengah berada di zaman digital yang serba cepat, mobilitas tinggi, akses informasi menjadi kebutuhan primer setiap orang. Segala sesuatu yang diperlukan haruslah segera tersedia. Artinya, jika dalam aksesnya memerlukan waktu yang relatif lama maka masyarakat akan meningggalkannya, dan beralih ke pelayanan lain yang lebih cepat dan mempunyai akses mudah.
Teori Kritis dalam Pendidikan Islam
Topik tentang transformasi sosial, emansipasi, civil society, dan demokrasi melalui pendidikan seolah tidak ada habisnya untuk diperbincangkan oleh para pemikir pendidikan hingga saat ini. Menawarkan teori kritis yang diajukan, sebenarnya dapat diaplikasikan dalam pendidikan islam. Sebab, ada kecenderungan positif dalam upaya mengajarkan tentang ideas terhadap penghargaan atas harkat martabat kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan, penghargaan atas perbedaan dan pembebasan atas dominasi dan ketertindasan, dalam kemungkinan untuk mewujudkan cita-cita transformasi sosial dan emansipasi.
Bagaimana kemudian Al-Qur’an telah menggambarkan untuk selalu bersikap hati-hati dan kritis didalam Q.S Al-Hujurat (49):6 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum, tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.
Dengan kesadaran kritis, diharapkan pendidikan Islam mampu membawa anak didiknya untuk menjadi lebih bijaksana dalam tutur dan perilaku. Ia berbicara dengan baik dan berlandaskan hasil pemikiran atau bahkan penelitian yang cermat terhadap realitas sosial. Melihat dengan jeli permasalahan yang tengah dihadapi dalam kehidupan sosialnya sekaligus memberikan tawaran solutif dan konkret bagaimana seharusnya menangani krisis menuju akselerasi sosial yang diharapkan masyarakat. Waallahu a’lam.
Penulis: Himawan, Anggota Bidang Organisasi PDPM Kabupaten Kudus. Tulisan ini dilansir dari situs pwmjateng.com.